BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma
adalah suatu kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan
sensitifnya trakea dan cabang-cabangnya (hipereaktivitas bronkus) terhadap
berbagai rangsangan. Rangsangan ini dapat menimbulkan obstruksi saluran napas
yang menyeluruh dengan derajat yang bervariasi dan dapat membaik dengan atau
tanpa diobati. Pada kelainan ini berperan berbagai sel inflamasi antara lain
sel mast dan eosinofil. Penyakit asma dapat terjadi pada berbagai usia baik
laki-laki maupun perempuan.
Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun belakangan ini obat-obat asma banyak dikembangkan. Di negara maju angka kesakitan dan kematian karena asma juga terlihat meningkat. Tanggal 4 Mei 2004 ditetapkan oleh Global Initiative in Asthma (GINA) sebagai World Asthma Day (Hari Asma se-Dunia). Menurut data organisasi kesehatan dunia (WHO), penyandang asma di dunia mencapai 100-150 juta orang. Jumlah ini diduga terus bertambah sekitar 180 ribu orang per tahun.
Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun belakangan ini obat-obat asma banyak dikembangkan. Di negara maju angka kesakitan dan kematian karena asma juga terlihat meningkat. Tanggal 4 Mei 2004 ditetapkan oleh Global Initiative in Asthma (GINA) sebagai World Asthma Day (Hari Asma se-Dunia). Menurut data organisasi kesehatan dunia (WHO), penyandang asma di dunia mencapai 100-150 juta orang. Jumlah ini diduga terus bertambah sekitar 180 ribu orang per tahun.
Di
negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam dan Singapura,
bronkitis, emfisema dan asma merupakan penyebab kematian ke delapan. Penelitian
di Amerika Serikat mendapatkan prevalensi asma sekitar 3%, sementara di Inggris
angkanya adalah sekitar 5%. Penelitian pada guru-guru di India menghasilkan
prevalensi asma sebesar 4,1 %, sementara laporan dari Taiwan menunjukkan angka
6,2%.
National
Health Interview Survey di Amerika Serikat memperkirakan bahwa setidaknya 7,5
juta orang penduduk negeri itu mengidap bronkitis kronik, Iebih dari 2 juta
orang menderita emfisema dan setidaknya 6,5 juta orang menderita salah satu
bentuk asma. Di tahun 1981 di Amerika Serikat dilaporkan ada 60.000 kematian
akibat PPOM dan keadaan yang berhubungan dengannya. Laporan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) dalam World Health Report 2000 menyebutkan, lima penyakit
paru utama merupakan 17,4% dari seluruh kematian di dunia, masing-masing
infeksi paru 7,2%, PPOK 4,8%, tuberkulosis 3,0%, kanker, paru/trakea/bronkus,
2,1%, dan asma 0,3%.
Peningkatan
penderita asma bronchial juga terjadi di Indonesia, penelitian pada anak
sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International
Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 menunjukkan, prevalensi
asma masih 2,1%, dan meningkat tahun 2003 menjadi dua kali lipat lebih yakni
5,2%.
Asma
terbukti menurunkan kualitas hidup penderitanya. Dalam salah satu laporan di
Journal of Allergy and Clinical Immunology tahun 2003 dinyatakan bahwa dari
3.207 kasus yang diteliti, 44-51% mengalami batuk malam dalam sebulan terakhir.
Bahkan 28,3% penderita mengaku terganggu tidurnya paling tidak sekali dalam
seminggu. Penderita yang mengaku mengalami keterbatasan dalam berekreasi atau
olahraga sebanyak 52,7%, aktivitas sosial 38%, aktivitas fisik 44,1%, cara
hidup 37,1%, pemilihan karier 37,9%, dan pekerjaan rumah tangga 32,6%. Absen
dari sekolah maupun pekerjaan dalam 12 bulan terakhir dialami oleh 36,5% anak
dan 26,5% orang dewasa. Selain itu, total biaya pengobatan untuk asma di USA
sekitar 10 milyar dollar per tahun dengan pengeluaran terbesar untuk ruang
emergensi dan perawatan di rumah sakit. Oleh karena itu, terapi efektif untuk
penderita asma berat sangat dibutuhkan.
Baru-baru
ini Howarth dan rekan menemukan bahwa ekspresi dari sitokin yang disebut tumor
necrosis factor alpha (TNF-α) pada saluran napas berkaitan dengan tingkat
keparahan asma. TNF-α adalah salah satu sitokin inflamasi yang berhubungan
dengan alergi. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa penderita asma berat
memiliki TNF-α yang lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan dengan orang
normal. Pada penderita asma berat ditemukan bahwa tingkat ekspresi gen TNF-α
lebih besar daripada pada penderita asma sedang maupun yang terkontrol,
meskipun telah dilakukan terapi kortikosteroid dosis tinggi. Penelitian Berry
dan rekan kemudian membuktikan bahwa TNF-α adalah efektor utama
hiperresponsivitas bronkial pada penderita asma yang sulit disembuhkan dengan
terapi kortikosteroid. Namun faktor TNF-α ini tidak berlaku pada semua tipe
asma. Berbeda dengan pada asma berat, pada asma sedang, jumlah TNF-αnya sama
dengan penderita asma yang terkontrol.
1.2 Tujuan
1.
Mengetahui dan memahami tentang proses
penyakit, pengertian, penyakit dan perawatan dari Asma.
2.
Mengetahui dan memahami proses
keperawatan yang dimulai dengan pengkajian, masalah keperawatan yang muncul,
rencana dan tindakan keperawatan yang diberikan dan evaluasi keperawatan yang
dilakukan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Asma Bronkhiale adalah suatu
gangguan pada saluran bronchial yang mempunyai cirri
bronkospasme periodic terutama pada percabangan tracheobronchial yang dapat di
akibatkan oleh berbagai stimulus seperti oleh faktor biokemikal, endokrin, infeksi, otonomik, dan psikologi
(Somantri, 2008).
Sedangkan menurut Muttaqin, (2008) Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respons trakhea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas
yang luas dan derajatnya dapat berubah – ubah secara spontan maupun sebagai
hasil pengobatan.
Sedangkan
menurut Reeves,
(2001) Asma adalah obstruksi jalan nafas
yang bersifat reversibel, terjadi ketika bronkus mengalami inflamasi atau
peradangan dan hiperresponsif.
Berdasarkan
pengertian di atas, maka dapat di simpulkan bahwa Asma Bronkhial adalah suatu obstruksi jalan nafas yang bersifat
revesibel, yang mengalami gangguan pada saluran Bronchial yang mempunyai ciri Bronkospasme
periodic terutama pada percabangan Trakeobronkhial
yang dapat di akibatkan oleh berbagai stimulus seperti
oleh faktor biokemikal, endokrin, infeksi, otonomik, dan psikologi.
2.2 Etiologi
Penderita asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi
maupun non-imunologi. Oleh
karena sifat inilah, maka serangan asma mudah terjadi ketika ada rangsangan baik fisik, kimia, alergen, infeksi, dan sebagainya. Penderita asma perlu mengetahui dan
menghindari rangsangan atau factor pencetus yang dapat menimbulkan asma.
Menurut
Somantri, (2008) faktor–faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Alergen utama, seperti Debu rumah, spora jamur, dan tepung sari
rerumputan.
2.
Iritas seperti asap, bau–bauan,
dan polutan.
3.
Infeksi saluran nafas terutama
yang disebabkan oleh virus.
4.
Perubahan cuaca yang
ekstrim.
5.
Aktifitas fisik yang
berlebihan.
6.
Lingkungan kerja.
7.
Obat–obatan.
8.
Emosi.
9.
Lain–lain : Seperti refluks gastro esofagus.
2.3 Klasifikasi
Menurut Mansjoer, (2000), klasifikasi asma terdiri dari dua tipe
penyebab dasar yaitu :
1.
Immunologi/asma alergik yang
terjadi pada anak–anak, biasanya mengikuti penyakit alergik yang lain seperti
eksim (80–85%) anak-anak dengan eksim mengalami hay fever atau asma pada usia enam tahun. Penderita asma alergik
dianggap sebagai atopik. Serangan dicetuskan oleh kontak dengan allergen pada
penderita yang sensitive.
2.
Asma Non Immunologik atau non
alergik biasanya terjadi pada orang dewasa diatas 35 tahun, serangan seringkali
dicetuskan oleh infeksi pada sinus atau cabang bronchus.
2.4 Patofisiologi / WOC
Asma
akibat alergi bergantung kepada respons immunoglobulin (Ig) E yang dikendalikan
oleh limfosit T dan B serta diaktifkan oleh
interaksi antara antigen dengan molekul Ig E yang berikatan dengan sel mast.
Sebagian besar alergen yang
menimbulkan asma bronchiale bersifat airborne
dan agar dapat menginduksi keadaan sensitivitas, Alergen tersebut harus tersedia
dalam jumlah banyak dalam periode waktu tertentu. Akan tetapi, jika sensitivisasi telah terjadi, klien akan memperlihatkan respons yang
baik, sehingga sejumlah alergen yang mengganggu dapat menghasilkan eksaserbasi
penyakit yang jelas (Somantri,
2009).
Obstruksi saluran nafas pada asma
merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbat mucus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi
karena secara fisiologi saluran nafas menyempit pada fase tersebut. Hal ini
mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi
peningkatkan volume residu, Kapasitas Residu Fungsional (KRF) dan pasien akan
bernafas pada volume yang tinggi mendekati Kapasitas Paru Total (KPT).
Keadaan
hiperinflasi ini bertujuan agar ventilasi tetap terbuka dan pertukaran gas
berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini di perlukan otot-otot
bantu napas. Gangguan yang berupa obstruksi saluran nafas dapat dinilai secara
objektif dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik Pertama) atau APE
(Arus Puncak Ekspirasi), sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa)
menggambarkan derajat hiperinflasi paru.
Penyempitan
saluran nafas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada daerah-daerah
yang kurang dapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah
tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan
kelainan pada asma subklinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen tubuh
melakukan hiperventilasi agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya
pengeluran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun
yang kemudian menimbulkan alkalosis
respiratori.
Pada
serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran nafas dan alveolus tertutup oleh mucus sehingga tidak memungkinkan lagi
terjadinya pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot – otot
pernapasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan
produksi CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2
(Hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal nafas.
Hipoksemia yang berlangsung lama
menyebabkan asidosis metabolic dan
konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shuting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas
yang baik, yang akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan
saluran nafas pada asma akan menimbulkan hal – hal sebagai berikut :
1.
Gangguan ventilasi berupa Hipoventilasi.
2.
Ketidakseimbangan
ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak setara dengan sirkulasi
darah paru.
3.
Gangguan difusi gas
ditingkatan alveoli. Ketiga factor tersebut akan mengakibatkan Hipoksemia, Hiperkapnia, dan Asidosis Respiratorik pada tahap yang sangat
lanjut (Tjokronegoro, 2001).
2.5 Manifestasi Klinis
Triad
Asma yaitu dispnea, batuk, dan mengi (bengek atau sesak napas). Gejala sesak
napas sering dianggap sebagai gejala yang harus ada. Hal tersebut berarti jika
penderita menganggap penyakitnya adalah asma namun tidak mengeluhkan sesak
nafas, maka perawat harus yakin bahwa pasien bukan menderita asma. Gejala klinis
pasien yang menderita asma :
1.
Gambaran objektif yang
ditemukan perawat adalah kondisi pasien dalam keadaan seperti dibawah ini yaitu
Sesak nafas parah dengan ekspirasi memanjang serta wheezing, dapat disertai batuk dengan sputum kental dan sulit
dikeluarkan, bernafas menggunakan otot–otot nafas tambahan, sianosis,
takikardia, gelisah, dan pulsus paradoksus, fase ekspirasi memanjang disertai Wheezing (dipeks dan hilus).
2.
Gambaran subjektif yang
ditangkap perawat adalah pasien mengeluh sukar bernafas, sesak, dan anoreksia.
3.
Gambaran psikososial yang
diketahui perawat adalah cemas, takut, mudah tersinggung dan kurangnya
pengetahuan pasien terhadap situasi penyakitnya (Somantri, 2008).
Serangan
seringkali terjadi pada malam hari, pasien terbangun dan merasa tercekik,
bronkospasme dan penyempitan jalan nafas menyebabkan wheezing saat inhalasi, pasien menggunakan otot–otot tambahan untuk
bernafas dan mungkin membungkuk kedepan untuk dapat bernafas dengan baik,
sianosis dapat timbul, serangan biasanya menghilang dalam 30–60 menit pada
batuk dan mengeluarkan sputum kental dalam jumlah banyak (Mansjoer, 2000).
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
Secara umum diagnosis asma tidak sulit, terutama bila dijumpai
gejala yang klasik seperti sesak napas,
batuk dan mengi. Adanya riwayat asma sebelumnya, riwayat penyakit alergi
seperti rhinitis alergik dan keluarga yang menderita penyakit alergi dapat
memperkuat dengan penyakit asma. Pada anamesis perlu ditanyakan mengenai faktor pencetus serangan (Mansjoer,
2000).
Mansjoer (2000), memaparkan pemeriksaan penunjang yang penting
dalam asma bronchial adalah :
1.
Spirometri, untuk menunjukan adanya
obstruksi jalan nafas reversible.
2.
Tes provokasi bronchiale, untuk menunjukan adanya hiperaktivias bronchus.
3.
Pemeriksaan tes kulit.
4.
Pemeriksaan kadar
imonoglobulin (Ig.E) dan sputum
5.
Pemeriksaan radiologi.
6.
Analisa gas darah.
7.
Pemeriksaan Eoseonofil dan
total dalam darah
8.
Pemeriksaan sputum.
2.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk
meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup
normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol). Tujuan :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;
2. Mencegah eksaserbasi akut;
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal
mungkin;
4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;
5. Menghindari efek samping obat;
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;
7. Mencegah kematian karena asma.
8. Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak
sesuai potensi genetiknya.
Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang
baik antara dokter dan pasien sebagai
dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya komunikasi
yang terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan pasien,
ini merupakan kunci keberhasilan pengobatan.
Ada 5 (lima) komponen yang dapat diterapkan dalam
penatalaksanaan asma, yaitu:
1. KIE dan hubungan dokter-pasien
2. Identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor
risiko
3. Penilaian, pengobatan dan monitor asma
4. Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut
5. Keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes
melitus, dll.
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma klasifikasikan
menjadi: 1) Penatalaksanaan asma akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan
asma jangka panjang.
1.
Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Serangan akut adalah episodik perburukan pada
asma yang harus diketahui oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan
oleh pasien di rumah (lihat bagan 1), dan apabila tidak ada perbaikan segera ke
fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan
derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan
termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk
selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat. Pada
serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :
a. Bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)
b. Kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2
agonis kerja cepat yang sebaiknya diberikan dalam
bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada
dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.
Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat
sebelumnya) kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu
singkat 3- 5 hari.
Pada serangan sedang diberikan β2
agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan
ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip). Pada anak belum
diberikan ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila diperlukan
dapat diberikan oksigen dan pemberian cairan IV.
Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen,
cairan IV, β2 agonis kerja cepat ipratropium
bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau drip).
Apabila β2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat
digantikan dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang mengancam jiwa
langsung dirujuk ke ICU. Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam
bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT
(MDI) dengan alat bantu (spacer).
2. Penatalaksanaan
asma jangka panjang
Penatalaksanaan
asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah serangan.
Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma.
Prinsip
pengobatan jangka panjang meliputi: 1) Edukasi; 2) Obat asma (pengontrol dan
pelega); dan Menjaga kebugaran.
a.
Edukasi
Edukasi yang diberikan mencakup :
1)
Kapan pasien
berobat/ mencari pertolongan
2)
Mengenali gejala
serangan asma secara dini
3)
Mengetahui
obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya
4)
Mengenali dan
menghindari faktor pencetus
5)
Kontrol teratur
b. Obat asma
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat
pelega diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan
untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus
menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti inflamasi (kortikosteroid
inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan
kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah
terkontrol.
Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :
1)
Inhalasi
kortikosteroid
2)
β2 agonis kerja
panjang
3)
Antileukotrien
4)
Teofilin lepas
lambat
Tabel
1. Jenis Obat Asma
Jenis obat
|
Golongan
|
Nama generic
|
Bentuk/kemasan obat
|
Pengontrol
(Antiinflamasi)
Pelega
(Bronkodilator)
|
Steroid inhalasi
Antileukokotrin
Kortikosteroid sistemik
Agonis beta-2
kerjalama
kombinasi steroid dan
Agonis beta-2
kerjalama
Agonis beta-2 kerja cepat
Antikolinergik
Metilsantin
Kortikosteroid sistemik
|
Flutikason propionat
Budesonide
Zafirlukast
Metilprednisolon
Prednison
Prokaterol
Formoterol
Salmeterol
Flutikason +Salmeterol.
Budesonide + formoterol
Salbutamol
Terbutalin
Prokaterol
Fenoterol
Ipratropium bromide
Teofilin
Aminofilin
Teofilin lepas lambat
Metilprednisolon
Prednison
|
IDT
IDT, turbuhaler
Oral(tablet)
Oral(injeksi)
Oral
Oral
Turbuhaler
IDT
IDT
Turbuhaler
Oral, IDT, rotacap
solution
Oral, IDT, turbuhaler,
solution, ampul (injeksi)
IDT
IDT, solution
IDT, solution
Oral
Oral, injeksi
Oral
Oral, inhaler
Oral
|
IDT : Inhalasi dosis terukur = Metered dose
inhaler/MDI, dapat digunakan bersama dengan spacer
Solution: Larutan
untuk penggunaan nebulisasi dengan nebuliser
Oral :
Dapat berbentuk sirup, tablet
Injeksi
: Dapat untuk penggunaan subkutan, im
dan iv
Selain edukasi dan obat-obatan diperlukan juga menjaga
kebugaran antara lain dengan melakukan senam asma. Pada dewasa, dengan Senam
Asma Indonesia yang teratur, asma terkontrol akan tetap terjaga, sedangkan pada
anak dapat menggunakan olahraga lain yang menunjang kebugaran.
Dengan melaksanakan ketiga hal diatas diharapkan tercapai
tujuan penanganan asma, yaitu asma terkontrol. Berikut adalah ciri-ciri asma
terkontrol, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol (tabel 2).
Tabel 2. Ciri-ciri Tingkatan Asma
Tingkatan Asma Terkontrol
|
|||
Karakteristik
|
Terkontrol
|
Terkonrol
Sebagian
|
Tidak
Terkonrol
|
Gejala harian
|
Tidak ada (dua kali atau kurang perminggu)
|
Lebih dari dua kali seminggu
|
Tiga atau lebih gejala dalam kategori Asma Terkontrol Sebagian, muncul
sewaktu – waktu dalam seminggu
|
Pembatasan aktivitas
|
Tidak ada
|
Sewaktu-waktu dalam seminggu
|
|
Gejala nokturnal/gangguan tidur (terbangun)
|
Tidak ada
|
Sewaktu – waktu dalam seminggu
|
|
Kebutuhan akan reliever atau
terapi rescue
|
Tidak ada (dua kali atau kurang dalam seminggu)
|
Lebih dari dua kali seminggu
|
|
Fingsi Paru (PEF atau
FEV1*)
|
Normal
|
< 80% (perkiraan atau dari kondisi terbaik bila diukur)
|
|
Eksaserbasi
|
Tidak ada
|
Sekali atau lebih dalm setahun**)
|
Sekali dalam seminggu***)
|
Keterangan :
*) Fungsi paru
tidak berlaku untuk anak-anak di usia 5 tahun atau di bawah 5 tahun
**) Untuk semua
bentuk eksaserbasi sebaiknya dilihat kembali terapinya apkah benar-benar
adekwat
***) Suatu
eksaserbasi mingguan, membuatnya menjadi asma takterkontrol
Sumber :
GINA 2006
2.8 Komplikasi
Keto
Bapada (2011), menjelaskan bahwa komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit
Asma, yaitu : Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama,
maka akan terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks, yaitu
toraks membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat
diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan
kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung
dara (pektus karinatum/piegon chest) dan tampak sulkus Harrison. Bila sekret
banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi
atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Mediastinum tertarik ke arah
atelektasis. Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah menjadi
bronkiaktasis, dan bila ada infeksi akan terjadi bronkopneumonia. Serangan asma
yang terus-menerus dan berlangsung beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi
dengan obat-obatan, yang biasa disebut status asmatikus, bila tidak ditolong
dengan semestinya dapat menyebabkan kematian, kegagalan pernapasan, dan
kegagalan jantung.
Keadaaan
rujukan :
1.
Respons
bronkodilator tidak segera , ada tapi kurang dari 3 jam.
2.
Setelah pemberian
kortikosteroid tidak ada perbaikan dalam 2-6 jam.
3.
Pulsus paradoksus > 155 mmHg.
4.
Saturasi O2 < 91 %.
5.
Dispnea berat.
6.
Sianosis.
7.
Kesadaran menurun
2.9 Prognosis
Rhezvolution,
(2009), menjelaskan bahwa mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran
yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari
populasi berisiko yang berjumlah kira-kira 10 juta. Namun, angka kematian
cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.
Informasi
mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada
50 sampai 80 persen pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan timbul
pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma 7 sampai 10 tahun
setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26 sampai 78 persen, dengan nilai
rata-rata 46 persen; akan tetapi persentase anak yang menderita penyakit yang
berat relative rendah (6 sampai 19 persen).
Tidak
seperti penyakit saluran napas yang lain seperti bronchitis kronik, asma tidak
progresif. Walaupun ada laporan pasien asma yang mengalami perubahan fungsi
paru yang irreversible, pasien ini seringkali memiliki tangsangan komorbid
seperti perokok sigaret yang tidak dapat dimasukkan salam penemuan ini. Bahkan
bila tidak diobati, pasien asma tidak terus menerus berubah dari penyakit yang
ringan menjadi penyakit yang berat seiring berjalannya waktu. Beberapa
penelitian mengatakan bahwa remisi spontan terjadi pada kira-kira 20 persen
pasien yang menderita penyakit ini di usia dewasa dan 40 persen atau lebih
diharapkan membaik dengan jumlah dan beratnya serangan yang jauh berkurang
sewaktu pasien menjadi tua.
2.10 Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Hal-hal
yang perlu dikaji pada pasien asma adalah sebagai berikut:
a.
Riwayat
kesehatan yang lalu :
1)
Kaji riwayat pribadi atau keluarga
tentang penyakit paru sebelumnya.
2)
Kaji riwayat reaksi alergi atau
sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan.
3)
Kaji riwayat pekerjaan pasien.
b.
Breathing (B1)
1)
Dipsnea pada saat istirahat atau respon
terhadap aktivitas atau latihan.
2)
Napas memburuk ketika pasien berbaring
terlentang ditempat tidur.
3)
Menggunakan obat bantu pernapasan,
misalnya: meninggikan bahu, melebarkan hidung.
4)
Adanya bunyi napas mengi.
5)
Adanya batuk berulang.
c. Blood (B2)
1) Adanya
peningkatan tekanan darah.
2) Adanya
peningkatan frekuensi jantung.
3) Warna
kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
4) Kemerahan
atau berkeringat.
d. Brain (B3)
1) Compos mentis
2) Ansietas.
3) Ketakutan.
4) Peka
rangsangan.
5) Gelisah
e. Bladder
(B4)
Tidak mengalami gangguan
f. Bowel (B5)
1) Ketidakmampuan
untuk makan karena distress pernapasan.
2) Penurunan
berat badan karena anoreksia.
g. Bone (B6)
1)
Ketidakmampuan melakukan aktivitas
karena sulit bernapas.
2)
Adanya penurunan kemampuan/peningkatan
kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari.
3)
Tidur dalam posisi duduk tinggi.
h. Hubungan
sosal
1) Keterbatasan
mobilitas fisik.
2) Susah
bicara atau bicara terbata-bata.
3) Adanya
ketergantungan pada orang lain.
i. Seksualitas
Penurunan libido
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut
Dongoes (1999), resiko (kemungkinan) diagnosa yang umum pada pasien dengan asma
bronchiale, antara lain :
a.
Bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan akumalasi secret.
b.
Pola nafas inefektif berhubungan dengan
dyspnoe.
c.
Perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan anoreksia.
d.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan
ketidakadekuatnya system imunitas.
e.
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan
kelemahan.
f.
Kecemasan berhubungan dengan perubahan
status kesehatan.
g.
Perubahan kebutuhan istirahat tidur berhubungan dengan
stimulasi pada RAS.
h.
Kurang pengetahuan tentang penyakit yang
diderita berhubungan dengan kurangnya informasi.
3. Intervensi Keperawatan
No
|
Diagnosa Kepetawatan
|
Perencanaan
|
||
Tujuan Dan Kriteria Standar
|
Intervensi
|
Rasional
|
||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1.
|
Bersihan jalan nafas tidak efektif
|
Pasien akan mampu menunjukan
jalan nafas efektif setelah dilakukan tindakan dengan kriteria hasil :
1.
Sesak berkurang/hilang
2.
Pernafasan teratur
frekuensi 16 – 20 x/m
3.
Sputum tidak ada
4.
Tidak ada batuk
5.
Tidak ada wheesing
|
1.
Kaji dan Observasi suara
nafas
2.
Observasi frekuensi
pernafasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi.
3.
Ajarkan teknik batuk
efektif
4.
Atur posisi semifowler
5.
Ajarkan pasien untuk
mempertahankan kebersihan lingkungan dari debu, asap, bulu bantal yang
berhubungan dengan kondisi individu
|
1.
1. Berguna untuk mengetahui bunyi nafas
2.
Nafas dapat lambat dan
frekuensi ekspirasi lebih panjang dibandingkan inspirasi.
3.
Mengelurkan sputum
4.
Peningkatan kepala dapat
mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan grafitasi
5.
Pencetus tipe reaksi
alergi pernafasan akut.
|
2.
|
Pola nafas inefektif berhubungan dengan dyspnoe/sesak nafas
|
Pasien menunjukkan, pola nafas
baik dengan kriteria hasil :
1.
Tidak Sesak
2.
Frekuensi pernapasan
normal (16/20 X/m)
3.
Pasien Tenang
|
1.
Observasi karakteristik
pernafasan pasien
2.
Berikan oksigen sesuai
kebutuhan
3.
Auskultasi bunyi nafas
catat penurunan aliran udara dan bunyi tambahan
|
1.
Berguna dalam evaluasi
derajat di stress pernapasan atau kronisnya proses penyakit
2.
Pengiriman oksigen dapat
diperbaiki dengan pemberian oksigenisasi
3.
Kental, tebal dan
banyaknya sekresi adalah sumber utama gangguan pola nafas
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|
|
|
4.
Observasi tingkat
kesadaran, status mental
5.
Anjurkan pasien untuk
membatasi pergerakkannnya
6.
Anjurkan pasien untuk tidak
stress dan gelisah
|
4.
Bunyi nafas mungkin
redup karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi
5.
Selama distres
pernapasan berat / akut pasien secara total tak mampu melakukan aktivitas
sehari –hari karena dispnea
6.
Gelisah dan ansietas
adalah manifestasi umum pada hipoksia, dan bisa memperburuk penyakit
|
3.
|
Pemenuhan Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia
|
Pasien menunjukkan kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria
hasil :
1.
BB dalam batas normal
2.
Tidak ada tanda – tanda
ma nutrisi
3.
Nafsu makan baik
|
1.
Kaji kebiasaan diet,
masukan makanan saat ini
2.
Auskultasi bunyi usus
3.
Berikan perawatan oral
4.
Anjurkan keluarga
menyediakan makanan porsi kecil tapi sering.
5.
Anjurkan pasien dan
keluarga untuk menghindari makanan yang mengandung gas
6.
Kolaborasi pemberian
multivitamin
|
1.
Pasien distres pernapasan
barat/akut pasien secara total tak mampu melakukan aktivitas sehari – hari
karena dispnea
2.
Penurunan/hipoaktif
bising usus menunjukkan penurunan lambung pemasukan makanan, penurunan
aktivitas.
3.
Rasa tidak enak, bau dan
penampilan adalah mencegah utama terhadap nafsu makan
4.
Membantu menurunkan
kelemahan selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan
masukan kalori total
5.
Dapat menghasilan
distensi abdomen dan gerakan diafragma dan dapat meningkatkan spasme batuk
6.
Berguna untuk
meningkatkan nafsu makan
|
|
|
|
|
||
|
|
|
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
4
|
Resiko tinggi infeksi
|
Pasien menunjukan tidak terjadi infeksi dapat dengan kriteria hasil:
1.
Tidak ada tanda-tanda
infeksi
2.
Tanda-tanda vital dalam
batas normal
|
1.
observasi suhu
2.
Kaji penting latihan
napas, batuk efektif, perubahan posisi sering dan masukkan cairan adekuat
3.
Observasi warna,
karakter, bau sputum
4.
Tunjukkan dan bantu
pasien tentang pembuangan tisu dan sputum
5.
Awasi pengunjung,
berikan masker sesuai indikasi
6.
Dorong keseimbangan
antara aktivitas dan istirahat
7.
Diskusi kebutuhan
masukkan nutrisi adekuat
|
1.
Demam dapat terjadi
karena infeksi atau dehidrasi
2.
Aktivitas ini
meningkatkat mobilitas dan pengeluaran sekret untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi paru
3.
Sekret berbau kuning
atau kehijauan menunjukkan adanya infeksi paru
4.
Mencegah penyebaran
potongan melalui cairan
5.
Menurunkan penyebab
infeksi
6.
Menurunkan konsumsi /
kebutuhan pasien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan
7.
Malnutrisi dapat
mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan ketahanan tubuh terhadap infeksi
|
5.
|
Intoleransi Aktivitas
|
Pasien akan mampu melakukan aktivitas seoptimal
setelah dilakukan tindakan dengan kriteria hasil :
Pasien dapat melakukan aktivitas secara mandiri dan bertahap
|
1.
Kaji
kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas
2.
Berikan
obat sesuai indikasi
3.
Anjurkan
pasien untuk menghentikan aktivitas jika masih lemah dan pusing
|
1.
Mempengaruhi
pilihan `bantuan
2.
Membantu
tidak terjadi kelemahan fisik berkepanjangan
3.
Dapat
menimbulkan Dispnea
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6.
|
Kecemasan
|
Pasien akan mampu menunjukkan
kecemasan berkurang dengan kriteria hasil :
1.
Pasien
tidak menunjukkan tanda – tanda stress
2.
Keluarga
ikut berpartisipasi dalam perawatan
3.
Pasien
menunjukan rasa nyaman
|
1.
Kaji
tingkat kecemasan pasien
2.
Berikan
penjelasan tentang penyebab penyakitnya
3.
Anjurkan
pasien mengungkapkan kecemasan
4.
Jelaskan
semua prosedur yang dilakukan
|
1.
Mengatasi
sejauh mana kecemasan pasien terhadap penyakit yang diderita
2.
Mengurangi
jumlah stressor dengan menambah pengetahuan pasien
3.
Perasaan
yang di miliki pasien perlu diketahui sehingga pasien merasa ada yang
memperhatiakan pasien
4.
Mengurangi
kecemasan pasien
|
7.
|
Perubahan Kebutuhan Istirahat
dan Tidur
|
Pasien akan mampu menujukkan kebutuhan istirahat dan tidur
terpenuhi dengan kriteria hasil :
1.
Pasien
dapat tidur dan istirahat
2.
Pasien
tampak lebih segar
|
1.
Tentukan
kebiasaan tidur biasanya dan perubahan yang terjadi
2.
Atur
posisi tidur yang menyenangkan
3.
Anjurkan
agar tidak mengunjungi pasien di luar jam besuk
|
1.
Meningkatkan
kenyamanan tidur
2.
Adanya
peningkatkan kebutuhan tidur
3.
Menghindari
kebisingan
|
8.
|
Kurang Pengetahuan berhubungan
dengan kurangnya informasi
|
Pasien mampu menyeratakan pemahaman proses penyakit pengobatan
dan pontensial komplikasi
|
1.
Diskusi
obat pernapasan, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan
2.
Tunjukkan
teknik penggunaan dosis inhaler
3.
Sistem
alat yang mencatat obat interminten / penggunaan inhaler
4.
Anjurkan
menghindari agen sedative oksidan kecuali diresepkan oleh dokter mengobati
kondisi pernapasan
5.
Diskusi
faktor individu yang meningkatkan kondisi misalnya : udara terlalu kering,
serbuk, polusi
|
1.
Pasien
ini sering mendapat obat pernapasan bamyak sekaligus yang mempunyai efek
meningkatkan penggunaan keefektifannya
2.
Pemberian
yang tepat dan obat meningkatkan penggunaan keefektifannya
3.
Menurunkan
resiko penggunaan tak tepat kelebihan dosis dari obat kalau perlu
4.
Meskipun
pasien mungkin gugup dan merasa perlu sedative, ini dapat menekan pernafasan
dan melindungi mekanisme batuk
5.
Faktor
lingkungan ini dapat menimbulkan / meningkatkan iritasi dapat bronchiale
menimbulkan peningkatan produksi secret dan hambatan jalan nafas
|
|
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asma adalah suatu obstruksi jalan nafas yang bersifat revesibel, yang
mengalami gangguan pada saluran Bronchial
yang mempunyai cirri Bronkospasme periodic
terutama pada percabangan Trakeobronkhial
yang dapat di akibatkan oleh berbagai stimulus seperti
oleh faktor biokemikal, endokrin, infeksi,
otonomik, dan psikologi.
Penderita
asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non-imunologi. Oleh karena sifat inilah, maka serangan
asma mudah terjadi ketika ada rangsangan baik fisik, kimia, alergen, infeksi, dan sebagainya. Penderita asma perlu mengetahui dan
menghindari rangsangan atau factor pencetus yang dapat menimbulkan asma.
Untuk
menegakkan diagnosa Asma dapat diperoleh dari gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan radiologis, pemeriksaan laboratorium. Pengobatan Asma dapat
dilakukan dengan cara pemberian obat anti asma dan berkolaborasi dengan tim
medis dalam pemberian obat.
3.2 Saran
1.
Bagi mahasiswa semoga makalah ini dapat
membantu kita semua dalam berbagai ilmu pada proses pembelajaran.
2.
Diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan
asuhan keperawatan pada klien dengan asma.
3.
Bagi pembaca semua, diharapkan mampu
menambah wawasan kita semua tentang penerapan asuhan keperawatan pada klien
dengan asma.
OBAT ASMA
BalasHapusOBAT ASMA
OBAT ASMA
OBAT ASMA
OBAT ASMA
terima ksih infonya
OBAT ASMA
BalasHapusterima kasih infonya, sangat bermanfaat
I and my family are very helpful with the info from you. May we all succeed the Hereafter.
BalasHapusCara Cepat Mengecilkan Perut Buncit
Obat Benjolan Di Vagina
Obat Oles Tahan Lama
Sehat Itu Barokah