Sabtu, 13 Juli 2013

ASKEP CA MEDIASTINUM

1.1    DEFINISI
Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum, yaitu rongga yang berada di anatara paru kanan dan kiri berisi jantung, pembuluh darah arteri, pembuluh darah vena, trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening dan salurannya. Rongga mediastinum sempit dan tidak dapat diperluas sehingga pembesaran tumor dapat menekan organ di dekatnya dan menimbulkan kegawatan yang mengancam jiwa. ( Hood Alsagaff, 2006)


1.2    ETIOLOGI
Secara umum faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab tumor adalah :
a.       Penyebab kimiawi
Di berbagai negara ditemukan banyak tumor kulit pada pekarja pembersih cerobong asap. Zat yang mengandung karbon dianggap sebagai penyababnya
b.      Faktor Genetik (biomolekuler)
Golongan darah A lebih tinggi 20% berisiko menderita kanker/ tumor pada lambung dari pada golongan darah O, selain itu berubahan genetik termasuk perubahan atau mutasi dalam gen normal dan pengaruh protein bisa menekan atau meningkatkan perkembangan tumor.
c.       Faktor Fisik
Secara fisik, tumor berkaitan dengan trauma/pukulan berulang-ulang baik trauma fisik maupun penyinaran. Penyinaran bisa berupa sinar ultraviolet yang berasal dari sinar matahari maupun sinar lain seperti sinar X (rontgen) dan radiasi bom atom.
d.      Faktor Nutrisi
Salah satu contoh utama adalah dianggapnya aflaktosin yang dihasilkan oleh jamur pada kacang dan padi-padian sebagai pencetus timbulnya tumor.
e.       Penyebab Bioorganisme
Misalnya virus, pernah dianggap sebagai kunci penyabab tumor dengan ditemukannya hubungan virus dengan penyakit tumor pada binatang percobaan. Namun ternyata konsep itu tidak berkembang lanjut pada manusia.
f.       Faktor Hormon
Pengaruh hormon dianggap cukup besar, namun mekanisme dan kepastian peranannnya belum jelas. Pengaruh hormon dalam pertumbuhan tumor bisa dilihat pada organ yang banyak dipengaruhi oleh hormon tersebut.
 
1.3    PATOFISIOLOGI
Sebab-sebab keganasan pada tumor masih belum jelas, tetapi virus, faktor lingkungan, faktor hormonal dan faktor genetik semuanya berkaitan dengan risiko terjadi tumor. Permulaan terjadinya tumor dimulai dengan adanya zat yang bersifat initiation yang merangsang permulaan terjadinya perubahan sel. Diperlukan perangsangan yang lama dan berkesinambungan untuk memicu timbulnya penyakit tumor. Initiati agent biasanya bisa berupa unsur kimia, fisik atau biologis yang berkemampuan beraksi langsung dan merubah struktur darsar dari komponen genetic (DNA). Keadaan selanjutnya akibat keterpaparan yang lama ditandai dengan berkembangnya neoplasma dengan terbentuknya formasi tumor. Hal ini dapat berlangsung lama,minggu bahkan sampai tahunan.
Dengan semakin meningkatnya volume massa sel-sek yang berproliferasi maka secara mekanik menimbulkan desakan pada jaringan sekitarnya,pelepasan berbagai substansi pada jaringan normal seperti prostalandin, radikal bebas dan protein-protin reaktif secara berlebihab sebagai penyebab timbulnya karsinoma meningkatkan daya rusak sel-sel kanker terhadap jaringan sekitarnya, terutama jaringan yang memiliki ikatan yang relatif lemah. Kanker sebagai bentuk jaringan progresif yang memiliki ikatan yang longgar mengakibatkan sel-sel yang dihasilkan dari jaringan kanker lebih mudah untuk pecah dan menyebar keberbagai organ tubuh lainnya (metastase) melalui kelenjar, pembuluh darah maupun peristiwa mekanis dalam tubuh. Adanya pertumbuhan sel-sel progresif pada mediastinum secara mekanik menyebabkan penekanan (direct pressure/indirect pressur) serta dapat menimbulkan distruksi jaringan sekitar yang menimbulkan manifestasi seperti penyakit infeksi pernafasan lain seperti sesak nafas, nyeri inspirasi, peningkatan produksi sputum, bahkan batuk darah atau lendir berwarna merah (hemaptoe) manakala telah melibatkan banyak kerukan pembuluh darah. Kondisi kanker juga meningkatkan risiko timbulnya infeksi sekunder, sehingga kadang kala manifestasi klinik yang lebih menonjol mengarah pada infeksi saluran napas seperti pneumoni tuberkulosis walaupun mungkin secara klinik kurang dijumpai gejala demam yang menonjol.
(http://dedyrn.blogspol.com/2009.diakses tanggal 30 oktober 2011)




1.4    KLASIFIKASI
Klasifikasi tumor mediastinum didasarkan atas organ/jaringan asal tumor atau jenis histologisnya seperti yang dikemukakan oleh Rosenberg :
1.      Neurogenik
·         Arising from peripheral nervus :
-          Neuruvibroma
-          Neurilemoma (schwannoma)
-          Neurosarkoma
·         Arising from sympatetic ganglia
-          Ganglioneuroma
-          Ganglioneuro blastoma
-          Neuroblastoma
·         Arising from paraganglionik tissue
-          Phechromocytoma
-          Chemodectoma (paraganglioma)
2.      Thymic
·         Thymoma
·         Carsinoid
·         Thymoliphoma
3.      Lymphoma
·         Hodgkin’s disease
·         Histiocytic lympoma
·         Undifferentiated
4.      Germ cell tumors
·         Seminoma
·         Nonseminomatus tumors
·         Pure embryonal cell
·         Mixed embrional cell
-          With seminomatus elemens
-          With trophoblastic elemen
-          With teratoid elemens
-          With entodermal sinus elemens (yolk sac tumors)
·         Teratoma, benign
5.      Aneurysms
6.      Mesenchymal tumors
·         Fibroma and fibrosarcoma
·         Limpoma and hiposarcoma
·         Myxoma
·         Mesothelioma
·         Leiomyoma and leimyoma sarcoma
·         Rhabdomysarcoma
·         Xanthogranuloma
·         Mesenchymoma
·         Hemangioma
·         Hemangiondothelioma
·         Hemangipericytoma
·         Lymphangioma
·         Lymphangiomyoma
·         Lyphangiopericytoma
7.      Endocrine Tumor
·         Thyroid
·         Parathyroid
8.      Cysts
·         Pericardial
·         Bronchogenic
·         Enteric
·         Thymic
·         Thoracic duct
·         Meningoceles
9.      Hernias
·         Hiatal
·         Morgagni
10.  Lymphadenopathy

·         Inflammatory
·         Granulomatous
·         Sarcoid

1.5    MANIFESTASI KLINIS
Kebanyakan tumor mediastinum tumbuh lambat sehingga pasien sering datang setelah tumor cukup besar disertai keluhan dan tanda akibat penekanan tumor terhadap organ sekitarnya. Tanda dan gejala yang timbul tergantung pada organ yang terlibat:
1.      Batuk, sesak, atau stridor bila terjadi penekanan atau inasi pada trakea dan atau bronkus utama.
2.      Disfagia bila terjadi penekanan atau invasi pada esofagus.
3.      Sindrom vena kava superior (SVKS) lebih sering terjadi pada tumor mediastinum yang ganas dibandingkan dengan tumor jinak.
4.      Suara serak dan batuk kering bila nervus laringeal terlibat
5.      Paralisis diafragma timbul apabila terjadi penekanan pada nervus frenikus
6.      Nyeri dinding dada pada tumor neurogenik atau pada penekanan pada sistem syaraf.
Nyeri dada timbul paling sering pada tumor mediastinum anterosuperior. Nyeri dada yang serupa biasanya disebabkan oleh kompresi atau invasi dinding dada posterior dan nervus interkostalis. Kompresi batang trakhebronkus biasanya memberikan gejala seperti dispnae, batuk, pneumonitis berulang atau gejala yang agak jarang yaitu stidor. Keterlibatan esophagus bisa menyebabkan disfagia atau gejala obstruksi. Keterlibatan nervus laringeus rekuren, rantai simpatis atau plekus brakialis masing-masing menimbulkan paralisis plika vokalis, sindrom horner dan sindrom pancoast. Tumor mediastinun yang menyebabkan gejala ini paling sering berlokalisasi pada mediastinum superior. Keterlibatan nervus frenikus bisa menyebabkan paralisis diafragma.

1.6    PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
A.  Prosedur Radiologi
1.    Foto thoraks
Dari foto thoraks PA atau lateral untuk menentukan lokasi tumor anterior, medial atau posterior, tetapi pada kasus dengan ukuran tumor yang besar sulit ditentukan lokasinya yang pasti.
2.    Tomografi
Dapat menentukan lokasi tumor, mendeteksi klasifikasi pada lesi yang sering ditemukan pada kista dermoid, tumor tiroid, dan kadang-kadang timoma. Teknik ini semakin jarang digunakan.

3.    CT-scan toraks dengan kontras
Dapat mendeskripsikan lokasi, kelainan tumor secara lebih baik, kemungkina jenis tumor, misalnya pada teratoma dan timoma, menentukan stage pada kasus timoma dengan cara mencari apakah telah terjadi invasi atau belum, mempermudah pelaksanaan pengambilan bahan untuk pemeriksaan sitologi, serta untuk menentukan luas radiasi beberapa jenis tumor mediastiinum bila dilakukan CT-Scan Toraks dan CT-Scan abdomen.
4.    Flouroskopi
Untuk melihat kemungkinan terjadi aneurisma aorta.
5.    Ekokardiografi
Untuk mendeteksi pulsasi pada tumor yang diduga terjadi aneurisma aorta.
6.    Angiografi
Lebih sensitif untuk mendeteksi aneurisma aorta dibandingkan flouroskopi dan ekokardiografi.
7.    Esofagografi
Pemeriksaan ini dianjurkan dilakukan bila ada dugaan invasi atau penekanan pada esofagus.
8.    USG, MRI, dan Kedokteran Nuklir
Jarang dilakukan, tetapi pemeriksaan ini terkadang harus dilakukan untuk beberapa kasus tumor mediastinum.
(www.klik pdpi.com/tumor mediastinum)

B.  Prosedur Endoskopi
1.      Bronkoskopi
Dilakukan bila ada indikasi operasi, dapat memberikan informasi tentang penekanan tumor teerhadap saluran nafas beserta lokasinya,. Bronkoskopi sering dapat digunakan untuk membedakan antara tumor mediastinum dengan kanker paru primer.
2.      Mediastinoskopi
Tindakan ini dilakukan bila tumor berlokasi di mediastinum anterior.
3.      Esofagoskopi
4.      Torakoskopi Diagnostik
5.      Elektromagnestic Navigation Diagnostic Bronchoscopy
Tindakan ini merupakan metode yang aman untuk mengambil sampel lesi-lesi yang terletak agak ke perifer dimana bronkoskopi biasa tidak bisa mencapainya. Selain itu tindakan ini dapat digunakan untuk mengambil sampel lesi tumor mediastinum dengan cara Tranbroncial Needle Bronchoscopy Aspiration (TNBA), dimana dapat memberikan hasil diagnostik yang tinggi serta tidak dipengaruhi oleh besar kecil dan lokasi tumor.
(www.klik pdpi.com/tumor mediastinum)

C.  Prosedur Anatomi Patologik (Histopatologi) dengan pemeriksaan sitologi dan histologi
Prosedur ini dilakukan untuk mengidentifikasi jenis tumor.
1.      Biopsi Jarum Halus (BJH) atau Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) bila ditemukan pembesaran kelenjar getah bening atau tumor superfisial.
2.      Pungsi pleura bila ada efusi pleura
3.      Bilasan atau sikatan bronkus pada saat pemeriksaan bronkoskopi
4.      Biopsi Aspirasi Jarum (BAJ), yairu pengambilan bahan atau spesimen dengan menggunakan jarum, dimana dilakukan bila terlihat massa intrabronkial pada saat pemeriksaan bronkoskopi yang sangat mudah berdarah sehingga bila dilakukan pemeriksaan biopsi sangat berbahaya.

D.  Pemeriksaan Laboratorium
1.      Hasil pemeriksaan rutin laboratorium sering tidak memberikan informasi yang berkaitan dengan tumor, tetapi terkadang LED meningkat pada limfoma dan TBC mediastinum.
2.      Uji tuberkulin bila dicurigai adanya limfadenitis TBC.
3.      Pemeriksaan T3 dan T4 dibutuhkan untuk mendeteksi tumor tiroid.
4.      Pemeriksaan beta-HCG dan alfa-fetoprotein dilakukan untuk tumor mediastinum yang termasuk kelompok tumor sel germinal, khususnya bila ada keraguan antara tumor sel germinal seminoma atau nonseminoma.





E.  Pemeriksaan Lain
EMG adalah pemeriksaan penunjang untuk tumor mediastinum jenis timoma, dimana untuk mencarikemungkinan terjadi miestenia gravis atau myesthenic reaction.
Berikut dapat dilihat alur pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada penderita tumor mediastinum dengan atau tanpa kegawatan:


Keterangan:
MRI    = Magnetic Resonance Imaging                    
PA      = Posteroanterior
BJH     = Biopsi Jarum Halus 
TTB     = Transtorakal Biopsy
KGB   = Kelenjar Getah Bening
USG    = Ultrasonografi
VATS  = Video Assisted Thoracoscopy system

(http://jurnal respirologi.com)



1.7    PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tumor mediastinum tergantung sifat tumor, jinak atau ganas. Tindakan yang dapat dilakukan pada tumor mediastinum yang bersifat jinak adalah bedah, sedangkan penatalaksanaan secara umum untuk tumor yang bersifat ganas adalah multimodaliti, yaitu bedah, kemoterapi, dan radiasi. Selain itu kemoradioterapi dapat juga diberikan sebelum prosedur pembedahan (neoadjuvan) atau sesudah prosedur pembedahan (adjuvan). Berikut adalah penatalaksanaan yang dapat dilakukan berdasarkan jenis tumor:
1.      Timoma
·         Penatalaksanaan sangat tergantung pada invasif atau tidaknya tumor, staging, dan klinis penderita.
·         Terapi untuk timoma adalah bedah, tetapi sangat jarang kasus penderita datang pada stage 1 atau noninvasif, sehingga terapi multimodalitilah yang dapat memberikan hasil yang lebih baik.
·         Jenis tindakan bedah untuk kasus ini adalah Extended Thymo Thymectomy (ETT) atau reseksi komplet (Extended Resection = ER), yaitu mengangkat kelenjar timus beserta jaringan lemak sekitarnya sampai jaringan perikard dan debulking reseksi sebagian atau pengangkatan massa tumor sebanyak mungkin. Reseksi komplet ini diyakini dapat mengurangi risiko invasi dan meningkatkan umur harapan hidup.
·         Radioterapi harus diberikan pada kasus timoma invasif atau reseksi sebagian untuk kontrol ketat, tetapi tidak direkomendasikan untuk yang telah menjalani reseksi komplet. Dosis radiasi yang dapat diberikan adalah 3500-5000 cGy dan harus dihindarkan pemberian lebih dari 6000 eGy untuk mencegah terjadinya radiation-induced injury.
·         Kemoterapi yang sering digunakan adalah cisplatin based rejimen, kombinasi cisplatin dengan doksorubisin dan siklofosfamid (CAP), kombinasi cisplatin dengan doksorubisin, vinkristin, dan siklofosfamid (ADOC), serta rejimen lain yang lebih sederhana yaitu cisplatin dan etoposid (EP).




Penatalaksanaa terdiri dari:                                                                                  
A.    Pembedahan
·           Indikasi ;
-          Tumor stadium I
-          Stadium II jenis karsinoma dan karsinoma sel besar tidak dapat di bedakan (undifferentiated).
-          Dilakukan secara khusus pada stadium III
            Secara individual yang mencakup 3 kriteria;
a.    karakteristik biologis tumor
ü   Hasil baik: Tumor dari skuamosa atau epidermoid.
ü   Hasil cukup baik : adenokarsinoma dan karsinoma sel besar tak terdiferensiasi.
ü   Hasil buruk : oat cell                                                                      
b.    letak tumor dan pembagian stadium klinis
   menentukan teknik reseksi terbaik yang dilakukan
c.    keadaan fungsional penderita
   terdapatnya penyakit degeneratif lain atau penyakit gangguan       kardiovaskuler, operasi harus dipertimbangkan masak-masak.
·      Syarat untuk tindakan bedah:
Pengkuran toleransi berdasarkan fungsi paru yang diukur dengan spirometri. Bila nilai spirometri tidak sesuai dengan klinis, maka harus dikonfirmasi dengan analisis gas darah. Tekanan O2 arteri dan saturasi O2 darah arteri harus > 90 %.
·      Tujuan pada pembedahan kanker paru  untuk mengangkat semua jaringan yang sakit sementara mempertahankan sebanyak mungkin fungsi paru-paru yang tidak terkena kanker.
1.    Toraktomi eksplorasi
Untuk mengkomfirmasi diagnosa tersangka penyakit paru atau toraks khususnya karsinoma, untuk melakukan biopsi.
2.    Pneumonektomi (pengangkatan paru)
Karsinoma bronkogenik bilamana dengan lobektomi tidak semua lesi bisa diangkat


3.    Lobektomi (pengangkatan lobus paru)
Karsinoma bronkogenik yang terbatas pada satu lobus, bronkiaktesis bleb atau bula emfisematosa, abses paru, infeksi jamur; tumor jinak tuberkulois.
4.    Reseksi segmental
Merupakan pengangkatan satu atau lebih segmen paru.
5.    Reseksi baji
Tumor jinak dengan batas tegas, tumor metasmetik, atau penyakit peradangan yang terlokalisir. Merupakan pengangkatan dari permukaan paru-paru berbentuk baji (potongan es).
6.    Dekortikasi
Merupakan pengangkatan bahan-bahan fibrin dari pleura viscelaris).

B.     Radiasi
Indikasi dan syarat pasien dilakukan tindakan radiasi adalah ;
-          Pasien dengan tumor yang operabel tetapi karena resiko tinggi maka     pembedahan tidak dapat dilakukan.
-          Pasien kanker jenis adenokarsinoma atau sel skuamosa yang    inoperabel yang diketahui terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada hilus ipsilateral dan mediastinal.
-          Pasien dengan karsinoma bronkus dengan  histology sel gandum atau anaplastik pada satu paru tetapi terdapat penyebaran nodul pada kelenjar getah bening dibawah supraklavikula.
-          Pasien kambuhan sesudah lobektomi atau pneumonektomi tanpa bukti penyebaran diluar rongga dada. 
Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan biasa juga sebagai terapi paliatif pada tumor dengan komplkasi, seperti mengurangi efek obsrtuksi atau penekanan terhadap pembuluh darah atau brokus. Dosis umum 5000-6000 rad dalam jangka waktu 5-6 minggu, pengobatan dilakukan dalam lima kali seminggudengan dosis 180-200 rad/ hari. Komplikasi:
1.      Esofagitis, hilang 7 – 10 hari sesudah pengobatan
2.      Pneumonitis, pada rontgen terlihat bayangan eksudat.



C.    Kemoterapi
·      Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk menangani pasien dengan tumor paru sel kecil atau dengan metastasi luas serta untuk melengkapi bedah atau terapi radiasi.
-        Pada karsinoma sel skuamosa sangat responsive pada kemoterapi
-            Sedangkan pada non small cell carcinoma kurang member hasil yang baik.
·         Syarat untuk pelaksanaan radioterapi dan kemoterapi:
1.      Hb > 10 gr%
2.      Leukosit > 4000/dl
3.      Trombosit > 100.000/dl
·         Selama pemberian kemoterapi atau radiasi perlu diawasi terjadinya melosupresi dan efek samping obat atau toksisiti akibat tindakan lainnya.
·         Macam-macam kemoterapi berdasarkan klasifikasi tumor
1.      Small Cell Lung Cancer (SCLC)
-          Limited stage diseasediobati dengan tujuan kuratif (kombinasi kemoterapi dan radiasi) dan angka keberhasilan terapi 20 %.
-          Extensive stage disease diobati dengan kemoterapi.
2.      Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC)
-          Kemoterapi adjuvant diberikan mulai stadium II dengan sasaran lokoregional tumor yang dapat direseksi lengkap, dimana cara pemberiannya dilakukan setelah terapi definitif pembedahan, radioteerapi, atau keduanya.
-          Kemoterapi neoadjuvant diberikan mulai dari stadium II dengan sasaran lokoregional tumor yang dapat direseksi lengkap, dimana pemberian terapi definitif pembedahan dan radioterapi diberikan diantarra siklus pemberian kemoterapi.
-          Kemoradioterapi konkomitan dilakukan mulai dari stage III, dimana pemberian kemoterapi dilakukan bersamaan radioterapi.
·         Penatalaksanaan timoma berdasarkan staging:
Stage I
Stage II
Stage III
Stage IV A
Stage IV B
Extended Thymo Thymectomy (ETT)
ETT + radioterapi
ETT + Extended Resection (ER) + Radioterapi + Kemoterapi
Debulking + Kemoterapi + Radioterapi
Kemoterapi+ Radioterapi + Debulking
2.      Tumor Sel Germinal
Terapi tumor sel germinal tergantung pada subtipe sel tumor dan staging penyakit. Terapi untuk tumor sel germinal seminoma tergantung pada apakah masih resectable atau tidak, sedangkan untuk tumor sel germinal nonseminoma diberikan kemoterapi.
a.       Seminoma
·      Untuk seminoma yang resectable dilakukan terapi multimodaliti, yaitu bedah, radiasi, dan kemoterapi dapat memberikan umur bertahan hidup 5 tahun. Kriteria resectable adalah:
1.      Tanpa gejala (asymptomatic)
2.      Massa masih terbatas di mediastinum anterior dan tidak ada metastasis lokal (intrathoraks) atau metastasis jauh
·      Untuk kasus seminoma yang sudah bermetastasis jauh diberikan kemoterapi, yaitu rejimen cisplatin based, vinblastin, dan bleomisin.
·      Seminoma sangat radiosensitif, sehingga dosis radiasi yang diberikan adalah 4500-5000 eGy.
b.      Nonseminoma
·      Terapi untuk jenis tumor ini adalah cisplatin babsed kemoterapi dan kadang dilakukan operasi pasca kemoterapi (postchemoterapy adjuctive surgery). Rejimen yang digunakan adalah sisplatin, bleomisin, dan etoposid, tetapi ada juga rejimen yang terdiri dari sisplatin dan bleomisin yang diberikan 4 siklus.
·      Berikut adalah alur penatalaksanaan tumor sel germinal nonseminoma
(http://jurnal respirologi.com)

 
1.9     ASUHAN KEPERAWATAN
A.    PENGKAJIAN
1.      Keluhan Utama
Biasanya klien datang setelah tumor cukup besar yang menyebabkan penekanan pada organ sekitarnya sehingga muncul keluhan utama seperti batuk, sesak nafas, kesulitan menelan, ataupun nyeri dada.
2.      Riwayat Penyakit Sekarang
Klien mengatakan nyeri dada bagian tengah seperti tertekan benda berat dan sifatnya menetap, batuk dengan atau tanpa sputum (batuk kering), sesak nafas, merasa sakit bila menelan makanan.
3.      Riwayat Penyakit Dahulu
Perokok berat dan kronis, terpajan terhadap lingkungan karsinogen, penyakit paru kronis sebelumnya yang telah mengakibatkan pembentukan jaringan parut dan fibrosis pada jaringan paru.
4.      Riwayat penyakit Keluarga
Ada keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama dengan klien, anggota keluarga menderita penyakit kanker,.

B.     PEMERIKSAAN FISIK
v  B1 (Breathing)
Batuk dengan atau tanpa sputum, batuk dengan atau tanpa darah, pernafasan stridor, sesak, ada pergerakan otot bantu nafas.
v  B2 (Blood)
Sindrom obstruksi vena kava superior (SVKS), tekanan darah dan atau Heart Rate (HR) mungkin meningkat, CRT mungkin masih dalam batas normal (kurang dari 2 detik), disritmia, peningkatan JVP.
v  B3 (Brain)
kesadaran composmentis, gelisah, nyeri dada.
v  B4 (Bladder)
Mengalami penurunan produksi urine output.
v  B5 (Bowel)
Kesulitan menelan (disfagia), anoreksia, BB menurun.
v  B6 (muskuloskletal dan integumen)
Kelemahan, kelelahan, oedema muka dan lengan.
C.  DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Pre operatif
1.      Risiko ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sekret berlebih akibat penekanan atau kompresi massa tumor pada trakea dan atau bronkus ditandai dengan:
·         Klien mengatakan saat batuk tidak dapat mengeluarkan sekret karena takut nyeri bertambah
·         Kedua lapang paru terdengar rhonki kasar
·         Klien tidak dapat melakukan batuk efektif dan sekret tidak dapat keluar.
2.      Risiko ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penekanan atau kompresi pada trakea dan atau bronkus, nyeri (akut) ditandai dengan:
·         Klien mengatakan merasa susah bernafas (terasa berat)
·         Respiration Rate kurang dari 16 kali per menit atau lebih dari 20 kali per menit (pada pasien dewasa), cepat dan dangkal, lambat dan dalam
·         Ada pernafasan cuping hidung
3.      Gangguan Rasa Nyaman (Nyeri) berhubungan dengan penekanan atau kompresi massa tumor pada sistem syaraf (nervus interkostalis) ditandai dengan :
·         Klien mengatakan dada tengah ke kanan nyeri seperti di tekan benda keras dan nyeri bersifat menetap
·         Klien tampak gelisah memegang dadanya bagian tengah
4.      Risiko ganggguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang, kesulitan menelan akibat penekanan atau kompresi massa tumor pada esofagus ditandai dengan:
·      Klien mengatakan tenggorokannya sakit untuk menelan
·      Klien mengatakan tidak nafsu makan
·      Makanan yang disediakan rumah sakit tidak dimakan
Diagnosa Keperawatan Post operatif
1.      Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (hipoventilasi) ditandai dengan :
·         Dispnea
·         Hipoksemia
·         sianosis
2.      ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan viskositas/ jumlah sekret, keterbatasan gerakan dada/nyeri, kelelahan ditandai dengan :
·         perubahan frekuensi/kedalaman pernafasan
·         suara nafas tidak normal (ronchi/whezzing)
·         batuk tidak efektif
·         dispnea
3.      Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi bedah (trauma jaringan), terpasang drainase dada ditandai dengan :
·         Laporan verbal ketidaknyamanan/nyeri pada luka operasi atau selang dada
·         Berhati-hati pada area yang nyeri, gelisah
·         TD meningkat, frekuensi jantung dan pernafasan meningkat
4.      Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (pembedahan) ditandai dengan :
·         Kondisi luka kering/basah
·         Tampak kemerahan disekitar luka insisi
·         Peningkatan suhu tubuh
5.      Ketakutan (ansietas) berhubungan dengan krisis situasi, ancaman perubahan status kesehatan, ancaman kematian, ditandai dengan:
·         Menolak
·         Ketakutan
·         Marah
·         Ekspresi menyangkal, syok, bersalah, insomnia
·         Hipersensitifitas

D.  INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi pre operasi
1.      Nyeri berhubungan dengan penekanan atau kompresi massa tumor pada sistem syaraf (nervus interkostalis).
Tujuan             : Setelah dilakuakn tindakan keperawatan, rasa nyeri terkontrol atau berkurang dalam waktu kurang dari 1 x 24 jam
Kriteria Hasil   :
v  Klien dapat mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan management nyeri
v  Klien melaporkan nyeri terkontrol atau berkurang
Intervensi dan Rasional:
1.      Observasi lokasi karakteristik, lokasi, frekuensi, durasi dan sifat nyeri
R/ Informasi memberikan data dasar untuk melakukan intervensi
2.      Berikan tindakan kenyamanan dasar, seperti memberikan posisi senyaman klien, gosok punggung, atau melakukan aktivitas hiburan.
R/ Meningkatkan relaksasi dan membantu mengalihkan perhatian.
3.      Ajarkan klien teknik management nyeri, seperti distraksi dan relaksasi (visualisasi, bimbingan imajinasi), mendengarkan musik, sentuhan terapeutik.
R/ Memungkinkan klien untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan perawatan dan meningkatkan rasa kontrol terhadap nyeri.
4.      Beri penjelasan penyebab nyeri.
R/ Meningkatkan pengetahuan klien tentang penyakit yang diderita sehingga dapat meningkatkan kekooperatifan klien dalam kegiatan perawatan.
5.      Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik, seperti morfin, metadon, atau campuran narkotik.
R/ Membantu mengurangi nyeri yang dirasakan.

2.      Risiko ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penekanan atau kompresi pada trakea dan atau bronkus
Tujuan                : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pola nafas kembali efektif
Kriteria Hasil      :
v  RR 16-20 kali per menit, reguler
v  Tidak ada pernafasan cuping hidung
Intervensi dan Rasional:
1.      Observasi frekuensi, kedalaman, suara tambahan (rhonki dan atau whezzing), serta upaya pernafasan termasuk penggunaan otot bantu atau pelebaran nasal.
R/ Kecepatan pernafasan biasanya meningkat (Dispnea), kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas, ekspansi dada terbatas karena berhubungan dengan atelektasis atau nyeri dada atau pleuritik, serta rhonki dan wheezing dapat menyertai obstruksi jalan nafas atau kegagalan pernafasan.

2.      Ajarkan dan dorong klien untuk melakukan nafas dalam
R/ Meningkatkan ekspansi paru.
3.      Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
R/ Memenuhi kecukupaan oksigen dalam tubuh.
4.      Beri penjelasan penyebab sesak nafasnya
R/ Meningkatkan pengetahuan klien tentang penyakit yang diderita sehingga dapat meningkatkan kekooperatifan klien dalam kegiatan perawatan.

3.      Risiko ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sekret berlebih akibat penekanan atau kompresi massa tumor pada trakea dan atau bronkus
Tujuan             : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pola nafas kembali efektif
Kriteria Hasil   :
v  Klien dapat melakukan batuk efektif
v  Sekret dapat dikeluarkan
Intervensi dan Rasional:
1.      Ajarkan dan motivasi klien untuk melakukan batuk efektif yang tepat;
-          Nafas sedalam dan selambat mungkin sambil duduk bila mampu serta pasang bantal pada area yang akan terasa nyeri.
-          Pergunakan pernafasan diafragma
-          Tahan nafas selama 3-5 detik kemudian hembuskan nafas secara perlahan melalui mulut
-          Ambil nafas kedua, tahan dan kemudian batukkan denga kuat dari dada (gunakan dua kali batuk pendek tapi benar-benar kuat) sambil menekan kuat-kuat bantal pada area yang akan timbul nyeri.
R/ Batuk efektif membantu mengeluarkan sekret.
2.      Bantu klien untuk mengeluarkan sekret dengan metode fisioterapi nafas (clapping, vibrating, atau postural drainage).
R/ Membantu mengeluarkan sekret.
3.      Rencanakan periode istirahat (setelah batuk).
R/ Kelelahan merupakan salah satu penyebab kegagalan terapi.
4.      Observasi adanya suara tambahan pada paru (rhonki).
R/ Mengetahui keefektifan terapi batuk efektif.
5.      Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian bronkodilator dan atau nebulizer.
R/ Bronkodilator membantu melebarkan bronkus utama dan nebulizer untuk mengencerkan sekret.
4.      Risiko ganggguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang, kesulitan menelan akibat penekanan atau kompresi massa tumor pada esofagus.
Tujuan              : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi yang optimal
Kriteria Hasil   :
v Berat Badan stabil (tetap) atau naik
v Intake makanan terpenuhi
                  Intervensi :
1.      Observasi kemampuan klien dalam mengkonsumsi makanan per oral (bubur saring/ cair).
Rasional: Mengetahui metastase tumor sampai ke esofagus dan mengevaluasi jumlah masukan kalori yang dapat diterima klien
2.      Observasi perubahan BB secara berkala dan pemeriksaan laboratorium (Hb, albumin) setiap hari.
Rasional : Mengetahui perubahan status gizi klien
3.      Kolaborasi dalam pemberian nutrisi parenteral
Rasional : kebutuhan kalori pasien terpenuhi dengan pemberian cairan infus
4.      Kolaborasi dalam pemasangan PEG (Percutanius )
Rasional : karena pemberian kalori per oral sudah tidak mungkin akibat dari metastase tumor

              Intervensi post operasi
1.      Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan pengangkatan jaringan paru, gangguan suplai oksigen (hipoventilasi).
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam pertukaran gas kembali normal
Kriteria Hasil :
·         Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan BGA dalam rentang normal
·         Bebas gejala distress pernafasan
·         TTV dalam batas normal
Intervensi :
1.      Catat frekuensi kedalaman dan kemudahan pernafasan. Observasi pengguanaan otot bantu, nafas bibir, perubahan kulit/membran mukosa. Misal: pucat, sianosis
R/ pernafasan meningkat sebagai akibat nyeri astau sebagai mekanisme kompensasi awal terhadap hilangnya jaringan paru.
2.      Selidiki kegelisahan dan perubahan mental / tingkat kesadaran
R/: dapat menunjukkan peningkatan hipoksia atau komplikasi seperti penyimpangan mediastinal pada pasien pneumonektomi bila disertai dengan takipnea, takikardi, dan deviasi trakeal.
3.      Perubahan kepatenan jalan napas pasien dengan memberikan posisi, penghisapan, dan penggunaan alat
R/: obstruksi jalan napas mempengaruhi ventilasi, mengganggu pertukaran gas.
4.      Ubah posisi pasien dengan posisi duduk juga posisi terlentang sampei posisi miring
R/: memaksimalkan ekspansi paru dan drainase sekret
5.      Hindari pemberian posisi pada sisi yang dioperasi dengan pasien pneumonektomi
R/: Posisi ini menurunkan ekspansi paru dan menurunkan perfusi pada paru yang baik dan dapat memperkuat pengembangan tegangan pneumothoraks sekunder terhadap penyimpangan mediastinal dan akumulasi cairan pada paru yang tersisa.
6.      Bantu dengan latihan napas dalam dan napas bibir dengan tepat
R/: meningkatkan ventilasi maksimal dan oksigenasi dan menurunkan/mencegah kolektasis
7.      Catat perubahan pada jumlah/tipe drainase selang dada
R/: Drainase berdarah harus menurun dalam jumlah dan berubah sampai komposisi serosa sesuai dengan kemajuan penyembuhan

2.      ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan viskositas/ jumlah sekret, keterbatasan gerakan dada/nyeri, kelelahan
Tujuan: jalan napas kembali efektif
Kriteria hasil:
-          menunjukkan patensi jalan napas, dengan cairan sekret mudah dikeluarkan
-          Bunyi napas jelas dan pernapasan tidak bising
Intervensi:
1.      Auskultasi dada untuk karakter bunyi napas dan adanya sekret
R/:Pernapasan bising, ronkhi, dan mengi menunjukkan penumpukkan sekret atau obstruksi jalan napas
2.      Bantu  pasien untuk napas dalam efektif dan batuk dengan posisi duduk dan menekan daerah insisi
R/:Posisi duduk memungkinkan ekspansi paru maksimal dan penekanan menguatkan upaya batuk untuk membuang sekret.
3.      Observasi jumlah dan karakter sputum
R/: adanya sputum yang kental, berdarah atau purulen diduga terjadi sebagai masalah sekunder
4.      Beri masukan cairan per oral (cairang hangat)
R/: Hidrasi adekuat untuk mengencerkan sekret yang kental
5.      Berikan oksigen/nebulizer
R/: pemberian oksigen untuk menghindari hipoksia, sedangkan nebulizer memungkinkan memberikan terapi pengenceran dahak sehingga sekret yang kental dapat menjadi encer dan dapat dikeluarkan dengan mudah.
6.      Berikan bronkhodilator ekspektoran dan atau analgesik sesuai indikasi
R/: menghilangkan spasme bronkus untuk memperbaiki aliran udara

3.      Nyeri (akut) berhubungan dengan insisi bedah (trauma jaringan), terpasang drainase dada
Tujuan : nyeri terkontrol dalam waktu 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
·         Melapaorkan nyeri hilang/terkontrol
·         Tampak rileks dan tidur/istirahat dengan baik
·         Mampu melakukan aktivitas sesuai dengan kebutuhan
Intervensi
1.      Observasi lokasi karakteristik, lokasi, frekuensi, durasi dan sifat nyeri
R/ Informasi memberikan data dasar untuk melakukan intervensi
2.      Berikan tindakan kenyamanan dasar, seperti memberikan posisi senyaman klien, gosok punggung, atau melakukan aktivitas hiburan.
       R/ Meningkatkan relaksasi dan membantu mengalihkan perhatian.
3.      Ajarkan klien teknik management nyeri, seperti distraksi dan relaksasi (visualisasi, bimbingan imajinasi), mendengarkan musik, sentuhan terapeutik.
R/ Memungkinkan klien untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan perawatan dan meningkatkan rasa kontrol terhadap nyeri.
4.      Beri penjelasan penyebab nyeri.
R/ Meningkatkan pengetahuan klien tentang penyakit yang diderita sehingga dapat meningkatkan kekooperatifan klien dalam kegiatan perawatan.
5.      Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik, seperti morfin, metadon, atau campuran narkotik.
R/ Membantu mengurangi nyeri yang dirasakan.

DAFTAR PUSTAKA


Brunner & Sudarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi revisi. Jakarta: EGC

Dedy. 2009. Karsinoma Mediastinum. http://dedyrn.blog.spot.com. Diakses 10 November 2011

Doenges, Marilynn E, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, Jakarta: EGC

Indrawati, Maya. 2009. Bahaya Kanker Bagi Wanita dan Pria. Jakarta : AV Publisher

Syahruddin, Elisna, dkk. 2010. Penatalaksanaan Tumor Mediatinum Ganas.

http://jurnalrespirologi.org. Diakses 10 November 2011

Long, Barbara C, 1996, Perawatan Medikal Bedah: Suatu Pendekatan Proses Holistik. Bandung: Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran

Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi. Jakarta : EGC

Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan, cetakan kedua. Jakarta: Salemba Medika

Sudoyo, Aru W, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II,  Edisi IV, Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Suyono, Slamet, 2001, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi III. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Underwood, J.C.E, 1999,  Patologi Umum dan Sistematik, Edisi 2, Jakarta: EGC

­­­­­­­­­­­­­_________, 2010, Askep Ca Paru, http://materi-kuliah-akper.blogspot.com/2010/09/askep-kanker-paru-paru.html, diakses 26 September 2011

Prasetyo, Wildan. 2010. Askep Tumorr Paru. http://wildanprasetyo.blog.com. Diakses 30 Oktober 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar