1. Pengertian
Polip hidung adalah masa lunak yang mengandung banyak cairan didalam rongga
hidung. Berwarna putih keabu-abuan yang terjadi akibat inflamasi mukosa. (Endang
mangunkusumo, 2007)
Polip Hidung
adalah pembangkakan mukosa hidung yang berisi cairan interseluler dan terdorong
kedalam rongga hidung oleh gaya berat.(R.Pracy, 1989).
Polip hidung adalah massa yang lunak, berwarna putih keabu-abuan yang
terdapat di dalam rongga hidung. Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung
yang banyak berisi cairan interseluler dan kemudian terdorong kedalam rongga
hidung oleh gaya berat. Polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau
sinus paranasal atau sering kali bilateral. Polip hidung sering berasal dari
sinus maksila (antrum) dapat keluar melalui osteum sinus maksila, masuk ke
rongga hidung dan membesar di koana dan nasiparing. Polip ini disebut polip
koana (antro koana).
Walaupun tidak ganas, poliposis dapat mengganggu dengan banyak keluhan
karena cepat berkembang menjadi besar dan cenderung residif, Polip dapat timbul
pada penderita laki-laki maupun perempuan dari usia anak-anak sampai usia
lanjut.
2. Etiologi
Polip hidung
biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi atopik
didalam selaput mukosa hidung. Kerusakan jaringan setempat dalam mukosa
menimbulkan produksi berlabihan cairan interseluler dan cenderung membentuk
polip. Faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
1.
Alergi terutama renitis alergi
2.
Sinusitis kronik
3.
Iritasi
4.
Sumbatan hidung oleh kelainan
anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka.
3. Jenis Polip Hidung
Polip Hidung terbagi menjadi 2 jenis, yakni:
1.
Polip hidung Tunggal. Jumlah polip hanya sebuah.
Berasal dari sel-sel permukaan dinding sinus tulang pipi (maxilla).
2.
Polip Hidung Multiple. Jumlah polip lebih dari satu.
Dapat timbul di kedua sisi rongga hidung. Pada umumnya berasal dari permukaan
dinding rongga tulang hidung bagian atas (etmoid).
Pembagian
stedium polip menurut mackay dan lund (1997) adalah :
·
Stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius
·
Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di ringga hidung
tapi belum memenuhi rongga hidung
·
Stadium 3 : Polip yang masif
4. Patofisiologi
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat
didaerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler
sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut
mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun kedalam rongga hidung
sambil membentuk tangkai sehingga terbentuk polip. Polip dikavum nasi terbentuk
akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering adalah sinusitis kronis dan
renitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama vasodilatasi lama dari pembuluh
darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan
terdorong kesinus yang pada akirnya membentuk struktus yang bernama polip.
Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang terdiri atas cairan
interseluler dan kemudian terdorong kedalam rongga hidung dan gaya berat. Polip
yang dapat timbul dari bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan sering kali
bilateral. Polip hidung sering berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar
melalui ostium sinus maksila dan masuk kerongga hidung dan membesar di koana
dan nasofaring, polip ini disebut polip koana.
Secara makroskopis, polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin
berbentuk bulat atau lonjong berwarna putih keabu-abuan agak bening, lobular,
dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila ditekan atau ditusuk tidak
terasa sakit).
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung
normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab.
Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neotrofil dan
makrofag. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering
terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis
tanpa keratinisasi.
5. Tanda dan gejala
1.
Sumbatan hidung
2.
Menurunnya indra penciuman
3.
Nyeri kepala
4.
Keluarnya sekret hidung yang
berkepanjangan
5.
Iritasi hidung
6.
Bersin-bersin
7.
Suara sengau
Polip hidung jinak menyerupai
buah anggur biasanya bilateral dan menggantung pada konka media dan masuk
kerongga hidung. Apabila disangka polip menyebabkan gangguan drainase sinus,
maka pembengkakan yang terjadi akan tertutup oleh nanah. Pada polip jinak tidak
terjadi ulserasi ataupun perdarahan dan biasanya tidak pernah unilateral.
6. Diagnosis
1.
Anamnesa
Pada anamnesa
kasus polip, keluhan utama biasanya Ialah hidung tersumbat. Sumbatan ini
menetap, tidak hilang dan semakin lama semakin berat. Pasien sering mengeluhkan
terasa ada massa didalam hidung dan sukar membuang ingus. Gejala lain adalah
gangguan penciuman. Gejala sekunder dapat terjadi bila sudah di seratai
kelainan organ di dekatnya berupa : adanya post nasal drip, sakit kepala, nyeri
muka, suara nasal (bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur, gangguan tidur
dan penurunan kualitas hidup.
Selain itu juga
harus ditanyakan rieayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin
dan alergi obat serta makanan.
2.
Pemeriksaan fisik
Polip yang
masif dapat me menyebabkan deformitas hidung luar.
Dapat di jumpai pelebaran kavum
nasi terutama polip yang berasal dari sel-sel etmoid.
3.
Rinoskopi Anterior
Memperlihatkan massa translusen pada
rongga hidung. Deformitas septum membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak
sekret mukus dan polip multipel atau soliter. Polip kadang perlu dibedakan
dengan konka nasi inferior, yakni dengan cara memasukan kapas yang dibasahi
dengan larutan efedrin 1% (vasokonstriktor), konka nasi yang berisi banyak
pembuluh darah akan mengecil, sedangkan polip tidak mengecil. Polip dapat
diobservasi berasal dari daerah sinus etmoidalis, ostium sinus maksilaris atau
dari septum.
4.
Rinoskopi Posterior
Kadang-kadang dapat dijumpai polip
koanal. Sekret mukopurulen ada kalanya berasal dari daerah etmoid atau rongga
hidung bagian superior, yang menandakan adanya rinosinusitis.
5.
Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus
polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan naso-endoskopi.
6.
Pemeriksaan radiologi
Foto polos sinus para nasal (posisi waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip nasi karena dapat memberikan kesan
positif palsu atau negatif palsu dan tidak dapat memberikan informasi mengenai
keadaan dinding lateral hidung dan variasi anatomis di daerah kompleks
osteomeatal.
7.
Pemeriksaan tomografi komputer
(TK, CT scan)
Sangat
bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal
apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks
ostiomeatal. TK terutama diindikasika pada kasus polip yang gagal diobati dengan
terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan
tindakan bedah terutama bedah endoskopi.
8.
Tes alergi
Evaluasi
alergi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat alergi
lingkungan atau riwayat alergi pada keluarganya.
9.
Laboratorium
Untuk
membedakan sinusitis alergi atau non alergi. Pada sinusitis alergi ditemukan eosinofil
pada swab hidung, sedang pada non alergi ditemukannya neutrofil yang menandakan
adanya sinusitis kronis.
7. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan
keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan rekurensi polip.
·
Polip yang masih kecil dapat
diobati pemberian kortikosteroid baik diberikan topikal atau sistemik
·
Polip yang sudah besar dilakukan
ekstraksi polip atau polipeptomi dengan menggunakan senar polip, apabila
terjadi infeksi sinus perlu dilakukan irigasi dan pemberian antibiotik
·
Polip cenderung tumbuh kembali
jika penyebabnya (alergi maupun infeksi tidak terkontrol) pemakaian obat
semprot hidung yang mengandung kortikosteroid bisa memperklambat atau mencegah
kekambuhan namun bersifat semantara untuk itu dilakukan pembedahan dengan
memperbaiki drainase sinus dan membuang bahan-bahan yang terinfeksi.
Karena
etiologi yang mendasari pada polip nasi adalah reaksi inflamasi, maka
penatalaksanaan medis ditujukan untuk pengobatan yang tidak spesifik. Pada
terapi medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid dapat
diberikan secara sistemik ataupun intranasal.
Pemberian
kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis tinggi dalam waktu yang singkat,
dan pemberiannya perlu memperhatikan efek samping dan kontraindikasi. Kortikosteroid oral
adalah pengobatan paling efektif untuk pengobatan jangka pendek dari polip
nasi, dan kortikosteroid oral memiliki efektivitas paling baik dalam mengurangi
inflamasi polip.
Pengobatan
juga dapat ditujukan untuk mengurangi reaksi alergi pada polip yang dihubungkan
dengan rhinitis alergi. Pada penderita dapat diberikan antihistamin oral untuk
mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi. Bila telah terjadi infeksi yang
ditandai dengan adanya sekret yang mukopurulen maka dapat diberikan antibiotik.
Pengobatan medis sebagai berikut :
Steroid
oral dan topikal di berikan pada pengobatan pertama pada nasal polip. Antihistamin, dekongestan
dan sodium cromolyn memberikan sedikit keuntungan. Imunoterapi
mungkin dapat berguna untuk pengobatan rhinitis alergi, tapi bila di gunakan
sendirian, tak dapat berguna pada polip yang telah ada, pemberian antibiotik
bila terjadi superimposed infeksi bakteri.
Kortikosteroid
adalah pengobatan pilihan, baik secara topikal maupun sistemik. Injeksi
langsung pada polip tidak dibenarkan oleh Food and Drug
Administration karena dilaporkan terdapat 3 pasien dengan kehilangan
penglihatan unilateral setelah injeksi intranasal langsung dengan kenalog.
Keamanan mungkin tergantung pada ukuran spesifik partikel. Berat molekuler yang
besar seperti Aristocort lebih aman dan sepertinya sedikit yang di pindahkan ke
area intrakranial. Hindari injeksi langsung ke dalam pembuluh darah.
Pembedahan
dilakukan jika :
1. Polip
menghalangi saluran nafas
2. Polip
menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus
3. Polip
berhubungan dengan tumor
4. Pada anak-anak dengan multipel
polip atau kronik rhinosinusitis yang gagal pengobatan maksimum
dengan obat- obatan.
Tindakan pengangkatan polip atau
polipektomi dapat dilakukan dengan menggunakan senar polip dengan anestesi
lokal, untuk polip yang besar tetapi belum memadati rongga hidung. Polipektomi sederhana cukup efektif
untuk memperbaiki gejala pada hidung, khususnya padakasus polip yang
tersembunyi atau polip yang sedikit. Bedah sinus endoskopik (Endoscopic Sinus
Surgery) merupakan teknik yang lebih baik yang tidak hanya membuang polip tapi
juga membuka celah di meatus media, yang merupakan tempat asal polip yang
tersering sehingga akan membantu mengurangi angka kekambuhan.Surgical micro debridement merupakan prosedur yang lebih
aman dan cepat, pemotongan jaringan lebih akurat dan mengurangi perdarahan
dengan visualisasi yang lebih baik.
8. Komplikasi
Satu
buah polip jarang menyebabkan komplikasi, tapi dalam ukuran besar atau dalam jumlah banyak (polyposis) dapat mengarah
pada akut atau infeksi sinusitis kronis, mengorok dan bahkan sleep apnea - kondisi
serius nafas dimana akan stop dan
start bernafas beberapa kali selama tidur. Dalam kondisi parah, akan mengubah
bentuk wajah dan penyebab penglihatan ganda/berbayang.
9. Prognosis
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap
berlanjut. Rekurensi dari polip umumnya terjsdi bila adanya polip yang multipel
. polip tunggal yang besar seperti polip antralkoanal jarang terjadi relaps.
Polip hidung
sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu ditujukan pada
penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling edeal pada rinitis alergi
adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi
Secara medisa
mentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa dekongestan yang
berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan
untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat
dilakukan imunoterapi dengan cara desentisisasi dan hiposensitisasi, yang
menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN POLIP
1.1 Pengkajian
1. Biodata
Nama, umur,
sex, alamat, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan
2. Keluhan utama
Biasanya klien
mengeluh sulit bernafas, hidung rasa tersumbat
tidak hilang dan semakin lama semakin berat.
3. Riwayat penyakit sekarang
Klien mengeluh hidung tersumbat,
Sumbatan ini menetap, tidak hilang dan semakin lama semakin berat. Pasien
sering mengeluhkan terasa ada massa didalam hidung dan sukar membuang ingus.
Klien juga mengeluh mengalami gangguan penciuman. Gejala sekunder dapat terjadi
bila sudah di seratai kelainan organ di dekatnya berupa : adanya post nasal
drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga terasa penuh,
mendengkur, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
4. Riwayat penyakit dahulu
-
Klien pernah menderita penyakit
akut seperti asma
-
Pernah mempunyai riwayat penyakit
THT seperti rhinitis alergi
-
Intoleransi terhadap aspirin dan
alergi obat serta makanan.
-
Pernah menderita sakit gigi
geraham
5. Riwayat penyakit keluarga
Adakah penyakit
yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya
dengan penyakit klien sekarang
6. Riwayat psikososial
Interpersonal
seperti perasaan yang dirasakan klien (cemas,sedih). Hubungan dengan orang lain
(minder)
7. Pola istirahat tidur
Klien mengeluh
gangguan istirahat karena hidung tersumbat dan pilek
8. Pola sensorik
Biasanya pola
penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus (baik
purulen, serous, mukopurulen)
1.2 Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing)
Daya penciuman
terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus (baik purulen, serous,
mukopurulen), hidung terasa tersumbat, susah bernafas, mukosa merah dan
bengkak, merasa banyak lendir dan keluar darah.
B2 (Blood)
Takikardi,
disritmia, sakit kepala, pucat (anemia), Klien merasa lesu dan pusing,
demam,keringat malam, diaforesis
B3 (Brain)
Kesadarn
komposmentis.
B4 (Bladder)
Dalam batas
normal
B5 (Bowel)
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung
dan proses penciuman,kelelahan, kelemahan
B6 (Bone)
Nyeri tekan
pada daerah hidung, Nyeri pada tulang pipi
1.3 Diagnosa Keperawatan
1.
Pola nafas tidak efektif berhubungan
dengan obstruksi/sumbatan pada hidung
2.
Nyeri akut berhubungan dengan
edema cavum nasal
3.
Ketidakseimbangan kebutuhan
nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan proses penciuman
4.
Risiko infeksi berhubungan dengan
adanya penyakit sekunder
1.4 Intervensi Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan obstruksi/sumbatan pada hidung
Tujuan : Mempertahankan pola
pernapasan normal/efektif bebas dispnea, sianosis atau tanda lain seperti
distress pernapasan
Kriteria Hasil :
-
Frekuensi nafas normal 16-20
x/menit
-
Tidak ada suara nafas tambahan
-
Tidak menggunakan otot pernafasan
tambahan
-
Tidak terjadi dispnea dan
sianosis
Intervensi :
1.
Kaji/awasi frekuensi pernapasan,
kedalaman, irama. Perhatikan laporan dispnea dan/atau penggunaan otot bantu
pernapasan cuping hidung, gangguan pengembangan dada.
R/ : Perubahan (seperti takipnea,
dispnea, penggunaan otot aksesori) dapat mengindikasikan berlanjutnya
keterlibatan/pengaruh pernapasan yang membutuhkan upaya intervensi.
2.
Beri posisi dan bantu ubah posisi
secara periodik
R/ : Meningkatkan kenyamanan klien
3.
Anjurkan/bantu dengan tehnik
napas dalam dan/atau pernapasan bibir atau pernapasan diafragmatik abdomen bila
diindikasikan
R/ : Membantu meningkatkan difusi
gas dan ekspansi jalan napas kecil, memberikan klien beberapa kontrol terhadap
pernapasan, membantu menurunkan ansietas.
4.
Awasi/evaluasi warna kulit,
perhatikan pucat, terjadinya sianosis (khususnya pada dasar kulit, daun telinga
dan bibir)
R/ : proliferasi SDP dapat
menurunkan kapasitas pembawa oksigen darah, menimbulkan hipoksemia.
5.
Kaji respon pernafasan terhadap
aktifitas. Perhatikan keluhan dispnea/lapar udara meningkat kelelahan.
Jadwalkan period istirahat antara aktivitas.
R/ : penurunan oksigen seluler
menurunkan kebutuhan oksigan dan mencegah kelelahan
6.
Tingkatkan tirah baring dan
berikan perawatan sesuai indikasi selama eksaserbasi akut/panjang
R/ : Memburuknya keterlibatan
pernafasan/hipoksia dapat mengindikasika penghentian aktivitas untuk mencegah
pengaruh pernafasan lebih serius
7.
Berikan lingkungan tenang
R/ : Meningkatkan relaksasi,
penyimpanan energi dan menurunkan kebutuhan oksigen
8.
Observasi distensi vena leher,
sakit kepala, pusing, edema periorbital/fasial, dispnea dan stridor
R/ : Klien non-hodgkin pada
resiko sindrom vena cava superior dan obstruksi jalan nafas, menunjukkan
kedaruratan onkologis
9.
Kolaborasi pemberian oksigen
R/ : Memaksimalkan ketersediaan
untuk kebutuhan sirkulasi, membantu menurunkan hipoksemia\
2. Nyeri akut berhubungan dengan
edema cavum nasal
Tujuan : Nyeri berkurang atau
hilang
Kriteria Hasil :
-
Klien mengungkapkan nyeri yang
dirasakan berkurang atau hilang
-
Ekspresi wajah rileks
-
Skala nyeri turun antara 0-3
Intervensi :
1.
Kaji tingkat nyeri klien
R/ : Mengetahui tingkat nyeri
klien dalam menentukan tindakan selanjutnya
2.
Jelaskan sebab dan akibat nyeri
pada klien serta keluarganya
R/ : Dengan sebab dan akibat
nyeri diharapkan klien berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri
3.
Ajarkan tehnik relaksasi dan
distraksi
R/ : Klien mengetahui tehnik
distraksi dan relaksasi sehingga dapat mempraktekannya bila mengalami nyeri
4.
Observasi tanda vital dan keluhan
klien
R/ : Mengetahui keadaan umum dan
perkembangan kondisi klien
5.
Kolaborasi dengan tim medis
dengan terapi konservatif dalam pemberian obat acetaminopen, aspirin,
dekongestan hidung.
R/ : Menghilangkan / mengurangi keluhan
nyeri klien
3. Ketidakseimbangan kebutuhan
nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan proses penciuman
Tujuan : Menunjukkan peningkatan nafsu makan
Kriteria Hasil :
-
Peningkatan masukan makanan
-
Tidak ada penurunan berat badan
lebih lanjut
Intervensi :
1.
Pastikan pola diet biasa klien,
yang disukai atau tidak disukai
R/ : membentu dalam
mengidentifikasi kebutuhan/kekuatan khusus
2.
Awasi masukan dan pengeluaran dan
berat badan secara periodik
R/ : Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan lingkunganb cairan
3.
Berikan makan sedikit dan sering
dengan makanan tinggi kalori dan tinggi karbohidrat
R/ : Memaksimalkan masukan
nutrisi tanpa kelemahan yang tidak perlu/kebutuhan energi dari makanan banyak
dan menurunkan iritasi gaster
4. Risiko infeksi berhubungan dengan
adanya penyakit sekunder
Tujuan : infeksi tidak terjadi
Kriteria Hasil :
-
Mengidentifikasi perilaku untuk
mencegah/menurunkan risiko infeksi
-
Meningkatkan penyambuhan luka
-
Bebas eritema (kemerahan,gatal)
-
Tidak terjadi demam
Intervensi
1.
Tingkatkan cuci tangan yang baik
oleh pemberi perawatan dan klien
R/ : Mencegah kontaminasi
silang/kolonisasi bakterial
2.
Pertahankan tehnik aseptik ketat
pada prosedur/perawatan luka
R/ : Menurunkan risiko kolonisasi
infeksi bakteri
3.
Berikan perawatan kulit, perianal,
dan oral dengan cermat
R/ : Menurunkan risiko kerusakan
kulit/jaringan dan infeksi
4.
Bantu perubahan posisi/ambulasi
yang sering
R/ : Meningkatkan sirkulasi darah
dan mencegah decubitus pencetus infeksi
5.
Pantau suhu, catat adanya
menggigil dan takikardi dengan/tanpa demam
R/ : adnaya proses inflamasi/infeksi
membutuhkan evaluasi pengobatan
6.
Pantau/batasi kunjungan
R/ : Membatasi pemajanan pada
bakteri/infeksi
7.
Kolaborasi dalam pemberian
antiseptik topikal, antibiotik sistemik
R/ : Mungkin digunakan secara
propilaktik untuk menurunkan kolonisasi atau untuk pengobatan proses infeksi
lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George L,
Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, Buku Kedokteran EGC, jakarta : 1997
Broek, Van Den, Ilmu Kesehatan Tenggorok Hidung dan
Telinga edisi 12, Buku kedokteran EGC, Jakarta : 2010
Lucente, Frank E, Ilmu THT, Buku kedokteran EGC, Jakarta
: 2011
Mansjoer, Arief. Kapita Selekta
Kedokteran edisi III jilid I. Penerbit Media Aesculapius FK-UI. Jakarta : 2000
Soepardi, Efiaty Arsyad, Dkk.
Buku Ajar Kesehatan Telinga Hidung tenggorok edisi VI. Balai penerbit FK-UI.
Jakarta : 2010
Soepardi, Efiaty Arsyad, Dkk.
Penatalaksanaan da Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit
FK-UI. Jakarta : 2000
Siegler, R Pracy,
still, Buku Pelajaran ringkas Telinga Hidung dan Tenggorok, PT Gramedia,
Jakarta : 1989
Samsudin, Sonny, Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok,
Buku kedokteran EGC, Jakarta : 1993
The information is so exciting, very enjoyable to be listened
BalasHapusOBAT BATUK
OBAT KOLESTEROL
OBAT ASMA
OBAT AMBEIEN