Sabtu, 13 Juli 2013

ASKEP PPOK



1.    DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 : 595)‏. Tetapi dalam suatu Negara, yang termasuk didalam copd adalah emfisema paru- paru dan Bronchitis Kronis. Nama lain dari copd adalah “Chronic obstructive airway disease ” dan “ChronicObstructive Lung Diseases (COLD)”

2.    ANATOMI DAN FISIOLOGI PERNAFASAN
Berdasarkan Syaifudin (2006), fungsi umum dari system pernafasan adalah:
a.    Hidung  : atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh secret hidung (septum nasi). Didalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran yang masuk kedalam rongga hidung.
Bagiannya terdiri dari :
1) Bagian luar dinding terdiri dari kulit.
2) Lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan.
3) Lapisan dalam terdiri dari selaput lendir yang berlipat-lipat yang dinamakan karang hidung   (konka nasalis), yang berjumlah 3 buah:
 *    Konka nasalis inferior (karang hidung bagian bawah)
               *    Konka nasalis madia (karang hidung bagian tengah)
 *    Konka nasalis superior (karang hidung bagian atas)
b.    Faring atauTekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan, terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher.
Rongga tekak dibagi dalam 3 bagian:
1) Bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan kocna isebut naso faring.
2) Bagian tengah yang sama tingginya dengan istmus fausium disebut orofaring.
3) Bagian bawah sekali dinamakan laringofaring.
c.    Laring  atau pangkal tenggorok merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara, terletak di bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakhea dibawahnya. Laring terdiri dari 5 tulang rawan antara lain: 1) Kartilago tiroid (1 buah) depan jakun (adam’s apple), sangat jelas terlihat pada pria. 2) Kartilago Krikoid (1 buah) yang berbentk cincin. 3) Kartilago epiglottis (1 buah).
d.   Trakhea atau batang tenggorok merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda (huruf C).
e.    Bronkus atau cabang tenggorok merupakan lanjutan dari trachea, ada 2 buah yang terapat pada ketinggian vertebra trakealis IV dan V mempunyai struktur serupa dengan trakhea dan dilapisi oleh jenis set yang sama.
f.     Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembug (gelembung hawa, alveoli). 1. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), lobus pulmo dekstra superior, lobus media, lobus inferior. Tap lobus tersusun oleh lobulus. 2. Paru-paru kiri, terdiri dari pulmo sinistra lobus superior dan inferior.
Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 (dua):
1)         Pleura viseral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru-paru.
2)         Pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar
Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan, juga terdapat sedikit cairan (eskudat) yang berguna untuk rneminyaki permukaannya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada dimana sewaktu bernapas bergerak.


3.    KLASIFIKASI
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai berikut:
1.        Bronkitis kronik
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut.
Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu :
a.    Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.
b.    Alergi
c.    Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll.
Bronchitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik yang mengenai beberapa alat tubuh, yaitu :
a.    Penyakit Jantung Menahun, baik pada katup maupun myocardium. Kongesti menahun pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
b.    Infeksi sinus paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat menyerang dinding bronchus.
c.    Dilatasi Bronchus (Bronchiectasi), menyebabkan gangguan susunan dan fungsi dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
d.   Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lender bronchus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.

Patofisiologi
Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul kembali sebagai eksaserbasi akut dari bronchitis kronis. Pada infeksi saluran nafas bagian atas, biasanya virus, seringkali merupakan awal dari serangan bronchitis akut. Dokter akan mendiagnosa bronchitis kronis jika klien mengalami batuk atau produksi sputum selama beberapa hari + 3 bulan dalam 1 tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut. Bronchitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan terhadap agent infeksi maupun non-infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan bronchospasme.
Klien dengan bronchitis kronis akan mengalami :
a.       Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang mana akan meningkatkan produksi mukus.
b.      Mukus lebih kental
c.       Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus. Oleh karena itu, “mucocilliary defence” dari paru mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus akan meningkat. Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena. Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan asidosis. Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO2. Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary. Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF
2.        Emfisema Paru
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai “overinflation”.
Patogenesis
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema, yaitu :
a.    Hilangnya elastisitas paru. Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli dan saluran nafas kecil dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung alveolar kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit. Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi membesar.
b.    Hyperinflation Paru Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi istirahat normal selama ekspirasi.
c.    Terbentuknya Bullae Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X ray.
d.   Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap Ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorak akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas.
Tipe emfisema
Terdapat tiga tipe dari emfisema :
a.    Emfisema Centriolobular Merupakan tipe yang sering muncul, menghasilkan kerusakan bronchiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronchiolus tetapi biasanya kantung alveolar tetap bersisa.
b.    Emfisema Panlobular (Panacinar) Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, timbul sangat sering pada seorang perokok.
c.    Emfisema Paraseptal Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner, seringkali timbul Cor Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.
Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada dinding alveolar, yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) diantara alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan kehilangan elastisitas recoil. Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan diantara ruang alveolar (disebut blebs) dan diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada “dead space” atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah. Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok.
3.        ASMA BRONKHIALE
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodic dan reversible akibat bronkospasme.
Tipe Asthma
Asthma terbagi menjadi alergi, idiopatik, non alergik atau campuran (mixed):
1)   Asthma  Alergik  /Ekstrinsik,  merupakan  suatu  bentuk  asthma  dengan  penyebab allergen (missal : bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan dll). Allergen terbanyak  adalah airborne dan  seasonal  (musiman). Pasien dengan  asthma  alergik biasanya  mempunyai riwayat  penyakit    alergi  pada  keluarga  dan  riwayat pengobatan exzema atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asthma. Bentuk asthma ini biasanya dimulai saat kanak-kanak.
2)   Idiopathic atau Nonallergic Asthma/Intrinsik, tidak berhubungan secara  langsung   dengan allergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold,  infeksi saluran nafas atas, kegiatan, emosi dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan. Beberapa agent  pharmakologi,  beta-adrenergic  antagonist  dan  agent  sulfite  (penyedap makanan) juga dapat sebagai faktor. Serangan dari asthma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan seringkali dengan berjalannya waktu dan dapat berkembang menjadi  bronchitis  dan  emfisema.  Beberapa  pasien  berkembang  menjadi  asthma campuran. Bentuk asthma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (> 35 tahun).
3)   Asthma Campuran (Mixed Asthma), merupakan bentuk asthma yang paling sering.Dikarakteristikkan  dengan  bentuk  kedua  jenis  asthma  alergi  dan  idiopatik  atau nonalergi.
  Etiologi
Sampai saat ini etiologi asthma belum diketahui dengan pasti, suatu hal yang menonjolpada  semua  penderita  asthma  adalah  fenomena  hipereaktivitas  bronchus.  Bronchus penderita asthma sangat peka  terhadap  rangsangan  imunologi maupun non-imunologi. Karena  sifat  inilah maka  serangan  asthma mudah  terjadi  akibat  berbagai  rangsangan baik fisis, metabolik, kimia, alergen, infeksi dan sebagainya. Rangsangan atau pencetus yang  sering menimbulkan  asthma  perlu  diketahui  dan  sedapat mungkin  dihindarkan.
Faktor-faktor tersebut adalah :
a.  Alergen utama : debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan
b.  Iritan seperti asap, bau-bauan, pollutan
c.  Infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus
d.  Perubahan cuaca yang ekstrim.
e.  Kegiatan jasmani yang berlebihan.
f.  Lingkungan kerja
g.  Obat-obatan.
h.  Emosi
i.  Lain-lain : seperti reflux gastro esofagus.

Gambaran Klinis
Gejala  asthma  terdiri  dari  triad  :  dispnea,  batuk  dan mengi,  gejala  yang  disebutkan terakhir sering dianggap sebagai gejala yang harus ada (“sine qua non”).
Objektif
  Sesak nafas yang berat dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing.
  Dapat disertai batuk dengan sputum kental, sulit dikeluarkan.
  Bernafas dengan menggunakan otot-otot nafas tambahan
  Cyanosis, tachicardia, gelisah, pulsus paradoksus.
  Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apex dan hilus)

Subjektif
  Klien merasa sukar bernafas, sesak, anoreksia.
Psikososial
  Cemas, takut dan mudah tersinggung
  Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnya.

Patofisiologi
Asthma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang dikendalikan oleh limfosit T dan B dan diaktifkan oleh  interaksi antara antigen dengan molekul IgE yang berikatan dengan  sel mast. Sebagian  besar  alergen  yang mencetuskan  asthma  bersifat  airborne dan  supaya  dapat  menginduksi  keadaan  sensitivitas,  alergen  tersebut  harus  tersedia dalam jumlah banyak untuk periode waktu tertentu. Akan tetapi sekali sensitisasi telah terjadi  pasien  akan memperlihatkan  respon  yang  sangat  baik  sehingga  sejumlah  kecil alergen yang mengganggu sudah dapat menghasilkan eksaserbasi penyakit yang jelas.
Obat  yang  paling  sering  berhubungan  dengan  induksi  episode  akut  asthma  adalah aspirin,  bahan  pewarna  seperti  tartazin,  antagonis  beta-adrenergik  dan  bahan  sulfat. Sindroma  pernafasan  sensitif-aspirin  khusus  terutama  mengenai  orang  dewasa, walaupun keadaan ini juga dapat dilihat pada masa kanak-kanak. Masalah ini biasanya berawal dari  rhinitis vasomotor perennial  yang diikuti oleh  rhinosinusitis hiperplastik dengan  polip nasal. Baru kemudian muncul asthma progresif.
Pasien yang sensitif  terhadap aspirin dapat didesentisasi dengan pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani bentuk  terapi  ini,  toleransi silang  juga akan  terbentuk  terhadap agen  anti-inflamasi  non-steroid  lain. Mekanisme  dengan  aspirin  dan  obat  lain  dapat menyebabkan  bronkospasme  tidak  diketahui  tetapi  mungkin  berkaitan  dengan pembentukan leukotrien yang diinduksi secara khusus oleh aspirin.

Antagonis  beta-adrenergik  biasanya  menyebabkan  obstruksi  jalan  nafas  pada  pasien asthma demikian juga dengan pasien lain dengan peningkatan reaktifitas jalan nafas dan harus dihindarkan pada pasien ini. Obat sulfat, seperti kalium metabisulfit, kalium dan natrium  bisulfit,  natrium  sulfit  dan  sulfat  klorida,  yang  secara  luas  digunakan  dalam industri  makanan  dan  farmasi  sebagai  agen  sanitasi  dan  pengawet  juga  dapat menimbulkan  obstruksi  jalan  nafas  akut  pada  pasien  yang  sensitif.  Pajanan  biasanya terjadi  setelah  menelan  makanan  atau  cairan  yang  mengandung  senyawa  ini,  misal, salad, buah segar, kentang, kerang dan anggur.
 Pencetus-pencetus serangan di atas ditambah cetusan  lainnya dari  internal pasien akan mengakibatkan  timbulnya  reaksi antigen dan antibodi yang mengakibatan dikeluarkan substansi  pereda  alergi  yang  sebetulnya  merupakan  mekanisme  tubuh  dalam menghadapi  serangan  yang  dapat  berupa  dikeluarkannya  histamin,  bradikinin  dan anafilatoksin. Hasil dari hal  tersebut  timbul 3 gejala yaitu berkontraksinya otot polos, peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan sekresi mukus

Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip penatalaksanaan asthma bronchial :
a.  Diagnosis status asmatikus. Faktor penting yang harus diperhatikan :
1)  Saatnya serangan
2)  Obat-obatan yang telah diberikan (macam dan dosis)
b.  Pemberian obat bronchodilator.
c.  Penilaian terhadap perbaikan serangan.
d.  Pertimbangan terhadap pemberian kortikosteroid.
e.  Setelah serangan mereda :
1)  Cari faktor penyebab.
2)  Modifikasi pengobatan penunjang selanjutnya.
OBAT-OBATAN
a.  Bronchodilator
b.  Kortikosteroid
c.  Pemberian Oksigen
d.  Beta Agonists

4.        Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yan mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe.
Etiologi
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain:
a.    Merokok sigaret yang berlangsung lama
b.    Polusi udara
c.    Infeksi peru berulang
d.   Umur
e.    Jenis kelamin
f.     Ras
g.    Defisiensi alfa-1 antitripsin
h.    Defisiensi anti oksidan
Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.
Patofisiologi/Pathway
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut, kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernapas.
Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru.
Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan apda dinding bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan (Brannon, et al, 1993).
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok:
a.  Mempunyai gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue bloater).
b.  Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).

Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:
a.    Kelemahan badan
b.    Batuk
c.    Sesak napas
d.   Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi
e.    Mengi atau wheeze
f.     Ekspirasi yang memanjang
g.    Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut.
h.    Penggunaan otot bantu pernapasan
i.      Suara napas melemah
j.      Kadang ditemukan pernapasan paradoksal
k.    Edema kaki, asites dan jari tabuh.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
a.    Pemeriksaan radiologis
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1)   Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal.
2)   Corak paru yang bertambah
Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
1)   Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink puffer.
2)   Corakan paru yang bertambah.
b.   Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
c.    Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
d.   Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
e.    Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
f.     Laboratorium darah lengkap

4.    PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
a.    Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasiu gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi juga fase kronik.
b.    Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
c.    Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal.
Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
a.    Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok, menghindari polusi udara.
b.    Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
c.    Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
d.   Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih controversial.
e.    Pengobatan simtomatik.
f.     Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
g.    Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran lambat 1 – 2 liter/menit.
h.    Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
1)   Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
2)   Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang paling efektif.
3)   Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran jasmani.
4)   Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.
Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)
a)    Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
b)   Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
1)   Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4x0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
2)   Terapi oksigen diberikan jika terdapata kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
3)   Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
4)   Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV secara perlahan.
c)    Terapi jangka panjang di lakukan :
1)   Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4x0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
2)   Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
3)    Fisioterapi
4)   Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
5)   Mukolitik dan ekspektoran
6)   Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)
7)   Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.

5.    KOMPLIKASI COPD
a.       Hipoxemia
b.      Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
c.       Asidosis Respiratory
d.      Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
e.       Infeksi Respiratory
f.       Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
g.      Gagal jantung
h.      Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
i.        Cardiac Disritmia
j.        Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.
k.      Status Asmatikus
l.        Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.

6.    Asuhan Keperawatan Pasien PPOK
Dari seluruh dampak di atas, maka diperlukan suatu asuhan keperawatan yang komprehensif baik bio, psiko, sosial dan melalui proses perawatan yaitu mulai dari pengkajian sampai evaluasi.
a.         Pengkajian
Pengkajian mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman pertanyaan untuk mendapatkan data riwayat kesehatan dari proses penyakit:
1)   Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan?
2)   Apakah aktivitas meningkatkan dispnea?
3)   Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?
4)   Kapan pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?
5)   Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?
6)   Riwayat merokok?
7)   Obat yang dipakai setiap hari?
8)   Obat yang dipakai pada serangan akut?
9)   Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?
Pemeriksaan diagnostik yang perlu dilakukan:
1)   Chest X-Ray :
Dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)
2)   Pemeriksaan Fungsi Paru :
Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator.
3)   TLC :
Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada emfisema.
4)   Kapasitas Inspirasi :
Menurun pada emfisema
5)   FEV1/FVC :
Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.
6)   ABGs :
Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).
7)   Bronchogram :
Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
8)   Darah Komplit :
Peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinofil (asthma).
9)   Kimia Darah :
Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema primer.
10)    Sputum Kultur :
Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
11)      ECG :
deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)
12)      Exercise ECG, Stress Test :
menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.
Pemeriksaan fisik antara lain meliputi:
Palpasi:
a.    Palpasi pengurangan dan pengembangan dada?
b.    Adakah fremitus taktil menurun?
Perkusi:
a.    Adakah hiperesonansi pada perkusi?
b.    Diafragma bergerak hanya sedikit?
Auskultasi:
a.    Adakah suara wheezing yang nyaring?
b.    Adakah suara ronkhi?
c.    Vokal fremitus nomal atau menurun?

b.        Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:
1)   Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
2)   Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
3)   Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
4)   Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen.
5)   Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
6)   Ganggua pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.
7)   Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
8)   Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.
9)   Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
10)    Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui sumber informasi.

c.    Intervensi Keperawatan
1.    Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
Tujuan:
Pencapaian bersihan jalan napas klien
Intervensi keperawatan:
a.    Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
b.    Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan batuk.
c.    Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB
d.   Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam hari sesuai yang diharuskan.
e.    Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim, dan asap.
f.     Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan.
g.    Beriakn antibiotik sesuai yang diharuskan.
h.    Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap influenzae dan streptococcus pneumoniae.
2.    Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus, bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
Tujuan:
Perbaikan pola pernapasan klien
Intervensi:
a.    Ajarkan klien latihan bernapas diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.
b.    Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat. Biarkan pasien membuat keputusan tentang perawatannya berdasarkan tingkat toleransi pasien.
c.    Berikan dorongan penggunaan latihan otot-otot pernapasan jika diharuskan.
3.    Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
Tujuan:
Perbaikan dalam pertukaran gas
Intervensi keperawatan:
a.    Deteksi bronkospasme saat auskultasi .
b.    Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.
c.    Beriakn obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat dan waspada kemungkinan efek sampingnya.
d.   Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu mengencerkan sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.
e.    Pantau pemberian oksigen.

4.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen.
Tujuan:
Memperlihatkan kemajuan pada tingkat yang lebih tinggi dari aktivitas yang mungkin.
Intervensi keperawatan:
a.    Kaji respon individu terhadap aktivitas; nadi, tekanan darah, pernapasan.
b.    Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien selama 3 menit kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.
c.    Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan menggunakan treadmill dan exercycle, berjalan atau latihan lainnya yang sesuai, seperti berjalan perlahan.
d.   Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana latihan berdasarkan pada status fungsi dasar.
e.    Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan program latihan spesifik terhadap kemampuan pasien.
f.     Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama menjalankan aktivitas untuk berjaga-jaga.
g.    Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah baring lama mulai melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.
h.    Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong klien melakukan aktivitas lebih lambat, atau waktu yang lebih singkat, dengan istirahat yang lebih banyak atau dengan banyak bantuan.
i.      Secara bertahap tingkatkan toleransi latihan dengan meningkatkan waktu diluar tempat tidur sampai 15 menit tiap hari sebanyak 3 kali sehari.

5.    Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual muntah.
Tujuan:
Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Intervensi keperawatan:
a.    Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan.  Evaluasiberat badan dan ukuran tubuh.
b.    Auskultasi bunyi usus
c.    Berikan perawatan oral sering, buang sekret.
d.   Dorong periode istirahat I jam sebelum dan sesudah makan.
e.    Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama.
f.     Hindari makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas.
g.    Timbang berat badan tiap hari sesuai indikasi.


6.    Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.
Tujuan:
Kebutuhan tidur terpenuhi
Intervensi keperawatan:
a.       Bantu klien latihan relaksasi ditempat tidur.
b.      Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga untuk melakukan tindakan tersebut.
c.       Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.
d.      Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan pasien.
e.       Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.

7.    Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
Tujuan:
Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri
Intervensi:
a.    Ajarkan mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas seperti berjalan, mandi, membungkuk, atau menaiki tangga.
b.    Dorong klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak dekat, istirahat sesuai kebutuhan untuk menghindari keletihan dan dispnea berlebihan. Bahas tindakan penghematan energi.
c.    Ajarkan tentang postural drainage bila memungkinkan.

8.    Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.
Tujuan:
Klien tidak terjadi kecemasan
Intervensi keperawatan:
a.    Bantu klien untuk menceritakan kecemasan dan ketakutannya pada perawat.
b.    Jangan tinggalkan pasien sendirian selama mengalami sesak.
c.    Jelaskan kepada keluarga pentingnya mendampingi klien saat mengalami sesak.

9.    Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
Tujuan:
Pencapaian tingkat koping yang optimal.
Intervensi keperawatan:
a.    Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yang ditujukan pada pasien.
b.    Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala
c.    Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.
d.   Daftarkan pasien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia.
e.    Tingkatkan harga diri klien.
f.     Rencanakan terapi kelompok untuk menghilangkan kekesalan yang sangat menumpuk.
10.     Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak mengetahui sumber informasi.
Tujuan:
Klien meningkat pengetahuannya.
Intervensi keperawatan:
a.    Bantu pasien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan jangka pendek; ajarkan pasien tentang penyakit dan perawatannya.
b.    Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok. Berikan informasi tentang sumber-sumber kelompok.










DAFTAR PUSTAKA

Danu Santoso Halim,Dr.SpP : Ilmu Penyakit Paru, Jakarta 1998, hal :169-192.
Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, edisi 3, Jakarta: EGC
G.Simon : Diagnostik Rontgen, cetakan ke-2, Erlangga, 1981, hal :310-312.
Long Barbara C. (1996) Perawatan medical Bedah Suatu pendekatan Proses keperawatan, alih bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung, Bandung.
Nugroho, Wahjudi (2000) Keperawatan Gerontik, edisi 2, Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin Asih, edisi 6, Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar