A.
Definisi
Otitis Media Kronik (OMK)
Otitis media kronis adalah infeksi menahun pada
telinga tengah. Kondisi yang berhubungan dengan patologi jaringan irrefersibel
dan biasanya disebabkan oleh episode berulang otitis media akut yang tak
tertangani. Otitis media adalah proses peradangan ditelinga tengah dan mastoid
yang menetap > 12 minggu. Otitis media kronik adalah peradangan telinga
tengah yang gigih, secara khas untuk sedikitnya 1bulan. Orang awam biasanya
menyebut congek (Alfatih, 2007).
B.
Etiologi
Otitis media kronis terjadi akibat adanya lubang
pada gendang telinga (perforasi) (Mediastore, 2009). Perforasi gendang telinga
bisa disebabkan oleh: otitis media akut penyumbatan tuba eustacius cedera
akibat masuknya suatu benda ke dalam telinga atau akibat perubahan tekanan
udara yang terjadi secara tiba-tiba luka bakar karena panas atau zat kimia.
Bisa juga disebabkan, antara lain:
1. Stapilococcus
2. Diplococcus
pneumonie
3. Hemopilus
influens
4. Gram
Positif : S. Pyogenes, S. Albus
5. Gram
Negatif : Proteus spp, Psedomonas spp, E. Coli.
6. Kuman
anaerob : alergi, diabetes mellitus, TBC
paru.
Sedangkan penyebab lain, yaitu:
1.
Lingkungan
Kelompok
sosial ekonomi rendah memiliki insiden OMK lebih tinggi.
2.
Genetik
Luasnya
sel mastoid yang dapat dikaitkan dengan faktor genetik. Sistem-sel-sel udara mastoid
lebih kecil pada penderita otitis media.
3.
Riwayat otitis media sebelumnya
Otitis
media kronik merupakan kelanjutan dari otitis media akut atau otitis media
dengan efusi, tapi tidak diketahui
4.
Infeksi
Organisme
yang terutama dijumpai adalah bakteri Gram (-), flora tipe usus, dan beberapa
organisme lainnya.
5.
Infeksi saluran nafas atas
Infeksi
virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya daya
tahan tubuh terhadap organisme yangs ecara normal berada dalam telinga tengah,
sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.
6.
Autoimun
Memiliki
insiden lebih besar terhadap OMK.
7.
Alergi
Penderita
alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang
bukan alergi.
8.
Gangguan fungsi tuba eustacius
Pada
telinga yang inaktif berbagai metoda telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi
tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tidak mungkin mengembalikan
tekanan menjadi negatif.
C.
Klasifikasi
1. Otitis
Media Kronik (OMK) tipe benigna
2. Otitis
Media Kronik (OMK) dengan kolesteatoma
D.
Manifestasi
Klinis
Gejala
berdasar tipe Otitis Media Kronik:
1. Otitis
Media Kronik (OMK) tipe benigna
Gejala berupa discharge mukoid yang tidak terlalu
berbau busuk, ketika pertama kali ditemukan bau busuk mungkin ada tetapi dengan
pembersihan dan penggunaan antibiotik lokal biasanya cepat hilang, discharge
mukoid dapat konstan atau intermitten.
Gangguan
pendengaran konduktif selalu di dapat pada pasien dengan derajat ketulian
tergantung beratnya kerusakan tulang-tulang pendengaran dan koklea selama
infeksi nekrotik akut pada awal penyakit. Perforasi membran timpani terbatas
pada mukosa sehingga membran mukosa menjadi berbentuk garis dan tergantung
derajat infeksi membran mukosa dapat tipis dan pucat atau merah dan tebal,
kadang suatu polip di dapat tapi mukoperiosteum yang tebal dan mengarah pada
meatus menghalangi pandangan membran timpani dan telinga tengah sampai polip
tersebut diangkat. Discharge terlihat berasal dari rongga timpani dan orifisium
tuba eustachius yang mukoid dan setelah satu atau dua kali pengobatan lokal bau
busuk akan berkurang. Cairan mukus yang tidak terlalu bau, datang dari perforasi
besar tipe sentral dengan membran mukosa yang berbentuk garis pada rongga
timpani merupakan diagnosa khas pada OMKS tipe benigna.
2. Otitis
Media Kronik (OMK) dengan kolesteatoma
Kolesteatoma
atau benjolan mutiara (tumor mutiara) disebabkn oleh pertumbuhan kulit liang telinga atau lapisan epitel gendang
telinga yang masuk ke telinga tengah atau mastoid. Mengenai patogenesisnya
secara tepat, dalam kurun waktu bertahun- tahun, ada banyak spekulasi serta
banyak macam teori.
Kolesteatoma
dapat tumbuh masuk mellui pars flakisda(membrn shrapnell) maupun melalui pars
tensa. Selaput gendang telinga mendesak ke dalam dan melekat pada dinding
medial atik atau dengan rangkaian tulang pendengaran. Akibatnya timbul retraksi
berupa kantong pada gendang telinga, karena epitel mati tertimbun secara
berlapis. Sumbatan debris yang demikian tidak dapat lagi tumbuh secra alami
keluar bersama bersama gendang telinga, sehimgga seolah-olah terperangkap dalam
struktur telinga tengah. Akibat penimbunan epitel yang progresif itu sumbatan
jaringan memberi tekanan pada tulang sekitarnya, sehingga lama-lama jaringan
tulang ini pun mengalami erosi. Kadang-kadang, proses ini berjaln tanda gejala,
namun sering timbul infeksi sekunder dengan keluhan mengeluarkan cairan telinga
yang berbau, gangguan pendengaran, atau komplikasi yang disebaban oleh
kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan pada n. Fasialis atau labirin. Pada
pemeriksaan otoskopi, ditemukan debris epitel dalam liang telinga. Di
belakangnya tampak kolesteatoma dengan sisik kreatin putih. Kadang-kadang,
tampak granulasi atau polip di dalam lubang perforasi (kadang-kadang disebut
pertanda polip).
Kolesteatoma
dapat tumbuh ke dalam os petrosum, bahkan intrakranial. Rasa pusing yang di
provokasi oleh tekanan pada liang telinga luar merupakan tanda bahwa ada
hubungan terbuka dengan labirin.(gejala fistula positif). Pengobatan
koleasteatoma hampir mengeluarkannya secara operatif. Pad pasien usia lanjut,
pada umumnya pembentukan kolesterol lambat. Lekukan yang berup kantong itu
dapat di bersihkan di bawah mikroskop
dengan alat penghisap secara teratur.
Adapula bentuk koleasteotoma
“primer”, disebut koleasteotoma kongenital, yang terbentuk dari sel-sel benih
(kiembladcellen) dalam os petrosis yang dalam sekali. Dalam hal ini tidak
tampak adanya lubang perrforasi pada gendang telinga.
E.
Patofisiologi
Ada celah/ liang
tengah yang pneumatisasinya terhalang. Diduga tuba eustachius tidak berhasil
membuka secukupnya sehingga tekanan udara diruang kedua sisi gendang telinga
tengah lebih rendah dari pada udara telinga luar. Otitis media yang berulang
akan menghancurkan pars tensa dan tulang pendengaran, luasnya kerusakan
tergantung dari berat dan seringnya penyakit kambuh. Prosessus longus inkus
menderita paling dini karena aliran darah kedaerah ini berkurang. Infeksi
sekunder oleh bakteria dari liang telinga luar menyebabkan keluarnya cairan
yang menetap.
F.
Pemeriksaan
Diagnostik
1. Otoskop,
dilakukan untuk menegakkan diagnosis berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan
telinga dengan.
2. Pembiakan
terhadap cairan yang keluar dari telinga, berfungsi untuk mengetahui organisme
penyebabkan otitis media kronik (OMK)
3. Rongen
mastoid atau CT scan kepala untuk mengetahui adanya penyebaran infeksi ke
struktur disekeliling telinga.
4. Tes
Audiometri dilakukan untuk mengetahui adanya penurunan pendengaran
5. X-ray
dikukan terhadap kalestatoma dan kekaburan mastoid.
G.
Penatalaksanaan
1. OMK
Benigna
a.
OMSK Benigna Tenang
Pemberian healt education dengan
tidak mengorek telinga, tidak memasukkan air ke dalam telinga saat mandi, tidak
berenang saat fase-fase pengobatan. Tindakan selanjutnya lakukan operasi
rekonstruksi (miringioplasti, timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang
dan gangguan pendengaran).
b. OMSK
Benigna Aktif
1)
Pembersihan liang telinga dan kavum
timpani (toilet telinga).
Hal ini dilakukan agar lingkungan
yang tidak sesuai untuk perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga
merupakan media yang baik bagi perkembangan mikroorganisme.
2)
Pemberian antibiotik topikal
Antibiotik topikal berupa
Polimiksin B atau polimiksin E, Neomisin, Kliramfenikol, Koli 96%,
3)
Pemberian antibiotik sistemik
Diberikan berdasarkan kultur kuman
penyakit. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai
pembersihan sekret profus.
2. OMK
Maligna
Tindakan
yang tepat untuk OMK adalah operasi. Jenis pembedahan atau tehnik operasi yang
dapat dilakukan yaitu:
a. Mastoiditis
sederhana
b. Mastoidektomi
radikal
c. Mastoidektomi
radikal dengan modifikasi (Operasi Bondy)
d. Miringioplasti
e. Timpanoplasti
f. Timpanoplasti
dengan pendekatan ganda
H.
Komplikasi
Menurut
Shangbough (2003) komplikasi OMK terbagi atas:
a. Komplikasi
Intratemporal
· Perforasi
membran timpani
· Mastoiditis
akut
· Parese
nervus fasialis
· Labrinitis
· Petrositis
b. Komplikasi
Ekstratemporal
· Abses
subperiosteal
c. Komplikasi
Intrakranial
· Abses
otak
· Tromboflebitis
· Hidrocepalus
otikus
· Empiema
subdural/ ekstradural
J.
Asuhan
Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat
1)
Identitas Pasien
2)
Riwayat adanya kelainan nyeri
3)
Riwayat infeksi saluran nafas atas yang
berulang
4)
Riwayat alergi.
5)
OMA berkurang.
b. Pengkajian Fisik
1)
Nyeri telinga
2)
Perasaan penuh dan penurunan pendengaran
3)
Suhu Meningkat
4)
Malaise
5)
Nausea Vomiting
6)
Vertigo
7)
Ortore
8)
Pemeriksaan dengan otoskop tentang
stadium.
c. Pengkajian Psikososial
1)
Nyeri otore berpengaruh pada interaksi
2)
Aktifitas terbatas
3)
Takut menghadapi tindakan pembedahan.
d. Pemeriksaan Laboratorium.
e. Pemeriksaan Diagnostik
1)
Tes Audiometri : AC menurun
2)
X ray : terhadap kondisi patologi
3)
Misal : Cholesteatoma, kekaburan
mastoid.
f. Pemeriksaan pendengaran
1)
Tes suara bisikan
2)
Tes garputala
2. Diagnosa
Keperawatan
a. Perubahan persepsi/sensoris
berhubungan dengan gangguan lewatnya gelombang suara.
Tujuan : Persepsi / sensoris
baik.
Kriteria hasil :
Klien
akan mengalami peningkatan persepsi/sensoris pendengaran sampai pada tingkat
fungsional.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
Ajarkan klien untuk menggunakan dan merawat alat
pendengaran secara tepat.
2.
Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik
yang aman sehingga dapat mencegah terjadinya ketulian lebih jauh.
3.
Observasi tanda-tanda awal kehilangan pendengaran
yang lanjut.
4.
Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh
dosis antibiotik yang diresepkan (baik itu antibiotik sistemik maupun lokal).
|
1.
Keefektifan alat pendengaran tergantung pada tipe
gangguan/ketulian, pemakaian serta perawatannya yang tepat.
2.
Apabila penyebab pokok ketulian tidak progresif,
maka pendengaran yang tersisa sensitif terhadap trauma dan infeksi sehingga
harus dilindungi.
3.
Diagnosa dini terhadap keadaan telinga atau terhadap masalah-masalah pendengaran rusak secara permanen.
4.
Penghentian terapi antibiotika sebelum waktunya
dapat menyebabkan organisme sisa berkembang biak sehingga infeksi akan
berlanjut.
|
b. Cemas berhubungan dengan prosedur
operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi, kemungkinan
penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.
Tujuan : Rasa cemas klien akan
berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
T Klien
mampu mengungkapkan ketakutan/kekuatirannya.
T Respon
klien tampak tersenyum.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
Diskusikan mengenai kemungkinan kemajuan dari
fungsi pendengarannya untuk mempertahankan harapan klien dalam berkomunikasi.
2.
Berikan informasi mengenai klien yang juga pernah
mengalami gangguan seperti yang dialami klien danmenjalani operasi
3.
Berikan informasi mengenai sumber-sumber dan
alat-lat yang tersedia yang dapat membantu klien (persiapan preoperasi,
intraoperasi dan post opersi)
4.
Berikan support sistem (perawat, keluarga atau
teman dekat dan pendekatan spiritual)
5.
Reinforcement terhadap potensi dan sumber yang
dimiliki berhubungan dengan tindakan operasinya.
|
1.
Menunjukkan kepada klien bahwa dia dapat
berkomunikasi dengan efektif tanpa menggunakan alat khusus, sehingga dapat
mengurangi rasa cemasnya.
2.
Harapan-harapan yang tidak realistik tiak dapat
mengurangi kecemasan, justru malah
menimbulkan ketidak percayaan klien terhadap perawat.
3.
Memungkinkan klien untuk memilih metode komunikasi
yang paling tepat untuk kehidupannya sehari-hari disesuaikan dnegan tingkat
keterampilannya sehingga dapat mengurangi rasa cemas dan frustasinya.
4.
Dukungan dari bebarapa orang yang memiliki
pengalaman yang sama akan sangat membantu klien.
5.
Agar klien menyadari sumber-sumber apa saja yang
ada disekitarnya yang dapat mendukung dia untuk berkomunikasi.
|
DAFTAR
PUSTAKA
Latief,
Abdul. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.
Marlyn
E. Dongoes, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler (2000). Rencana asuhan
Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien
Edisi 3. Jakarta: Kedokteran EGC.
Reeves.
2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Smeltzer.
2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC
Wilkinson.
2007. Buku Ajar Diagnosa Keperawatan Dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil
NOC. Jakarta: EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar