Sabtu, 13 Juli 2013

ASKEP POLIP



1.      Pengertian
Polip hidung adalah masa lunak yang mengandung banyak cairan didalam rongga hidung. Berwarna putih keabu-abuan yang terjadi akibat inflamasi mukosa. (Endang mangunkusumo, 2007)
Polip Hidung adalah pembangkakan mukosa hidung yang berisi cairan interseluler dan terdorong kedalam rongga hidung oleh gaya berat.(R.Pracy, 1989).
Polip hidung adalah massa yang lunak, berwarna putih keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung. Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang banyak berisi cairan interseluler dan kemudian terdorong kedalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal atau sering kali bilateral. Polip hidung sering berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar melalui osteum sinus maksila, masuk ke rongga hidung dan membesar di koana dan nasiparing. Polip ini disebut polip koana (antro koana).
Walaupun tidak ganas, poliposis dapat mengganggu dengan banyak keluhan karena cepat berkembang menjadi besar dan cenderung residif, Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan dari usia anak-anak sampai usia lanjut.
2.      Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi atopik didalam selaput mukosa hidung. Kerusakan jaringan setempat dalam mukosa menimbulkan produksi berlabihan cairan interseluler dan cenderung membentuk polip. Faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
1.      Alergi terutama renitis alergi
2.      Sinusitis kronik
3.      Iritasi
4.      Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka.

3.      Jenis Polip Hidung
Polip Hidung terbagi menjadi 2 jenis, yakni:
1.    Polip hidung Tunggal. Jumlah polip hanya sebuah. Berasal dari sel-sel permukaan dinding sinus tulang pipi (maxilla).
2.    Polip Hidung Multiple. Jumlah polip lebih dari satu. Dapat timbul di kedua sisi rongga hidung. Pada umumnya berasal dari permukaan dinding rongga tulang hidung bagian atas (etmoid).
Pembagian stedium polip menurut mackay dan lund (1997) adalah :
·           Stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius
·           Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di ringga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung
·           Stadium 3 : Polip yang masif





4.      Patofisiologi
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat didaerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun kedalam rongga hidung sambil membentuk tangkai sehingga terbentuk polip. Polip dikavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering adalah sinusitis kronis dan renitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong kesinus yang pada akirnya membentuk struktus yang bernama polip.
Polip berasal dari pembengkakan mukosa hidung yang terdiri atas cairan interseluler dan kemudian terdorong kedalam rongga hidung dan gaya berat. Polip yang dapat timbul dari bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan sering kali bilateral. Polip hidung sering berasal dari sinus maksila (antrum) dapat keluar melalui ostium sinus maksila dan masuk kerongga hidung dan membesar di koana dan nasofaring, polip ini disebut polip koana.
Secara makroskopis, polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin berbentuk bulat atau lonjong berwarna putih keabu-abuan agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila ditekan atau ditusuk tidak terasa sakit).
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neotrofil dan makrofag. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.

5.      Tanda dan gejala
1.      Sumbatan hidung
2.      Menurunnya indra penciuman
3.      Nyeri kepala
4.      Keluarnya sekret hidung yang berkepanjangan
5.      Iritasi hidung
6.      Bersin-bersin
7.      Suara sengau
Polip hidung jinak menyerupai buah anggur biasanya bilateral dan menggantung pada konka media dan masuk kerongga hidung. Apabila disangka polip menyebabkan gangguan drainase sinus, maka pembengkakan yang terjadi akan tertutup oleh nanah. Pada polip jinak tidak terjadi ulserasi ataupun perdarahan dan biasanya tidak pernah unilateral.

6.      Diagnosis
1.    Anamnesa
Pada anamnesa kasus polip, keluhan utama biasanya Ialah hidung tersumbat. Sumbatan ini menetap, tidak hilang dan semakin lama semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa didalam hidung dan sukar membuang ingus. Gejala lain adalah gangguan penciuman. Gejala sekunder dapat terjadi bila sudah di seratai kelainan organ di dekatnya berupa : adanya post nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
Selain itu juga harus ditanyakan rieayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat serta makanan.
2.    Pemeriksaan fisik
Polip yang masif dapat me menyebabkan deformitas hidung luar. Dapat di jumpai pelebaran kavum nasi terutama polip yang berasal dari sel-sel etmoid.
3.    Rinoskopi Anterior
Memperlihatkan massa translusen pada rongga hidung. Deformitas septum membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret mukus dan polip multipel atau soliter. Polip kadang perlu dibedakan dengan konka nasi inferior, yakni dengan cara memasukan kapas yang dibasahi dengan larutan efedrin 1% (vasokonstriktor), konka nasi yang berisi banyak pembuluh darah akan mengecil, sedangkan polip tidak mengecil. Polip dapat diobservasi berasal dari daerah sinus etmoidalis, ostium sinus maksilaris atau dari septum.

4.    Rinoskopi Posterior
Kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada kalanya berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian superior, yang menandakan adanya rinosinusitis.

5.    Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan naso-endoskopi.
6.    Pemeriksaan radiologi
Foto polos sinus para nasal (posisi waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip nasi karena dapat memberikan kesan positif palsu atau negatif palsu dan tidak dapat memberikan informasi mengenai keadaan dinding lateral hidung dan variasi anatomis di daerah kompleks osteomeatal.
7.    Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT scan)
Sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasika pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.
8.    Tes alergi
Evaluasi alergi sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat alergi lingkungan atau riwayat alergi pada keluarganya.
9.    Laboratorium
Untuk membedakan sinusitis alergi atau non alergi. Pada sinusitis alergi ditemukan eosinofil pada swab hidung, sedang pada non alergi ditemukannya neutrofil yang menandakan adanya sinusitis kronis.



7.      Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan rekurensi polip.
·      Polip yang masih kecil dapat diobati pemberian kortikosteroid baik diberikan topikal atau sistemik
·      Polip yang sudah besar dilakukan ekstraksi polip atau polipeptomi dengan menggunakan senar polip, apabila terjadi infeksi sinus perlu dilakukan irigasi dan pemberian antibiotik
·      Polip cenderung tumbuh kembali jika penyebabnya (alergi maupun infeksi tidak terkontrol) pemakaian obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid bisa memperklambat atau mencegah kekambuhan namun bersifat semantara untuk itu dilakukan pembedahan dengan memperbaiki drainase sinus dan membuang bahan-bahan yang terinfeksi.
Karena etiologi yang mendasari pada polip nasi adalah reaksi inflamasi, maka penatalaksanaan medis ditujukan untuk pengobatan yang tidak spesifik. Pada terapi medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid dapat diberikan secara sistemik ataupun intranasal.
Pemberian kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis tinggi dalam waktu yang singkat, dan pemberiannya perlu memperhatikan efek samping dan kontraindikasi. Kortikosteroid oral adalah pengobatan paling efektif untuk pengobatan jangka pendek dari polip nasi, dan kortikosteroid oral memiliki efektivitas paling baik dalam mengurangi inflamasi polip.
Pengobatan juga dapat ditujukan untuk mengurangi reaksi alergi pada polip yang dihubungkan dengan rhinitis alergi. Pada penderita dapat diberikan antihistamin oral untuk mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi. Bila telah terjadi infeksi yang ditandai dengan adanya sekret yang mukopurulen maka dapat diberikan antibiotik.
Pengobatan medis sebagai berikut :
Steroid oral dan topikal di berikan pada pengobatan pertama pada nasal polip. Antihistamin, dekongestan dan sodium cromolyn memberikan sedikit keuntungan. Imunoterapi mungkin dapat berguna untuk pengobatan rhinitis alergi, tapi bila di gunakan sendirian, tak dapat berguna pada polip yang telah ada, pemberian antibiotik bila terjadi superimposed infeksi bakteri.
Kortikosteroid adalah pengobatan pilihan, baik secara topikal maupun sistemik. Injeksi langsung pada polip tidak dibenarkan oleh Food and Drug Administration karena dilaporkan terdapat 3 pasien dengan kehilangan penglihatan unilateral setelah injeksi intranasal langsung dengan kenalog. Keamanan mungkin tergantung pada ukuran spesifik partikel. Berat molekuler yang besar seperti Aristocort lebih aman dan sepertinya sedikit yang di pindahkan ke area intrakranial. Hindari injeksi langsung ke dalam pembuluh darah.
Pembedahan dilakukan jika :
1.  Polip menghalangi saluran nafas
2.  Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus
3.  Polip berhubungan dengan tumor
4.  Pada anak-anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitis yang gagal pengobatan   maksimum dengan obat- obatan.
Tindakan pengangkatan polip atau polipektomi dapat dilakukan dengan menggunakan senar polip dengan anestesi lokal, untuk polip yang besar tetapi belum memadati rongga hidung. Polipektomi sederhana cukup efektif untuk memperbaiki gejala pada hidung, khususnya padakasus polip yang tersembunyi atau polip yang sedikit. Bedah sinus endoskopik (Endoscopic Sinus Surgery) merupakan teknik yang lebih baik yang tidak hanya membuang polip tapi juga membuka celah di meatus media, yang merupakan tempat asal polip yang tersering sehingga akan membantu mengurangi angka kekambuhan.Surgical micro debridement  merupakan prosedur yang lebih aman dan cepat, pemotongan jaringan lebih akurat dan mengurangi perdarahan dengan visualisasi yang lebih baik.
8.      Komplikasi
Satu buah polip jarang menyebabkan komplikasi, tapi dalam ukuran besar atau dalam jumlah banyak (polyposis) dapat mengarah pada akut atau infeksi sinusitis kronis, mengorok dan bahkan sleep apnea - kondisi serius nafas dimana akan stop dan start bernafas beberapa kali selama tidur. Dalam kondisi parah, akan mengubah bentuk wajah dan penyebab penglihatan ganda/berbayang.

9.      Prognosis
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap berlanjut. Rekurensi dari polip umumnya terjsdi bila adanya polip yang multipel . polip tunggal yang besar seperti polip antralkoanal jarang terjadi relaps.
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu ditujukan pada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling edeal pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi
Secara medisa mentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desentisisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN POLIP

1.1      Pengkajian
1.    Biodata
Nama, umur, sex, alamat, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan
2.    Keluhan utama
Biasanya klien mengeluh sulit bernafas, hidung rasa tersumbat  tidak hilang dan semakin lama semakin berat.
3.    Riwayat penyakit sekarang 
Klien mengeluh hidung tersumbat, Sumbatan ini menetap, tidak hilang dan semakin lama semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa didalam hidung dan sukar membuang ingus. Klien juga mengeluh mengalami gangguan penciuman. Gejala sekunder dapat terjadi bila sudah di seratai kelainan organ di dekatnya berupa : adanya post nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
4.    Riwayat penyakit dahulu
-   Klien pernah menderita penyakit akut seperti asma
-   Pernah mempunyai riwayat penyakit THT seperti rhinitis alergi
-   Intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat serta makanan.
-   Pernah menderita sakit gigi geraham
5.    Riwayat penyakit keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang
6.    Riwayat psikososial
Interpersonal seperti perasaan yang dirasakan klien (cemas,sedih). Hubungan dengan orang lain (minder)
7.    Pola istirahat tidur
Klien mengeluh gangguan istirahat karena hidung tersumbat dan pilek
8.    Pola sensorik
Biasanya pola penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus (baik purulen, serous, mukopurulen)


1.2     Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing)
Daya penciuman terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus (baik purulen, serous, mukopurulen), hidung terasa tersumbat, susah bernafas, mukosa merah dan bengkak, merasa banyak lendir dan keluar darah.
B2 (Blood)
Takikardi, disritmia, sakit kepala, pucat (anemia), Klien merasa lesu dan pusing, demam,keringat malam, diaforesis
B3 (Brain)
Kesadarn komposmentis.
B4 (Bladder)
Dalam batas normal
B5 (Bowel)                
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung dan proses penciuman,kelelahan, kelemahan
B6 (Bone)
Nyeri tekan pada daerah hidung, Nyeri pada tulang pipi

1.3     Diagnosa Keperawatan
1.    Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi/sumbatan pada hidung
2.    Nyeri akut berhubungan dengan edema cavum nasal
3.    Ketidakseimbangan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan proses penciuman
4.    Risiko infeksi berhubungan dengan adanya penyakit sekunder

1.4      Intervensi Keperawatan
1.    Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi/sumbatan pada hidung
Tujuan : Mempertahankan pola pernapasan normal/efektif bebas dispnea, sianosis atau tanda lain seperti distress pernapasan
Kriteria Hasil :
-   Frekuensi nafas normal 16-20 x/menit
-   Tidak ada suara nafas tambahan
-   Tidak menggunakan otot pernafasan tambahan
-   Tidak terjadi dispnea dan sianosis
Intervensi :
1.    Kaji/awasi frekuensi pernapasan, kedalaman, irama. Perhatikan laporan dispnea dan/atau penggunaan otot bantu pernapasan cuping hidung, gangguan pengembangan dada.
R/ : Perubahan (seperti takipnea, dispnea, penggunaan otot aksesori) dapat mengindikasikan berlanjutnya keterlibatan/pengaruh pernapasan yang membutuhkan upaya intervensi.
2.    Beri posisi dan bantu ubah posisi secara periodik
R/ : Meningkatkan kenyamanan klien
3.    Anjurkan/bantu dengan tehnik napas dalam dan/atau pernapasan bibir atau pernapasan diafragmatik abdomen bila diindikasikan
R/ : Membantu meningkatkan difusi gas dan ekspansi jalan napas kecil, memberikan klien beberapa kontrol terhadap pernapasan, membantu menurunkan ansietas.
4.    Awasi/evaluasi warna kulit, perhatikan pucat, terjadinya sianosis (khususnya pada dasar kulit, daun telinga dan bibir)
R/ : proliferasi SDP dapat menurunkan kapasitas pembawa oksigen darah, menimbulkan hipoksemia.
5.    Kaji respon pernafasan terhadap aktifitas. Perhatikan keluhan dispnea/lapar udara meningkat kelelahan. Jadwalkan period istirahat antara aktivitas.
R/ : penurunan oksigen seluler menurunkan kebutuhan oksigan dan mencegah kelelahan
6.    Tingkatkan tirah baring dan berikan perawatan sesuai indikasi selama eksaserbasi akut/panjang
R/ : Memburuknya keterlibatan pernafasan/hipoksia dapat mengindikasika penghentian aktivitas untuk mencegah pengaruh pernafasan lebih serius
7.    Berikan lingkungan tenang
R/ : Meningkatkan relaksasi, penyimpanan energi dan menurunkan kebutuhan oksigen
8.    Observasi distensi vena leher, sakit kepala, pusing, edema periorbital/fasial, dispnea dan stridor
R/ : Klien non-hodgkin pada resiko sindrom vena cava superior dan obstruksi jalan nafas, menunjukkan kedaruratan onkologis
9.    Kolaborasi pemberian oksigen
R/ : Memaksimalkan ketersediaan untuk kebutuhan sirkulasi, membantu menurunkan hipoksemia\

2.    Nyeri akut berhubungan dengan edema cavum nasal
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria Hasil :
-   Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau hilang
-   Ekspresi wajah rileks
-   Skala nyeri turun antara 0-3
Intervensi :
1.    Kaji tingkat nyeri klien
R/ : Mengetahui tingkat nyeri klien dalam menentukan tindakan selanjutnya
2.    Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya
R/ : Dengan sebab dan akibat nyeri diharapkan klien berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi nyeri
3.    Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi
R/ : Klien mengetahui tehnik distraksi dan relaksasi sehingga dapat mempraktekannya bila mengalami nyeri
4.    Observasi tanda vital dan keluhan klien
R/ : Mengetahui keadaan umum dan perkembangan kondisi klien
5.    Kolaborasi dengan tim medis dengan terapi konservatif dalam pemberian obat acetaminopen, aspirin, dekongestan hidung.
R/ : Menghilangkan / mengurangi keluhan nyeri klien

3.    Ketidakseimbangan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan proses penciuman
Tujuan : Menunjukkan peningkatan nafsu makan
Kriteria Hasil :
-       Peningkatan masukan makanan
-       Tidak ada penurunan berat badan lebih lanjut
Intervensi :
1.    Pastikan pola diet biasa klien, yang disukai atau tidak disukai
R/ : membentu dalam mengidentifikasi kebutuhan/kekuatan khusus
2.    Awasi masukan dan pengeluaran dan berat badan secara periodik
R/ : Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan lingkunganb cairan
3.    Berikan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi kalori dan tinggi karbohidrat
R/ : Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tidak perlu/kebutuhan energi dari makanan banyak dan menurunkan iritasi gaster

4.    Risiko infeksi berhubungan dengan adanya penyakit sekunder
Tujuan : infeksi tidak terjadi
Kriteria Hasil :
-   Mengidentifikasi perilaku untuk mencegah/menurunkan risiko infeksi
-   Meningkatkan penyambuhan luka
-   Bebas eritema (kemerahan,gatal)
-   Tidak terjadi demam
Intervensi
1.    Tingkatkan cuci tangan yang baik oleh pemberi perawatan dan klien
R/ : Mencegah kontaminasi silang/kolonisasi bakterial
2.    Pertahankan tehnik aseptik ketat pada prosedur/perawatan luka
R/ : Menurunkan risiko kolonisasi infeksi bakteri
3.    Berikan perawatan kulit, perianal, dan oral dengan cermat
R/ : Menurunkan risiko kerusakan kulit/jaringan dan infeksi
4.    Bantu perubahan posisi/ambulasi yang sering
R/ : Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah decubitus pencetus infeksi
5.    Pantau suhu, catat adanya menggigil dan takikardi dengan/tanpa demam
R/ : adnaya proses inflamasi/infeksi membutuhkan evaluasi pengobatan
6.    Pantau/batasi kunjungan
R/ : Membatasi pemajanan pada bakteri/infeksi
7.    Kolaborasi dalam pemberian antiseptik topikal, antibiotik sistemik
R/ : Mungkin digunakan secara propilaktik untuk menurunkan kolonisasi atau untuk pengobatan proses infeksi lokal.



DAFTAR PUSTAKA
Adams, George L, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, Buku Kedokteran EGC, jakarta : 1997
Broek, Van Den, Ilmu Kesehatan Tenggorok Hidung dan Telinga edisi 12, Buku kedokteran EGC, Jakarta : 2010
Lucente, Frank E, Ilmu THT, Buku kedokteran EGC, Jakarta : 2011
Mansjoer, Arief. Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I. Penerbit Media Aesculapius FK-UI. Jakarta : 2000

Soepardi, Efiaty Arsyad, Dkk. Buku Ajar Kesehatan Telinga Hidung tenggorok edisi VI. Balai penerbit FK-UI. Jakarta : 2010

Soepardi, Efiaty Arsyad, Dkk. Penatalaksanaan da Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta : 2000
Siegler, R Pracy, still, Buku Pelajaran ringkas Telinga Hidung dan Tenggorok, PT Gramedia, Jakarta : 1989
Samsudin, Sonny, Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok, Buku kedokteran EGC, Jakarta : 1993

1 komentar: