1. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD)
merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit
paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit
yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis
kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S
Meltzer, 2001 : 595). Tetapi dalam suatu Negara, yang termasuk
didalam copd adalah emfisema paru- paru dan Bronchitis Kronis. Nama lain dari
copd adalah “Chronic obstructive airway disease ” dan “ChronicObstructive Lung
Diseases (COLD)”
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI
PERNAFASAN
Berdasarkan Syaifudin (2006), fungsi umum dari system
pernafasan adalah:
a.
Hidung : atau naso atau nasal merupakan saluran udara
yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh secret hidung
(septum nasi). Didalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring
udara, debu, dan kotoran yang masuk kedalam rongga hidung.
Bagiannya terdiri dari :
1) Bagian
luar dinding terdiri dari kulit.
2) Lapisan
tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan.
3) Lapisan dalam terdiri dari selaput lendir yang berlipat-lipat yang
dinamakan karang hidung (konka
nasalis), yang berjumlah 3 buah:
* Konka nasalis inferior (karang
hidung bagian bawah)
* Konka
nasalis madia (karang hidung bagian tengah)
*
Konka nasalis superior (karang hidung bagian atas)
b.
Faring
atauTekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan
makanan, terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang rongga hidung dan mulut
sebelah depan ruas tulang leher.
Rongga tekak dibagi dalam 3
bagian:
1) Bagian sebelah atas yang
sama tingginya dengan kocna isebut naso faring.
2) Bagian tengah yang sama
tingginya dengan istmus fausium disebut orofaring.
3) Bagian bawah sekali
dinamakan laringofaring.
c.
Laring atau pangkal tenggorok merupakan saluran
udara dan bertindak sebagai pembentukan suara, terletak di bagian faring sampai
ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakhea dibawahnya. Laring
terdiri dari 5 tulang rawan antara lain: 1) Kartilago tiroid (1 buah) depan
jakun (adam’s apple), sangat jelas terlihat pada pria. 2)
Kartilago Krikoid (1 buah) yang berbentk cincin. 3) Kartilago epiglottis (1
buah).
d.
Trakhea atau batang tenggorok
merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang
terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda (huruf C).
e.
Bronkus atau cabang tenggorok
merupakan lanjutan dari trachea, ada 2 buah yang terapat pada ketinggian
vertebra trakealis IV dan V mempunyai struktur serupa dengan trakhea dan
dilapisi oleh jenis set yang sama.
f. Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri
dari gelembug (gelembung hawa, alveoli). 1. Paru-paru kanan, terdiri dari 3
lobus (belah paru), lobus pulmo dekstra superior, lobus media, lobus inferior.
Tap lobus tersusun oleh lobulus. 2. Paru-paru kiri, terdiri dari pulmo sinistra lobus superior dan inferior.
Paru-paru dibungkus oleh selaput yang
bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 (dua):
1)
Pleura
viseral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus
paru-paru.
2)
Pleura
parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar
Antara kedua pleura ini terdapat rongga
(kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal,
kavum pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis
dan, juga terdapat sedikit cairan (eskudat) yang berguna untuk rneminyaki
permukaannya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada
dimana sewaktu bernapas bergerak.
3. KLASIFIKASI
Penyakit yang termasuk dalam kelompok
penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai berikut:
1.
Bronkitis kronik
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari
disertai pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan
terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut.
Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut,
yaitu :
a.
Infeksi : stafilokokus, sterptokokus,
pneumokokus, haemophilus influenzae.
b.
Alergi
c.
Rangsang : misal asap pabrik,
asap mobil, asap rokok dll.
Bronchitis kronis dapat merupakan
komplikasi kelainan patologik yang mengenai beberapa alat tubuh, yaitu :
a. Penyakit Jantung Menahun, baik pada katup
maupun myocardium. Kongesti menahun pada dinding bronchus melemahkan daya
tahannya sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
b. Infeksi sinus paranasalis dan Rongga
mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat menyerang dinding bronchus.
c. Dilatasi Bronchus (Bronchiectasi),
menyebabkan gangguan susunan dan fungsi dinding bronchus sehingga infeksi
bakteri mudah terjadi.
d. Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan
bulu getar selaput lender bronchus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan
lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Patofisiologi
Bronchitis akut dapat timbul dalam
serangan tunggal atau dapat timbul kembali sebagai eksaserbasi akut dari
bronchitis kronis. Pada infeksi saluran nafas bagian atas, biasanya virus,
seringkali merupakan awal dari serangan bronchitis akut. Dokter akan
mendiagnosa bronchitis kronis jika klien mengalami batuk atau produksi sputum
selama beberapa hari + 3 bulan dalam 1 tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun
berturut-turut. Bronchitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan terhadap
agent infeksi maupun non-infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan
menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi,
kongesti, edema mukosa dan bronchospasme.
Klien dengan
bronchitis kronis akan mengalami :
a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar
mukus pada bronchi besar, yang mana akan meningkatkan produksi mukus.
b.
Mukus lebih kental
c.
Kerusakan fungsi cilliary
sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus. Oleh karena itu, “mucocilliary
defence” dari paru mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan untuk
terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan menjadi
hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan meningkat. Dinding
bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan normal)
dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan produksi
mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit
saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada
bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena. Mukus yang
kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama selama
ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap pada bagian
distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolar,
hypoxia dan asidosis. Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio
ventilasi perfusi abnormal timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan
ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO2. Klien terlihat cyanosis. Sebagai
kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit).
Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya
karena infeksi pulmonary. Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV
dengan peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi,
hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF
2.
Emfisema Paru
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu
perubahan anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran
udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding
alveolus. Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa
pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka
keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai
“overinflation”.
Patogenesis
Terdapat 4
perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema, yaitu :
a. Hilangnya elastisitas paru. Protease (enzim
paru) merubah atau merusakkan alveoli dan saluran nafas kecil dengan
jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung alveolar
kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit.
Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi membesar.
b. Hyperinflation Paru Pembesaran alveoli
mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi istirahat normal selama
ekspirasi.
c. Terbentuknya Bullae Dinding alveolar
membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara)
yang dapat dilihat pada pemeriksaan X ray.
d. Kollaps jalan nafas kecil dan udara
terperangkap Ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif
intratorak akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas.
Tipe
emfisema
Terdapat tiga
tipe dari emfisema :
a. Emfisema Centriolobular Merupakan
tipe yang sering muncul, menghasilkan kerusakan bronchiolus, biasanya pada
region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronchiolus tetapi biasanya kantung
alveolar tetap bersisa.
b. Emfisema Panlobular (Panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian
bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, timbul sangat sering
pada seorang perokok.
c. Emfisema Paraseptal Merusak alveoli
pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer
paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan.
Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim
alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi
pulmoner, seringkali timbul Cor Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.
Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan dimana
terjadinya kerusakan pada dinding alveolar, yang mana akan menyebabkan
overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara terganggu akibat dari
perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari
adanya destruksi dinding (septum) diantara alveoli, kollaps jalan nafas
sebagian dan kehilangan elastisitas recoil. Pada saat alveoli dan septa kollaps,
udara akan tertahan diantara ruang alveolar (disebut blebs) dan diantara
parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan peningkatan
ventilatory pada “dead space” atau area yang tidak mengalami pertukaran gas
atau darah. Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi
jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema
juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan perfusi
oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap normal
sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia muda),
biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok.
3.
ASMA BRONKHIALE
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas
cabang-cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini
bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan
reversible akibat bronkospasme.
Tipe Asthma
Asthma
terbagi menjadi alergi, idiopatik, non alergik atau campuran (mixed):
1) Asthma
Alergik /Ekstrinsik, merupakan
suatu bentuk asthma
dengan penyebab allergen (missal
: bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan dll). Allergen terbanyak adalah airborne dan seasonal
(musiman). Pasien dengan
asthma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit
alergi pada keluarga
dan riwayat pengobatan exzema
atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan
asthma. Bentuk asthma ini biasanya dimulai saat kanak-kanak.
2) Idiopathic atau Nonallergic
Asthma/Intrinsik, tidak berhubungan secara
langsung dengan allergen
spesifik. Faktor-faktor seperti common cold,
infeksi saluran nafas atas, kegiatan, emosi dan polusi lingkungan akan
mencetuskan serangan. Beberapa agent
pharmakologi, beta-adrenergic antagonist
dan agent sulfite
(penyedap makanan) juga dapat sebagai faktor. Serangan dari asthma
idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan seringkali dengan berjalannya
waktu dan dapat berkembang menjadi
bronchitis dan emfisema. Beberapa pasien berkembang
menjadi asthma campuran. Bentuk
asthma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (> 35 tahun).
3) Asthma Campuran (Mixed Asthma), merupakan
bentuk asthma yang paling sering.Dikarakteristikkan dengan
bentuk kedua jenis
asthma alergi dan
idiopatik atau nonalergi.
Etiologi
Sampai saat
ini etiologi asthma belum diketahui dengan pasti, suatu hal yang
menonjolpada semua penderita
asthma adalah fenomena
hipereaktivitas
bronchus. Bronchus penderita
asthma sangat peka terhadap rangsangan
imunologi maupun non-imunologi. Karena
sifat inilah maka serangan
asthma mudah terjadi akibat
berbagai rangsangan baik fisis,
metabolik, kimia, alergen, infeksi dan sebagainya. Rangsangan atau pencetus yang sering menimbulkan asthma
perlu diketahui dan
sedapat mungkin dihindarkan.
Faktor-faktor tersebut adalah
:
a. Alergen utama : debu rumah, spora jamur dan
tepung sari rerumputan
b. Iritan seperti asap, bau-bauan, pollutan
c. Infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan
oleh virus
d. Perubahan cuaca yang ekstrim.
e. Kegiatan jasmani yang berlebihan.
f. Lingkungan kerja
g. Obat-obatan.
h. Emosi
i. Lain-lain : seperti reflux gastro esofagus.
Gambaran Klinis
Gejala asthma
terdiri dari triad
: dispnea, batuk
dan mengi, gejala yang
disebutkan terakhir sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (“sine
qua non”).
Objektif
• Sesak nafas yang berat dengan ekspirasi
memanjang disertai wheezing.
• Dapat disertai batuk dengan sputum kental,
sulit dikeluarkan.
• Bernafas dengan menggunakan otot-otot nafas
tambahan
• Cyanosis, tachicardia, gelisah, pulsus
paradoksus.
• Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing
(di apex dan hilus)
Subjektif
• Klien merasa sukar bernafas, sesak,
anoreksia.
Psikososial
• Cemas, takut dan mudah tersinggung
• Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi
penyakitnya.
Patofisiologi
Asthma
akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh limfosit T
dan B dan diaktifkan oleh interaksi
antara antigen dengan molekul IgE yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar
alergen yang mencetuskan asthma
bersifat airborne dan supaya
dapat menginduksi keadaan
sensitivitas, alergen tersebut
harus tersedia dalam jumlah
banyak untuk periode waktu tertentu. Akan tetapi sekali sensitisasi telah
terjadi pasien akan memperlihatkan respon
yang sangat baik
sehingga sejumlah kecil alergen yang mengganggu sudah dapat
menghasilkan eksaserbasi penyakit yang jelas.
Obat yang
paling sering berhubungan
dengan induksi episode
akut asthma adalah aspirin, bahan
pewarna seperti tartazin,
antagonis beta-adrenergik dan
bahan sulfat. Sindroma pernafasan
sensitif-aspirin khusus terutama
mengenai orang dewasa, walaupun keadaan ini juga dapat
dilihat pada masa kanak-kanak. Masalah ini biasanya berawal dari rhinitis vasomotor perennial yang diikuti oleh rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal. Baru kemudian muncul asthma
progresif.
Pasien yang
sensitif terhadap aspirin dapat
didesentisasi dengan pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani bentuk terapi
ini, toleransi silang juga akan
terbentuk terhadap agen anti-inflamasi non-steroid
lain. Mekanisme dengan aspirin
dan obat lain
dapat menyebabkan bronkospasme tidak
diketahui tetapi mungkin
berkaitan dengan pembentukan
leukotrien yang diinduksi secara khusus oleh aspirin.
Antagonis beta-adrenergik biasanya
menyebabkan obstruksi jalan
nafas pada pasien asthma demikian juga dengan pasien lain
dengan peningkatan reaktifitas jalan nafas dan harus dihindarkan pada pasien
ini. Obat sulfat, seperti kalium metabisulfit, kalium dan natrium bisulfit,
natrium sulfit dan
sulfat klorida, yang
secara luas digunakan
dalam industri makanan dan
farmasi sebagai agen
sanitasi dan pengawet
juga dapat menimbulkan obstruksi
jalan nafas akut
pada pasien yang
sensitif. Pajanan biasanya terjadi setelah
menelan makanan atau
cairan yang mengandung
senyawa ini, misal, salad, buah segar, kentang, kerang dan
anggur.
Pencetus-pencetus serangan di atas ditambah
cetusan lainnya dari internal pasien akan mengakibatkan timbulnya
reaksi antigen dan antibodi yang mengakibatan dikeluarkan substansi pereda
alergi yang sebetulnya merupakan
mekanisme tubuh dalam menghadapi serangan
yang dapat berupa
dikeluarkannya histamin, bradikinin
dan anafilatoksin. Hasil dari hal
tersebut timbul 3 gejala yaitu
berkontraksinya otot polos, peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan
sekresi mukus
Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip
penatalaksanaan asthma bronchial :
a. Diagnosis
status asmatikus. Faktor
penting yang harus diperhatikan :
1) Saatnya serangan
2) Obat-obatan yang telah diberikan (macam dan
dosis)
b. Pemberian obat bronchodilator.
c. Penilaian terhadap perbaikan serangan.
d. Pertimbangan terhadap pemberian
kortikosteroid.
e. Setelah serangan mereda :
1) Cari faktor penyebab.
2) Modifikasi pengobatan penunjang selanjutnya.
OBAT-OBATAN
a. Bronchodilator
b. Kortikosteroid
c. Pemberian Oksigen
d. Beta Agonists
4.
Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yan
mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi
bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran
pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang berdilatasi
dan pembesaran nodus limfe.
Etiologi
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit
ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara
lain:
a.
Merokok sigaret yang
berlangsung lama
b.
Polusi udara
c.
Infeksi peru berulang
d.
Umur
e.
Jenis kelamin
f.
Ras
g.
Defisiensi alfa-1 antitripsin
h.
Defisiensi anti oksidan
Pengaruh
dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling
memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.
Patofisiologi/Pathway
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang
disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam
usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang
sehingga sulit bernapas.
Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah
oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi
oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya
fungsi paru-paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem respirasi
seperti fungsi ventilasi paru.
Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses
inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan apda dinding bronkiolus
terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil
(bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase
ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat
ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air
trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala
akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan
ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru:
ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami
gangguan (Brannon, et al, 1993).
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe
pokok:
a. Mempunyai gambaran klinik dominant kearah
bronchitis kronis (blue bloater).
b. Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink
puffers).
Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:
a.
Kelemahan badan
b.
Batuk
c.
Sesak napas
d. Sesak napas saat aktivitas dan napas
berbunyi
e.
Mengi atau wheeze
f.
Ekspirasi yang memanjang
g.
Bentuk dada tong (Barrel Chest)
pada penyakit lanjut.
h.
Penggunaan otot bantu
pernapasan
i.
Suara napas melemah
j.
Kadang ditemukan pernapasan
paradoksal
k. Edema kaki, asites dan jari tabuh.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan radiologis
Pada
bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1)
Tubular shadows atau farm lines
terlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar dari hilus menuju apeks
paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal.
2)
Corak paru yang bertambah
Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk
kelainan foto dada yaitu:
1) Gambaran defisiensi arteri, terjadi
overinflasi, pulmonary oligoemia dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat
pada emfisema panlobular dan pink puffer.
2)
Corakan paru yang bertambah.
b. Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang
bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV,
dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow
rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas
lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada
saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk
difusi berkurang.
c. Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul
sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis.
Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan
polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung
kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung
kanan.
d. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila
sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada
hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan
V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
e. Kultur sputum, untuk
mengetahui petogen penyebab infeksi.
f. Laboratorium darah lengkap
4. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
a.
Memeperbaiki kemampuan
penderita mengatasiu gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi juga fase
kronik.
b.
Memperbaiki kemampuan penderita
dalam melaksanakan aktivitas harian.
c.
Mengurangi laju progresivitas
penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal.
Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah
sebagai berikut:
a.
Meniadakan faktor
etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok, menghindari polusi
udara.
b.
Membersihkan sekresi bronkus
dengan pertolongan berbagai cara.
c.
Memberantas infeksi dengan
antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak perlu diberikan.
Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu
sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
d. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat
bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi
(bronkospasme) masih controversial.
e.
Pengobatan simtomatik.
f. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi
yang timbul.
g. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan.
Oksigen harus diberikan dengan aliran lambat 1 – 2 liter/menit.
h.
Tindakan rehabilitasi yang
meliputi:
1)
Fisioterapi, terutama bertujuan
untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
2) Latihan pernapasan, untuk melatih
penderita agar bisa melakukan pernapasan yang paling efektif.
3) Latihan dengan beban oalh raga tertentu,
dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran jasmani.
4) Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap
penderita dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.
Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)
a)
Pencegahan : Mencegah kebiasaan
merokok, infeksi, dan polusi udara
b)
Terapi eksaserbasi akut di
lakukan dengan :
1)
Antibiotik, karena eksaserbasi
akut biasanya disertai infeksi
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4x0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4x0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
2)
Terapi oksigen diberikan jika
terdapata kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas
terhadap CO2
3)
Fisioterapi membantu pasien
untuk mengelurakan sputum dengan baik.
4) Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi
jalan napas, termasuk di dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik.
Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg
diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV secara
perlahan.
c) Terapi jangka panjang di lakukan :
1) Antibiotik untuk kemoterapi preventif
jangka panjang, ampisilin 4x0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi
akut.
2) Bronkodilator, tergantung tingkat
reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien maka sebelum pemberian obat
ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
3) Fisioterapi
4) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi
aktivitas fisik
5) Mukolitik dan ekspektoran
6) Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas
tipe II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)
7) Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar
dari depresi.
5. KOMPLIKASI COPD
a.
Hipoxemia
b.
Hipoxemia didefinisikan sebagai
penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen
<85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi
dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
c.
Asidosis Respiratory
d.
Timbul akibat dari peningkatan
nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala,
fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
e.
Infeksi Respiratory
f.
Infeksi pernafasan akut
disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos
bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja
nafas dan timbulnya dyspnea.
g.
Gagal jantung
h.
Terutama kor-pulmonal (gagal
jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien
dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis
kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
i.
Cardiac Disritmia
j.
Timbul akibat dari hipoxemia,
penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.
k.
Status Asmatikus
l.
Merupakan komplikasi mayor yang
berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial
mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa
diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali
terlihat.
6.
Asuhan Keperawatan Pasien PPOK
Dari seluruh dampak di atas, maka
diperlukan suatu asuhan keperawatan yang komprehensif baik bio, psiko, sosial
dan melalui proses perawatan yaitu mulai dari pengkajian sampai evaluasi.
a.
Pengkajian
Pengkajian
mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan manifestasi penyakit
sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman pertanyaan untuk mendapatkan data
riwayat kesehatan dari proses penyakit:
1)
Sudah berapa lama pasien
mengalami kesulitan pernapasan?
2)
Apakah aktivitas meningkatkan
dispnea?
3) Berapa jauh batasan pasien terhadap
toleransi aktivitas?
4)
Kapan pasien mengeluh paling
letih dan sesak napas?
5)
Apakah kebiasaan makan dan
tidur terpengaruh?
6)
Riwayat merokok?
7) Obat yang dipakai setiap hari?
8)
Obat yang dipakai pada serangan
akut?
9)
Apa yang diketahui pasien
tentang kondisi dan penyakitnya?
Pemeriksaan diagnostik yang perlu dilakukan:
1)
Chest X-Ray :
Dapat menunjukkan
hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal,
penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular
(bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)
2)
Pemeriksaan Fungsi Paru :
Dilakukan untuk menentukan
penyebab dari dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat
obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk
mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator.
3)
TLC :
Meningkat pada bronchitis
berat dan biasanya pada asthma, menurun pada emfisema.
4)
Kapasitas Inspirasi :
Menurun pada emfisema
5)
FEV1/FVC :
Ratio tekanan volume
ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis
dan asthma.
6)
ABGs :
Menunjukkan proses
penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat
(bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH
normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap
hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).
7)
Bronchogram :
Dapat menunjukkan dilatasi
dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi
(emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
8)
Darah Komplit :
Peningkatan hemoglobin
(emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma).
9)
Kimia Darah :
Alpha 1-antitrypsin dilakukan
untuk kemungkinan kurang pada emfisema primer.
10)
Sputum Kultur :
Untuk menentukan adanya
infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
11)
ECG :
deviasi
aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia (bronchitis),
gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS
vertikal (emfisema)
12)
Exercise ECG, Stress Test :
menolong
mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat
bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.
Pemeriksaan fisik antara lain meliputi:
Palpasi:
a.
Palpasi pengurangan dan pengembangan dada?
b.
Adakah fremitus taktil menurun?
Perkusi:
a.
Adakah hiperesonansi pada
perkusi?
b.
Diafragma bergerak hanya
sedikit?
Auskultasi:
a.
Adakah suara wheezing yang
nyaring?
b.
Adakah suara ronkhi?
c. Vokal fremitus nomal atau menurun?
b.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa
keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:
1)
Bersihan
jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan
produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi
bronkopulmonal.
2)
Pola
napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi dan
iritan jalan napas.
3)
Gangguan
pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
4)
Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan
oksigen.
5)
Risiko
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
6)
Ganggua
pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.
7)
Kurang
perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya
pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
8)
Ansietas
berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian,
keperluan yang tidak terpenuhi.
9)
Koping
individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas,
depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
10) Kurang pengetahuan berhubungan dengan
kurangnya informasi, tidak mengetahui sumber informasi.
c. Intervensi
Keperawatan
1.
Bersihan jalan napas tidak
efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk
tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
Tujuan:
Pencapaian bersihan jalan napas klien
Intervensi keperawatan:
a. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari
kecuali terdapat kor pulmonal.
b. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan
teknik pernapasan diafragmatik dan batuk.
c. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser,
inhaler dosis terukur, atau IPPB
d. Lakukan drainage postural dengan perkusi
dan vibrasi pada pagi hari dan malam hari sesuai yang diharuskan.
e. Instruksikan pasien untuk menghindari
iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim, dan asap.
f. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi
yang harus dilaporkan pada dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan
warna sputum, kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada,
keletihan.
g. Beriakn antibiotik sesuai yang diharuskan.
h. Berikan dorongan pada pasien untuk
melakukan imunisasi terhadap influenzae dan streptococcus pneumoniae.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan
dengan napas pendek, mukus, bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
Tujuan:
Perbaikan pola pernapasan klien
Intervensi:
a.
Ajarkan klien latihan bernapas
diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.
b.
Berikan
dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat. Biarkan pasien membuat keputusan tentang perawatannya berdasarkan
tingkat toleransi pasien.
c. Berikan dorongan penggunaan latihan
otot-otot pernapasan jika diharuskan.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
ketidaksamaan ventilasi perfusi
Tujuan:
Perbaikan dalam pertukaran gas
Intervensi keperawatan:
a.
Deteksi bronkospasme saat
auskultasi .
b.
Pantau klien terhadap dispnea
dan hipoksia.
c.
Beriakn obat-obatan bronkodialtor
dan kortikosteroid dengan tepat dan waspada kemungkinan efek sampingnya.
d.
Berikan terapi aerosol sebelum
waktu makan, untuk membantu mengencerkan sekresi sehingga ventilasi paru
mengalami perbaikan.
e.
Pantau pemberian oksigen.
4.
Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen.
Tujuan:
Memperlihatkan
kemajuan pada tingkat yang lebih tinggi dari aktivitas yang mungkin.
Intervensi keperawatan:
a.
Kaji respon individu terhadap
aktivitas; nadi, tekanan darah, pernapasan.
b.
Ukur tanda-tanda vital segera
setelah aktivitas, istirahatkan klien selama 3 menit kemudian ukur lagi
tanda-tanda vital.
c.
Dukung pasien dalam menegakkan
latihan teratur dengan menggunakan treadmill dan exercycle,
berjalan atau latihan lainnya yang sesuai, seperti berjalan perlahan.
d.
Kaji tingkat fungsi pasien yang
terakhir dan kembangkan rencana latihan berdasarkan pada status fungsi dasar.
e.
Sarankan konsultasi dengan ahli
terapi fisik untuk menentukan program latihan spesifik terhadap kemampuan
pasien.
f. Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan
sebelum dan selama menjalankan aktivitas untuk berjaga-jaga.
g. Tingkatkan aktivitas secara bertahap;
klien yang sedang atau tirah baring lama mulai melakukan rentang gerak
sedikitnya 2 kali sehari.
h. Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas
dengan mendorong klien melakukan aktivitas lebih lambat, atau waktu yang lebih
singkat, dengan istirahat yang lebih banyak atau dengan banyak bantuan.
i. Secara bertahap tingkatkan toleransi
latihan dengan meningkatkan waktu diluar tempat tidur sampai 15 menit tiap hari
sebanyak 3 kali sehari.
5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelamahan, efek samping obat,
produksi sputum dan anoreksia, mual muntah.
Tujuan:
Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Intervensi keperawatan:
a. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat
ini. Catat derajat kesulitan
makan. Evaluasiberat badan dan ukuran
tubuh.
b.
Auskultasi bunyi usus
c. Berikan perawatan oral sering, buang
sekret.
d. Dorong periode istirahat I jam sebelum dan
sesudah makan.
e. Pesankan diet lunak, porsi kecil sering,
tidak perlu dikunyah lama.
f. Hindari makanan yang diperkirakan dapat
menghasilkan gas.
g. Timbang berat badan tiap hari sesuai
indikasi.
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan
ketidaknyamanan, pengaturan posisi.
Tujuan:
Kebutuhan tidur terpenuhi
Intervensi keperawatan:
a.
Bantu klien latihan relaksasi
ditempat tidur.
b.
Lakukan pengusapan punggung
saat hendak tidur dan anjurkan keluarga untuk melakukan tindakan tersebut.
c.
Atur posisi yang nyaman
menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.
d. Lakukan penjadwalan waktu tidur yang
sesuai dengan kebiasaan pasien.
e. Berikan makanan ringan menjelang tidur
jika klien bersedia.
7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan
keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi
ventilasi dan oksigenasi.
Tujuan:
Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri
Intervensi:
a. Ajarkan mengkoordinasikan pernapasan
diafragmatik dengan aktivitas seperti berjalan, mandi, membungkuk, atau menaiki
tangga.
b.
Dorong
klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak dekat, istirahat sesuai
kebutuhan untuk menghindari keletihan dan dispnea berlebihan. Bahas tindakan penghematan energi.
c. Ajarkan tentang postural drainage bila
memungkinkan.
8. Ansietas berhubungan dengan ancaman
terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian, keperluan yang tidak
terpenuhi.
Tujuan:
Klien tidak terjadi kecemasan
Intervensi keperawatan:
a.
Bantu klien untuk menceritakan
kecemasan dan ketakutannya pada perawat.
b.
Jangan tinggalkan pasien
sendirian selama mengalami sesak.
c.
Jelaskan kepada keluarga
pentingnya mendampingi klien saat mengalami sesak.
9.
Koping individu tidak efektif
berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas
rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
Tujuan:
Pencapaian tingkat koping yang optimal.
Intervensi keperawatan:
a.
Mengadopsi sikap yang penuh
harapan dan memberikan semangat yang ditujukan pada pasien.
b. Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi
gejala
c.
Ajarkan teknik relaksasi atau
berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.
d.
Daftarkan pasien pada program
rehabilitasi pulmonari bila tersedia.
e.
Tingkatkan harga diri klien.
f.
Rencanakan terapi kelompok
untuk menghilangkan kekesalan yang sangat menumpuk.
10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan
kurangnya informasi, tidak mengetahui sumber informasi.
Tujuan:
Klien meningkat pengetahuannya.
Intervensi keperawatan:
a.
Bantu
pasien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan jangka pendek; ajarkan pasien
tentang penyakit dan perawatannya.
b.
Diskusikan
keperluan untuk berhenti merokok. Berikan informasi tentang sumber-sumber kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Danu Santoso Halim,Dr.SpP : Ilmu Penyakit Paru, Jakarta 1998, hal
:169-192.
Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman
untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa,
Ni Made Sumarwati, edisi 3, Jakarta:
EGC
G.Simon : Diagnostik Rontgen,
cetakan ke-2, Erlangga, 1981, hal :310-312.
Long Barbara C. (1996) Perawatan
medical Bedah Suatu pendekatan Proses keperawatan, alih bahasa: Yayasan
Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung, Bandung.
Nugroho, Wahjudi (2000) Keperawatan
Gerontik, edisi 2, Jakarta:
EGC
Carpenito, Lynda Juall (1997) Buku
Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin Asih, edisi 6, Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo
(et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar