1.1
DEFINISI
Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di
dalam mediastinum, yaitu rongga yang berada di anatara paru kanan dan kiri
berisi jantung, pembuluh darah arteri, pembuluh darah vena, trakea, kelenjar
timus, syaraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening dan salurannya. Rongga
mediastinum sempit dan tidak dapat diperluas sehingga
pembesaran tumor dapat menekan organ di dekatnya dan menimbulkan kegawatan yang
mengancam jiwa. ( Hood Alsagaff,
2006)
1.2
ETIOLOGI
Secara
umum faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab tumor adalah :
a. Penyebab kimiawi
Di
berbagai negara ditemukan banyak tumor kulit pada pekarja pembersih cerobong
asap. Zat yang mengandung karbon dianggap sebagai penyababnya
b. Faktor Genetik (biomolekuler)
Golongan
darah A lebih tinggi 20% berisiko menderita kanker/ tumor pada lambung dari
pada golongan darah O, selain itu berubahan genetik termasuk perubahan atau
mutasi dalam gen normal dan pengaruh protein bisa menekan atau meningkatkan
perkembangan tumor.
c. Faktor Fisik
Secara
fisik, tumor berkaitan dengan trauma/pukulan berulang-ulang baik trauma fisik
maupun penyinaran. Penyinaran bisa berupa sinar ultraviolet yang berasal dari
sinar matahari maupun sinar lain seperti sinar X (rontgen) dan radiasi bom
atom.
d. Faktor Nutrisi
Salah
satu contoh utama adalah dianggapnya aflaktosin yang dihasilkan oleh jamur pada
kacang dan padi-padian sebagai pencetus timbulnya tumor.
e. Penyebab Bioorganisme
Misalnya
virus, pernah dianggap sebagai kunci penyabab tumor dengan ditemukannya
hubungan virus dengan penyakit tumor pada binatang percobaan. Namun ternyata
konsep itu tidak berkembang lanjut pada manusia.
f. Faktor Hormon
Pengaruh
hormon dianggap cukup besar, namun mekanisme dan kepastian peranannnya belum
jelas. Pengaruh hormon dalam pertumbuhan tumor bisa dilihat pada organ yang
banyak dipengaruhi oleh hormon tersebut.
1.3
PATOFISIOLOGI
Sebab-sebab
keganasan pada tumor masih belum jelas, tetapi virus, faktor lingkungan, faktor
hormonal dan faktor genetik semuanya berkaitan dengan risiko terjadi tumor.
Permulaan terjadinya tumor dimulai dengan adanya zat yang bersifat initiation
yang merangsang permulaan terjadinya perubahan sel. Diperlukan perangsangan
yang lama dan berkesinambungan untuk memicu timbulnya penyakit tumor. Initiati
agent biasanya bisa berupa unsur kimia, fisik atau biologis yang berkemampuan
beraksi langsung dan merubah struktur darsar dari komponen genetic (DNA).
Keadaan selanjutnya akibat keterpaparan yang lama ditandai dengan berkembangnya
neoplasma dengan terbentuknya formasi tumor. Hal ini dapat berlangsung lama,minggu
bahkan sampai tahunan.
Dengan
semakin meningkatnya volume massa sel-sek yang berproliferasi maka secara
mekanik menimbulkan desakan pada jaringan sekitarnya,pelepasan berbagai
substansi pada jaringan normal seperti prostalandin, radikal bebas dan
protein-protin reaktif secara berlebihab sebagai penyebab timbulnya karsinoma
meningkatkan daya rusak sel-sel kanker terhadap jaringan sekitarnya, terutama
jaringan yang memiliki ikatan yang relatif lemah. Kanker sebagai bentuk
jaringan progresif yang memiliki ikatan yang longgar mengakibatkan sel-sel yang
dihasilkan dari jaringan kanker lebih mudah untuk pecah dan menyebar keberbagai
organ tubuh lainnya (metastase) melalui kelenjar, pembuluh darah maupun
peristiwa mekanis dalam tubuh. Adanya pertumbuhan sel-sel progresif pada
mediastinum secara mekanik menyebabkan penekanan (direct pressure/indirect
pressur) serta dapat menimbulkan distruksi jaringan sekitar yang menimbulkan
manifestasi seperti penyakit infeksi pernafasan lain seperti sesak nafas, nyeri
inspirasi, peningkatan produksi sputum, bahkan batuk darah atau lendir berwarna
merah (hemaptoe) manakala telah melibatkan banyak kerukan pembuluh darah.
Kondisi kanker juga meningkatkan risiko timbulnya infeksi sekunder, sehingga
kadang kala manifestasi klinik yang lebih menonjol mengarah pada infeksi
saluran napas seperti pneumoni tuberkulosis walaupun mungkin secara klinik
kurang dijumpai gejala demam yang menonjol.
(http://dedyrn.blogspol.com/2009.diakses
tanggal 30 oktober 2011)
1.4
KLASIFIKASI
Klasifikasi
tumor mediastinum didasarkan atas organ/jaringan asal tumor atau jenis
histologisnya seperti yang dikemukakan oleh Rosenberg :
1. Neurogenik
·
Arising from
peripheral nervus :
-
Neuruvibroma
-
Neurilemoma
(schwannoma)
-
Neurosarkoma
·
Arising from
sympatetic ganglia
-
Ganglioneuroma
-
Ganglioneuro
blastoma
-
Neuroblastoma
·
Arising from
paraganglionik tissue
-
Phechromocytoma
-
Chemodectoma
(paraganglioma)
2. Thymic
·
Thymoma
·
Carsinoid
·
Thymoliphoma
3. Lymphoma
·
Hodgkin’s
disease
·
Histiocytic
lympoma
·
Undifferentiated
4. Germ cell tumors
·
Seminoma
·
Nonseminomatus
tumors
·
Pure embryonal
cell
·
Mixed
embrional cell
-
With
seminomatus elemens
-
With trophoblastic
elemen
-
With teratoid
elemens
-
With
entodermal sinus elemens (yolk sac tumors)
·
Teratoma,
benign
5. Aneurysms
6. Mesenchymal tumors
·
Fibroma and
fibrosarcoma
·
Limpoma and
hiposarcoma
·
Myxoma
·
Mesothelioma
·
Leiomyoma and
leimyoma sarcoma
·
Rhabdomysarcoma
·
Xanthogranuloma
·
Mesenchymoma
·
Hemangioma
·
Hemangiondothelioma
·
Hemangipericytoma
·
Lymphangioma
·
Lymphangiomyoma
·
Lyphangiopericytoma
7. Endocrine Tumor
·
Thyroid
·
Parathyroid
8. Cysts
·
Pericardial
·
Bronchogenic
·
Enteric
·
Thymic
·
Thoracic duct
·
Meningoceles
9. Hernias
·
Hiatal
·
Morgagni
10. Lymphadenopathy
·
Inflammatory
·
Granulomatous
·
Sarcoid
1.5
MANIFESTASI KLINIS
Kebanyakan tumor mediastinum tumbuh lambat sehingga pasien sering datang
setelah tumor cukup besar disertai keluhan dan tanda akibat penekanan tumor
terhadap organ sekitarnya. Tanda dan gejala yang timbul
tergantung pada organ yang terlibat:
1. Batuk, sesak, atau stridor bila
terjadi penekanan atau inasi pada trakea dan atau bronkus utama.
2. Disfagia bila terjadi penekanan atau
invasi pada esofagus.
3. Sindrom vena kava superior (SVKS)
lebih sering terjadi pada tumor mediastinum yang ganas dibandingkan dengan tumor jinak.
4. Suara serak dan batuk kering bila
nervus laringeal terlibat
5. Paralisis diafragma timbul apabila
terjadi penekanan pada nervus frenikus
6. Nyeri dinding dada pada tumor
neurogenik atau pada penekanan pada sistem syaraf.
Nyeri dada timbul paling
sering pada tumor mediastinum anterosuperior. Nyeri dada yang serupa biasanya
disebabkan oleh kompresi atau invasi dinding dada posterior dan nervus interkostalis.
Kompresi batang trakhebronkus biasanya memberikan gejala seperti dispnae,
batuk, pneumonitis berulang atau gejala yang agak jarang yaitu stidor.
Keterlibatan esophagus bisa menyebabkan disfagia atau gejala obstruksi.
Keterlibatan nervus laringeus rekuren, rantai simpatis atau plekus brakialis
masing-masing menimbulkan paralisis plika vokalis, sindrom horner dan sindrom
pancoast. Tumor mediastinun yang menyebabkan gejala ini paling sering
berlokalisasi pada mediastinum superior. Keterlibatan nervus frenikus bisa
menyebabkan paralisis diafragma.
1.6
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
A.
Prosedur Radiologi
1. Foto thoraks
Dari foto
thoraks PA atau lateral untuk menentukan lokasi tumor anterior, medial atau
posterior, tetapi pada kasus dengan ukuran tumor yang besar sulit ditentukan
lokasinya yang pasti.
2. Tomografi
Dapat menentukan lokasi tumor, mendeteksi klasifikasi pada lesi yang
sering ditemukan pada kista dermoid, tumor tiroid, dan kadang-kadang timoma.
Teknik ini semakin jarang digunakan.
3. CT-scan toraks dengan kontras
Dapat mendeskripsikan lokasi, kelainan tumor secara lebih baik,
kemungkina jenis tumor, misalnya pada teratoma dan timoma, menentukan stage
pada kasus timoma dengan cara mencari apakah telah terjadi invasi atau belum,
mempermudah pelaksanaan pengambilan bahan untuk pemeriksaan sitologi, serta
untuk menentukan luas radiasi beberapa jenis tumor mediastiinum bila dilakukan
CT-Scan Toraks dan CT-Scan abdomen.
4. Flouroskopi
Untuk melihat kemungkinan terjadi aneurisma aorta.
5. Ekokardiografi
Untuk mendeteksi pulsasi pada tumor yang diduga terjadi aneurisma aorta.
6. Angiografi
Lebih sensitif untuk mendeteksi aneurisma aorta dibandingkan flouroskopi
dan ekokardiografi.
7. Esofagografi
Pemeriksaan ini dianjurkan dilakukan bila ada dugaan invasi atau
penekanan pada esofagus.
8. USG, MRI, dan Kedokteran Nuklir
Jarang dilakukan, tetapi pemeriksaan ini terkadang harus dilakukan untuk
beberapa kasus tumor mediastinum.
B.
Prosedur Endoskopi
1. Bronkoskopi
Dilakukan bila ada indikasi operasi, dapat memberikan informasi tentang
penekanan tumor teerhadap saluran nafas beserta lokasinya,. Bronkoskopi sering
dapat digunakan untuk membedakan antara tumor mediastinum dengan kanker paru
primer.
2. Mediastinoskopi
Tindakan ini dilakukan bila tumor berlokasi di mediastinum anterior.
3. Esofagoskopi
4. Torakoskopi Diagnostik
5. Elektromagnestic Navigation
Diagnostic Bronchoscopy
Tindakan ini merupakan metode yang aman untuk mengambil sampel lesi-lesi
yang terletak agak ke perifer dimana bronkoskopi biasa tidak bisa mencapainya.
Selain itu tindakan ini dapat digunakan untuk mengambil sampel lesi tumor
mediastinum dengan cara Tranbroncial Needle
Bronchoscopy Aspiration (TNBA), dimana dapat memberikan hasil diagnostik
yang tinggi serta tidak dipengaruhi oleh besar kecil dan lokasi tumor.
C.
Prosedur Anatomi Patologik
(Histopatologi) dengan pemeriksaan sitologi dan histologi
Prosedur ini dilakukan untuk mengidentifikasi jenis tumor.
1. Biopsi Jarum Halus (BJH) atau Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)
bila ditemukan pembesaran kelenjar getah bening atau tumor superfisial.
2. Pungsi pleura bila ada efusi pleura
3. Bilasan atau sikatan bronkus pada
saat pemeriksaan bronkoskopi
4. Biopsi Aspirasi Jarum (BAJ), yairu
pengambilan bahan atau spesimen dengan menggunakan jarum, dimana dilakukan bila
terlihat massa intrabronkial pada saat pemeriksaan bronkoskopi yang sangat
mudah berdarah sehingga bila dilakukan pemeriksaan biopsi sangat berbahaya.
D.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Hasil pemeriksaan rutin laboratorium
sering tidak memberikan informasi yang berkaitan dengan tumor, tetapi terkadang
LED meningkat pada limfoma dan TBC mediastinum.
2. Uji tuberkulin bila dicurigai adanya
limfadenitis TBC.
3. Pemeriksaan T3 dan T4
dibutuhkan untuk mendeteksi tumor tiroid.
4. Pemeriksaan beta-HCG dan
alfa-fetoprotein dilakukan untuk tumor mediastinum yang termasuk kelompok tumor
sel germinal, khususnya bila ada keraguan antara tumor sel germinal seminoma
atau nonseminoma.
E.
Pemeriksaan Lain
EMG adalah pemeriksaan penunjang untuk tumor mediastinum jenis timoma,
dimana untuk mencarikemungkinan terjadi miestenia gravis atau myesthenic reaction.
Berikut dapat dilihat
alur pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada penderita tumor
mediastinum dengan atau tanpa kegawatan:
Keterangan:
MRI =
Magnetic Resonance Imaging
PA = Posteroanterior
BJH = Biopsi Jarum Halus
TTB = Transtorakal Biopsy
KGB =
Kelenjar Getah Bening
USG =
Ultrasonografi
VATS =
Video Assisted Thoracoscopy system
1.7
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tumor mediastinum tergantung sifat tumor, jinak atau
ganas. Tindakan yang dapat dilakukan pada tumor mediastinum yang bersifat jinak
adalah bedah, sedangkan penatalaksanaan secara umum untuk tumor yang bersifat
ganas adalah multimodaliti, yaitu bedah, kemoterapi, dan radiasi. Selain itu
kemoradioterapi dapat juga diberikan sebelum prosedur pembedahan (neoadjuvan)
atau sesudah prosedur pembedahan (adjuvan). Berikut adalah penatalaksanaan yang
dapat dilakukan berdasarkan jenis tumor:
1.
Timoma
·
Penatalaksanaan
sangat tergantung pada invasif atau tidaknya tumor, staging, dan klinis
penderita.
·
Terapi
untuk timoma adalah bedah, tetapi sangat jarang kasus penderita datang pada
stage 1 atau noninvasif, sehingga terapi multimodalitilah yang dapat memberikan
hasil yang lebih baik.
·
Jenis
tindakan bedah untuk kasus ini adalah Extended
Thymo Thymectomy (ETT) atau reseksi komplet (Extended Resection = ER), yaitu mengangkat kelenjar timus beserta
jaringan lemak sekitarnya sampai jaringan perikard dan debulking reseksi
sebagian atau pengangkatan massa tumor sebanyak mungkin. Reseksi komplet ini
diyakini dapat mengurangi risiko invasi dan meningkatkan umur harapan hidup.
·
Radioterapi
harus diberikan pada kasus timoma invasif atau reseksi sebagian untuk kontrol
ketat, tetapi tidak direkomendasikan untuk yang telah menjalani reseksi
komplet. Dosis radiasi yang dapat diberikan adalah 3500-5000 cGy dan harus
dihindarkan pemberian lebih dari 6000 eGy untuk mencegah terjadinya radiation-induced injury.
·
Kemoterapi
yang sering digunakan adalah cisplatin based rejimen, kombinasi cisplatin
dengan doksorubisin dan siklofosfamid (CAP), kombinasi cisplatin dengan
doksorubisin, vinkristin, dan siklofosfamid (ADOC), serta rejimen lain yang
lebih sederhana yaitu cisplatin dan etoposid (EP).
Penatalaksanaa terdiri
dari:
A.
Pembedahan
·
Indikasi ;
-
Tumor stadium I
-
Stadium II jenis karsinoma dan karsinoma sel besar tidak dapat di bedakan (undifferentiated).
-
Dilakukan secara khusus pada stadium III
Secara
individual yang mencakup 3 kriteria;
a.
karakteristik biologis tumor
ü
Hasil baik: Tumor dari skuamosa
atau epidermoid.
ü
Hasil cukup baik :
adenokarsinoma dan karsinoma sel besar tak terdiferensiasi.
ü
Hasil buruk : oat cell
b.
letak tumor dan pembagian
stadium klinis
menentukan teknik reseksi terbaik yang dilakukan
c.
keadaan fungsional penderita
terdapatnya penyakit degeneratif lain atau penyakit
gangguan kardiovaskuler, operasi harus
dipertimbangkan masak-masak.
·
Syarat untuk tindakan bedah:
Pengkuran toleransi
berdasarkan fungsi paru yang diukur dengan spirometri. Bila nilai spirometri tidak
sesuai dengan klinis, maka harus dikonfirmasi dengan analisis gas darah.
Tekanan O2 arteri dan saturasi O2 darah arteri harus >
90 %.
·
Tujuan pada pembedahan kanker
paru untuk mengangkat semua jaringan
yang sakit sementara mempertahankan sebanyak mungkin fungsi paru-paru yang
tidak terkena kanker.
1.
Toraktomi eksplorasi
Untuk mengkomfirmasi
diagnosa tersangka penyakit paru atau toraks khususnya karsinoma, untuk
melakukan biopsi.
2.
Pneumonektomi (pengangkatan
paru)
Karsinoma
bronkogenik bilamana dengan lobektomi tidak semua lesi bisa diangkat
3.
Lobektomi (pengangkatan lobus
paru)
Karsinoma
bronkogenik yang terbatas pada satu lobus, bronkiaktesis bleb atau bula
emfisematosa, abses paru, infeksi jamur; tumor jinak tuberkulois.
4.
Reseksi segmental
Merupakan pengangkatan
satu atau lebih segmen paru.
5.
Reseksi baji
Tumor jinak dengan
batas tegas, tumor metasmetik, atau penyakit peradangan yang terlokalisir.
Merupakan pengangkatan dari permukaan paru-paru berbentuk baji (potongan es).
6.
Dekortikasi
Merupakan pengangkatan
bahan-bahan fibrin dari pleura viscelaris).
B. Radiasi
Indikasi dan syarat pasien dilakukan tindakan radiasi
adalah ;
-
Pasien dengan tumor yang
operabel tetapi karena resiko tinggi maka
pembedahan tidak dapat dilakukan.
-
Pasien kanker jenis adenokarsinoma
atau sel skuamosa yang inoperabel yang
diketahui terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada hilus ipsilateral dan
mediastinal.
-
Pasien dengan karsinoma bronkus
dengan histology sel gandum atau
anaplastik pada satu paru tetapi terdapat penyebaran nodul pada kelenjar getah
bening dibawah supraklavikula.
-
Pasien kambuhan sesudah
lobektomi atau pneumonektomi tanpa bukti penyebaran diluar rongga dada.
Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan sebagai
pengobatan kuratif dan biasa juga sebagai terapi paliatif pada tumor dengan
komplkasi, seperti mengurangi efek obsrtuksi atau penekanan terhadap pembuluh
darah atau brokus. Dosis umum 5000-6000 rad dalam jangka waktu 5-6 minggu, pengobatan
dilakukan dalam lima kali seminggudengan dosis 180-200 rad/ hari. Komplikasi:
1.
Esofagitis, hilang 7 – 10 hari
sesudah pengobatan
2.
Pneumonitis, pada rontgen
terlihat bayangan eksudat.
C.
Kemoterapi
·
Kemoterapi digunakan untuk
mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk menangani pasien dengan tumor paru sel
kecil atau dengan metastasi luas serta untuk melengkapi bedah atau terapi
radiasi.
-
Pada karsinoma sel skuamosa sangat responsive
pada kemoterapi
-
Sedangkan pada non small cell
carcinoma kurang member hasil yang baik.
·
Syarat untuk pelaksanaan
radioterapi dan kemoterapi:
1.
Hb > 10 gr%
2.
Leukosit > 4000/dl
3.
Trombosit > 100.000/dl
·
Selama pemberian kemoterapi
atau radiasi perlu diawasi terjadinya melosupresi dan efek samping obat atau
toksisiti akibat tindakan lainnya.
·
Macam-macam
kemoterapi berdasarkan klasifikasi tumor
1. Small Cell Lung Cancer (SCLC)
-
Limited stage
diseasediobati dengan tujuan kuratif (kombinasi kemoterapi dan radiasi) dan
angka keberhasilan terapi 20 %.
-
Extensive
stage disease diobati dengan kemoterapi.
2. Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC)
-
Kemoterapi
adjuvant diberikan mulai stadium II dengan sasaran lokoregional tumor yang
dapat direseksi lengkap, dimana cara pemberiannya dilakukan setelah terapi
definitif pembedahan, radioteerapi, atau keduanya.
-
Kemoterapi
neoadjuvant diberikan mulai dari stadium II dengan sasaran lokoregional tumor
yang dapat direseksi lengkap, dimana pemberian terapi definitif pembedahan dan
radioterapi diberikan diantarra siklus pemberian kemoterapi.
-
Kemoradioterapi
konkomitan dilakukan mulai dari stage III, dimana pemberian kemoterapi
dilakukan bersamaan radioterapi.
·
Penatalaksanaan
timoma berdasarkan staging:
Stage I
Stage II
Stage III
Stage IV A
Stage IV B
|
Extended Thymo Thymectomy (ETT)
ETT + radioterapi
ETT + Extended Resection
(ER) + Radioterapi + Kemoterapi
Debulking + Kemoterapi + Radioterapi
Kemoterapi+ Radioterapi + Debulking
|
2.
Tumor Sel Germinal
Terapi tumor sel germinal tergantung pada subtipe sel tumor dan staging
penyakit. Terapi untuk tumor sel germinal seminoma tergantung pada apakah masih
resectable atau tidak, sedangkan untuk tumor sel germinal nonseminoma diberikan
kemoterapi.
a. Seminoma
· Untuk seminoma yang resectable
dilakukan terapi multimodaliti, yaitu bedah, radiasi, dan kemoterapi dapat
memberikan umur bertahan hidup 5 tahun. Kriteria resectable adalah:
1. Tanpa gejala (asymptomatic)
2. Massa masih terbatas di mediastinum
anterior dan tidak ada metastasis lokal (intrathoraks) atau metastasis jauh
· Untuk kasus seminoma yang sudah
bermetastasis jauh diberikan kemoterapi, yaitu rejimen cisplatin based,
vinblastin, dan bleomisin.
· Seminoma sangat radiosensitif,
sehingga dosis radiasi yang diberikan adalah 4500-5000 eGy.
b. Nonseminoma
· Terapi untuk jenis tumor ini adalah
cisplatin babsed kemoterapi dan kadang dilakukan operasi pasca kemoterapi (postchemoterapy adjuctive surgery).
Rejimen yang digunakan adalah sisplatin, bleomisin, dan etoposid, tetapi ada
juga rejimen yang terdiri dari sisplatin dan bleomisin yang diberikan 4 siklus.
· Berikut adalah alur penatalaksanaan
tumor sel germinal nonseminoma
1.9
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
PENGKAJIAN
1.
Keluhan Utama
Biasanya klien datang setelah tumor cukup besar yang menyebabkan
penekanan pada organ sekitarnya sehingga muncul keluhan utama seperti batuk,
sesak nafas, kesulitan menelan, ataupun nyeri dada.
2.
Riwayat Penyakit Sekarang
Klien mengatakan nyeri dada bagian tengah seperti tertekan benda berat
dan sifatnya menetap, batuk dengan atau tanpa sputum (batuk kering), sesak
nafas, merasa sakit bila menelan makanan.
3.
Riwayat Penyakit Dahulu
Perokok berat dan kronis, terpajan terhadap lingkungan
karsinogen, penyakit paru kronis sebelumnya yang telah mengakibatkan
pembentukan jaringan parut dan fibrosis pada jaringan paru.
4.
Riwayat penyakit Keluarga
Ada keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama dengan klien, anggota keluarga menderita penyakit kanker,.
B.
PEMERIKSAAN FISIK
v B1 (Breathing)
Batuk
dengan atau tanpa sputum, batuk dengan atau tanpa darah, pernafasan stridor, sesak,
ada pergerakan otot bantu nafas.
v B2 (Blood)
Sindrom obstruksi vena kava superior (SVKS), tekanan darah dan atau Heart Rate (HR) mungkin meningkat, CRT mungkin
masih dalam batas normal (kurang dari 2 detik), disritmia, peningkatan JVP.
v B3 (Brain)
kesadaran composmentis, gelisah, nyeri dada.
v B4 (Bladder)
Mengalami
penurunan produksi urine output.
v B5 (Bowel)
Kesulitan menelan (disfagia), anoreksia, BB menurun.
v B6 (muskuloskletal dan integumen)
Kelemahan, kelelahan, oedema
muka dan lengan.
C.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Pre operatif
1. Risiko ketidakefektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sekret berlebih akibat penekanan atau
kompresi massa tumor pada trakea dan atau bronkus ditandai dengan:
·
Klien
mengatakan saat batuk tidak dapat mengeluarkan sekret karena takut nyeri
bertambah
·
Kedua
lapang paru terdengar rhonki kasar
·
Klien
tidak dapat melakukan batuk efektif dan sekret tidak dapat keluar.
2. Risiko ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan penekanan atau kompresi pada trakea dan atau bronkus, nyeri
(akut) ditandai dengan:
·
Klien
mengatakan merasa susah bernafas (terasa berat)
·
Respiration Rate kurang dari 16 kali per menit atau
lebih dari 20 kali per menit (pada pasien dewasa), cepat dan dangkal, lambat
dan dalam
·
Ada
pernafasan cuping hidung
3. Gangguan Rasa Nyaman (Nyeri) berhubungan
dengan penekanan atau kompresi massa tumor pada sistem syaraf (nervus
interkostalis) ditandai dengan :
·
Klien
mengatakan dada tengah ke kanan nyeri seperti di tekan benda keras dan nyeri
bersifat menetap
·
Klien
tampak gelisah memegang dadanya bagian tengah
4. Risiko ganggguan pemenuhan kebutuhan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang, kesulitan
menelan akibat penekanan atau kompresi massa tumor pada esofagus ditandai dengan:
· Klien mengatakan tenggorokannya
sakit untuk menelan
· Klien mengatakan tidak nafsu makan
· Makanan yang disediakan rumah sakit
tidak dimakan
Diagnosa Keperawatan Post operatif
1.
Kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (hipoventilasi)
ditandai dengan :
·
Dispnea
·
Hipoksemia
·
sianosis
2. ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan peningkatan viskositas/ jumlah sekret, keterbatasan gerakan dada/nyeri,
kelelahan ditandai dengan :
·
perubahan
frekuensi/kedalaman pernafasan
·
suara nafas
tidak normal (ronchi/whezzing)
·
batuk tidak
efektif
·
dispnea
3. Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi bedah
(trauma jaringan), terpasang drainase dada ditandai dengan :
·
Laporan
verbal ketidaknyamanan/nyeri pada luka operasi atau selang dada
·
Berhati-hati
pada area yang nyeri, gelisah
·
TD meningkat,
frekuensi jantung dan pernafasan meningkat
4. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan
prosedur invasif (pembedahan) ditandai dengan :
·
Kondisi luka
kering/basah
·
Tampak
kemerahan disekitar luka insisi
·
Peningkatan
suhu tubuh
5. Ketakutan (ansietas) berhubungan dengan krisis situasi,
ancaman perubahan status kesehatan, ancaman kematian, ditandai dengan:
·
Menolak
·
Ketakutan
·
Marah
·
Ekspresi
menyangkal, syok, bersalah, insomnia
·
Hipersensitifitas
D.
INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi pre operasi
1.
Nyeri berhubungan dengan penekanan
atau kompresi massa tumor pada sistem syaraf (nervus interkostalis).
Tujuan : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan, rasa nyeri
terkontrol atau berkurang dalam waktu kurang dari 1 x 24 jam
Kriteria Hasil :
v Klien dapat mendemonstrasikan
penggunaan ketrampilan management nyeri
v Klien melaporkan nyeri terkontrol
atau berkurang
Intervensi dan Rasional:
1. Observasi lokasi karakteristik, lokasi, frekuensi, durasi dan sifat nyeri
R/ Informasi memberikan data dasar untuk melakukan intervensi
2. Berikan tindakan kenyamanan dasar,
seperti memberikan posisi senyaman klien, gosok punggung, atau melakukan
aktivitas hiburan.
R/ Meningkatkan relaksasi dan membantu mengalihkan perhatian.
3. Ajarkan klien teknik management
nyeri, seperti distraksi dan relaksasi (visualisasi, bimbingan imajinasi),
mendengarkan musik, sentuhan terapeutik.
R/ Memungkinkan klien untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan
perawatan dan meningkatkan rasa kontrol terhadap nyeri.
4. Beri penjelasan penyebab nyeri.
R/ Meningkatkan pengetahuan klien tentang penyakit yang diderita
sehingga dapat meningkatkan kekooperatifan klien dalam kegiatan perawatan.
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian analgesik, seperti morfin, metadon, atau campuran narkotik.
R/ Membantu mengurangi nyeri yang dirasakan.
2.
Risiko ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan penekanan atau kompresi pada trakea dan atau bronkus
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x
24 jam pola nafas kembali efektif
Kriteria Hasil :
v RR 16-20 kali per menit, reguler
v Tidak ada pernafasan cuping hidung
Intervensi dan Rasional:
1. Observasi frekuensi, kedalaman,
suara tambahan (rhonki dan atau whezzing), serta upaya pernafasan termasuk
penggunaan otot bantu atau pelebaran nasal.
R/ Kecepatan pernafasan biasanya meningkat (Dispnea), kedalaman
pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas, ekspansi dada terbatas
karena berhubungan dengan atelektasis atau nyeri dada atau pleuritik, serta
rhonki dan wheezing dapat menyertai obstruksi jalan nafas atau kegagalan
pernafasan.
2. Ajarkan dan dorong klien untuk
melakukan nafas dalam
R/ Meningkatkan ekspansi paru.
3. Berikan oksigen tambahan sesuai
indikasi
R/ Memenuhi kecukupaan oksigen dalam tubuh.
4. Beri penjelasan penyebab sesak
nafasnya
R/ Meningkatkan pengetahuan klien tentang penyakit yang diderita
sehingga dapat meningkatkan kekooperatifan klien dalam kegiatan perawatan.
3.
Risiko ketidakefektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sekret berlebih akibat penekanan atau
kompresi massa tumor pada trakea dan atau bronkus
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24
jam pola nafas kembali efektif
Kriteria Hasil :
v Klien dapat melakukan batuk efektif
v Sekret dapat dikeluarkan
Intervensi dan Rasional:
1. Ajarkan dan motivasi klien untuk
melakukan batuk efektif yang tepat;
-
Nafas
sedalam dan selambat mungkin sambil duduk bila mampu serta pasang bantal pada
area yang akan terasa nyeri.
-
Pergunakan
pernafasan diafragma
-
Tahan
nafas selama 3-5 detik kemudian hembuskan nafas secara perlahan melalui mulut
-
Ambil
nafas kedua, tahan dan kemudian batukkan denga kuat dari dada (gunakan dua kali
batuk pendek tapi benar-benar kuat) sambil menekan kuat-kuat bantal pada area
yang akan timbul nyeri.
R/ Batuk efektif
membantu mengeluarkan sekret.
2. Bantu klien untuk mengeluarkan
sekret dengan metode fisioterapi nafas (clapping, vibrating, atau postural
drainage).
R/ Membantu mengeluarkan sekret.
3. Rencanakan periode istirahat
(setelah batuk).
R/ Kelelahan merupakan salah satu penyebab kegagalan terapi.
4. Observasi adanya suara tambahan pada
paru (rhonki).
R/ Mengetahui keefektifan terapi batuk efektif.
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian bronkodilator dan atau nebulizer.
R/ Bronkodilator membantu melebarkan bronkus utama dan nebulizer untuk
mengencerkan sekret.
4.
Risiko ganggguan pemenuhan kebutuhan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang, kesulitan
menelan akibat penekanan atau kompresi massa tumor pada esofagus.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan 1x24 jam mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi yang optimal
Kriteria Hasil :
v Berat Badan
stabil (tetap) atau naik
v Intake makanan
terpenuhi
Intervensi :
1. Observasi kemampuan
klien dalam mengkonsumsi makanan per oral (bubur saring/ cair).
Rasional: Mengetahui
metastase tumor sampai ke esofagus dan mengevaluasi jumlah masukan kalori yang
dapat diterima klien
2. Observasi perubahan BB
secara berkala dan pemeriksaan laboratorium (Hb, albumin) setiap hari.
Rasional : Mengetahui
perubahan status gizi klien
3. Kolaborasi dalam
pemberian nutrisi parenteral
Rasional : kebutuhan
kalori pasien terpenuhi dengan pemberian cairan infus
4. Kolaborasi dalam
pemasangan PEG (Percutanius )
Rasional : karena
pemberian kalori per oral sudah tidak mungkin akibat dari metastase tumor
Intervensi
post operasi
1.
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan
pengangkatan jaringan paru, gangguan suplai oksigen (hipoventilasi).
Tujuan : dalam waktu 1 x
24 jam pertukaran gas kembali normal
Kriteria Hasil :
·
Menunjukkan
perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan BGA dalam rentang
normal
·
Bebas gejala
distress pernafasan
·
TTV dalam
batas normal
Intervensi :
1. Catat frekuensi kedalaman dan kemudahan
pernafasan. Observasi pengguanaan otot bantu, nafas bibir, perubahan
kulit/membran mukosa. Misal: pucat, sianosis
R/ pernafasan meningkat
sebagai akibat nyeri astau sebagai mekanisme kompensasi awal terhadap hilangnya
jaringan paru.
2. Selidiki kegelisahan dan perubahan mental /
tingkat kesadaran
R/: dapat menunjukkan
peningkatan hipoksia atau komplikasi seperti penyimpangan mediastinal pada
pasien pneumonektomi bila disertai dengan takipnea, takikardi, dan deviasi
trakeal.
3. Perubahan kepatenan jalan napas pasien dengan
memberikan posisi, penghisapan, dan penggunaan alat
R/: obstruksi jalan napas
mempengaruhi ventilasi, mengganggu pertukaran gas.
4. Ubah posisi pasien dengan posisi duduk juga posisi
terlentang sampei posisi miring
R/: memaksimalkan ekspansi
paru dan drainase sekret
5. Hindari pemberian posisi pada sisi yang dioperasi
dengan pasien pneumonektomi
R/: Posisi ini menurunkan
ekspansi paru dan menurunkan perfusi pada paru yang baik dan dapat memperkuat
pengembangan tegangan pneumothoraks sekunder terhadap penyimpangan mediastinal
dan akumulasi cairan pada paru yang tersisa.
6. Bantu dengan latihan napas dalam dan napas bibir
dengan tepat
R/: meningkatkan ventilasi
maksimal dan oksigenasi dan menurunkan/mencegah kolektasis
7. Catat perubahan pada jumlah/tipe drainase selang
dada
R/: Drainase berdarah
harus menurun dalam jumlah dan berubah sampai komposisi serosa sesuai dengan
kemajuan penyembuhan
2.
ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan peningkatan viskositas/ jumlah sekret, keterbatasan gerakan dada/nyeri,
kelelahan
Tujuan: jalan napas
kembali efektif
Kriteria hasil:
-
menunjukkan
patensi jalan napas, dengan cairan sekret mudah dikeluarkan
-
Bunyi napas
jelas dan pernapasan tidak bising
Intervensi:
1. Auskultasi dada untuk karakter bunyi napas dan
adanya sekret
R/:Pernapasan bising, ronkhi,
dan mengi menunjukkan penumpukkan sekret atau obstruksi jalan napas
2. Bantu
pasien untuk napas dalam efektif dan batuk dengan posisi duduk dan
menekan daerah insisi
R/:Posisi duduk
memungkinkan ekspansi paru maksimal dan penekanan menguatkan upaya batuk untuk
membuang sekret.
3. Observasi jumlah dan karakter sputum
R/: adanya sputum yang
kental, berdarah atau purulen diduga terjadi sebagai masalah sekunder
4. Beri masukan cairan per oral (cairang hangat)
R/:
Hidrasi adekuat untuk mengencerkan sekret yang kental
5. Berikan oksigen/nebulizer
R/: pemberian oksigen
untuk menghindari hipoksia, sedangkan nebulizer memungkinkan memberikan terapi
pengenceran dahak sehingga sekret yang kental dapat menjadi encer dan dapat
dikeluarkan dengan mudah.
6. Berikan bronkhodilator ekspektoran dan atau
analgesik sesuai indikasi
R/: menghilangkan spasme
bronkus untuk memperbaiki aliran udara
3.
Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi bedah
(trauma jaringan), terpasang drainase dada
Tujuan : nyeri terkontrol
dalam waktu 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
·
Melapaorkan
nyeri hilang/terkontrol
·
Tampak rileks
dan tidur/istirahat dengan baik
·
Mampu
melakukan aktivitas sesuai dengan kebutuhan
Intervensi
1. Observasi lokasi karakteristik, lokasi, frekuensi, durasi dan sifat nyeri
R/ Informasi memberikan data dasar untuk
melakukan intervensi
2. Berikan tindakan kenyamanan dasar,
seperti memberikan posisi senyaman klien, gosok punggung, atau melakukan
aktivitas hiburan.
R/ Meningkatkan relaksasi dan
membantu mengalihkan perhatian.
3. Ajarkan klien teknik management
nyeri, seperti distraksi dan relaksasi (visualisasi, bimbingan imajinasi),
mendengarkan musik, sentuhan terapeutik.
R/ Memungkinkan klien untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan
perawatan dan meningkatkan rasa kontrol terhadap nyeri.
4. Beri penjelasan penyebab nyeri.
R/ Meningkatkan pengetahuan klien tentang penyakit yang diderita
sehingga dapat meningkatkan kekooperatifan klien dalam kegiatan perawatan.
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian analgesik, seperti morfin, metadon, atau campuran narkotik.
R/ Membantu mengurangi nyeri yang dirasakan.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Sudarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi revisi. Jakarta: EGC
Dedy. 2009. Karsinoma
Mediastinum. http://dedyrn.blog.spot.com.
Diakses 10 November 2011
Doenges, Marilynn E, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, Jakarta: EGC
Indrawati, Maya. 2009. Bahaya Kanker Bagi Wanita dan Pria. Jakarta : AV Publisher
Syahruddin, Elisna, dkk. 2010. Penatalaksanaan Tumor Mediatinum Ganas.
http://jurnalrespirologi.org.
Diakses 10 November 2011
Long, Barbara C, 1996, Perawatan Medikal Bedah: Suatu Pendekatan Proses Holistik. Bandung:
Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi.
Jakarta : EGC
Somantri, Irman. 2007. Keperawatan
Medikal Bedah Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan,
cetakan kedua. Jakarta: Salemba Medika
Sudoyo, Aru W, 2007, Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi IV,
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Suyono, Slamet, 2001, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi III. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Underwood,
J.C.E, 1999, Patologi Umum dan Sistematik, Edisi 2,
Jakarta: EGC
_________, 2010, Askep Ca Paru, http://materi-kuliah-akper.blogspot.com/2010/09/askep-kanker-paru-paru.html,
diakses 26 September 2011
Prasetyo, Wildan. 2010. Askep Tumorr Paru. http://wildanprasetyo.blog.com.
Diakses 30 Oktober 2011
www.klikpdpi.com/...tumormediastinum.pdf.
Diakses 30 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar