BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif
yang menyebabkan fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik
sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong,
2008). Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan
aliran empedu. Tindakan operatif atau bedah dapat dilakukan untuk
penatalaksanaannya. Pada lebih kurang 80% - 90% bayi dengan atresia biliaris
ekstrahepatik yang menjalani pembedahan ketika usianya kurang dari 10 minggu
dapat dicapai drainase getah empedu (Halamek dan Stevenson, 1997). Meski
demikian, sirosis yang progresif tetap terjadi pada anak, dan sampai 80% - 90%
kasus pada akhirnya akan memerlukan transplantasi hati (Andres, 1996).
Atresia bilier
ditemukan pada 1 dalam 10.000 kelahiran hidup dan 1 dalam 25.000 kelahiran
hidup. Tampaknya tidak terdapat predileksi rasial atau genetik kendati
ditemukan predominasi wanita sebesar 1,4:1 (McEvoy dan Suchy, 1996; Whitington, 1996). Di Belanda, dilaporkan kasus atresia
bilier sebanyak 5 dari 100.000 kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari 100.000
kelahiran hidup, di Inggris dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran hidup. Di Texas
tercatat 6.5 dari 100.000 kelahiran hidup, 7 dari 100.000 kelahiran hidup di
Australia, 7,4 dari 100.000 kelahiran hidup di USA dan dilaporkan terdapat 10,6
dari 100.000 kelahiran hidup di Jepang menderita atresia bilier. Dari 904 kasus
atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier di dapatkan pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%),
Asia (4,2%) dan Indian amerika (1,5%). Walau jarang namun jumlah penderita
atresia bilier yang ditangani RS. Cipto Mangun Kusumo (RSCM) pada tahun
2002-2003 tercatat mencapai 37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi berpenyakit
kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan di RSU Dr. Soetomo Surabaya
antara tahun 1999-2004 ditemukan dari 19.270 penderita rawat inap di Instalansi
Rawat Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi
hati didapatkan 9 (9,4%) menderita atresia bilier ( Widodo J, 2010).
Pada atresia
bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Atresia
bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam
maupun di luar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran
empedu ini tidak diketahui. Jika aluran empedu buntu, maka empedu akan menumpuk
di hati. Selain itu akan terjadi ikterus atau kuning di kulit dan mata akibat
tingginya kadar bilirubin dalam darah. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak
diobati bisa berakibat fatal atau sampai terjadi kematian.
Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier
sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-pontoeterostomi (operasi Kasai)
akan menurun bila dilakukan setelah umur 2 bulan. Bagi penderita atresia bilier
prosedur yang baik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke
usus. Selain itu, terdapat
beberapa intervensi keperawatan yang
penting bagi anak yang menderita atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua
aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan
harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera sesudah pembedahan
portoenterostomi, asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada setiap
pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian
obat dan terapi gizi yang benar, termasuk penggunaan formula khusus, suplemen
vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus mungkin
menjadi persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau tindakan
seperti mandi rendam atau memotong kuku jari-jari tangan (Donna L. Wong, 2008).
1.2
TUJUAN
1.1.1
Tujuan Umum
Dapat menganalisa asuhan
keperawatan pada klien dengan Atresia bilier
1.1.2
Tujuan Khusus
1. Menjelaskan
definisi dari Atresia bilier
2. Menjelaskan anatomi fisiologi dari Atresia bilier
3. Menjelaskan
etiologi
dari Atresia bilier
4. Menjelaskan
klasifikasi dari Atresia bilier
5. Menjelaskan
patofisiologi dari Atresia bilier
6. Menjelaskan
manifestasi klinis dari Atresia bilier
7. Menjelaskan komplikasi dari Atresia bilier
8. Menjelaskan
penatalaksanaan
medis dari Atresia bilier
9. Menjelaskan
pengkajian pada asuhan keperawatan klien Atresia bilier
10. Menjelaskan
diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan klien Atresia bilier
11. Menjelaskan
rencana tindakan/intervensi pada asuhan keperawatan Atresia bilier
12. Menjelaskan
kriteria hasil pada setiap diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan klien
Atresia bilier
1.3
MANFAAT
1.3.1
Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat lebih memahami
hal-hal yang berkaitan dengan Atresia bilier.
1.3.2
Bagi Perawat
Perawat atau tenaga kesehatan
memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang Atresia bilier sehingga dapat
melakukan asuhan keperawatan secara profesional.
BAB
II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang
merupakan
hasil dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada
ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi
satu komponen atau lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan
janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari
statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut
menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland, 2006)
Atresia Bilier (biliary atresia) adalah suatu
penghambatan di dalam pipa/ saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile)
dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi
kongenital, yang berarti
terjadi saat kelahiran. (http://pilihsehat.tk/.2010)
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan
lumen pada korda epitel yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini
bisa menyeluruh atau sebagian. (
Chandrasoma & Taylor,2005)
2.2 Anatomi Fisiologi
Gambar : System
Hepatic dan Bilier
a.
Anatomi
Sistem Biliary
Hati
terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga abdomen daerah
kanan atas. Hati memiliki berat sekitar 1500 gr, dan di bagi menjadi empat lobus.
Setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang membentang
ke dalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati menjadi unit-unit yang lebih kecil, yang
disebut lobulus.
Sirkulasi
darah ke dalam dan ke luar hati sangat penting dalam penyelenggaran fungsi
hati.
Saluran empedu terkecil
yang disebut kanalikulus terletak di antara lobulus hati. Kanalikulus menerima
hasil sekresi dari hepatosit yang membawanya ke saluran empedu yang lebih besar
yang akhirnya akan membentuk duktus hepatikus. Duktus hepatikus dari hati dan
duktus sistikus dari kandung empedu bergabung untuk membentuk duktus koledokus
(commom bile duct) yang akan mengosongkan isinya ke dalam intestinum. Aliran
empedu ke dalam intestinum di kendalikan oleh sfingter Oddi yang terletak pada
tempat sambungan (junction) di mana duktus koledokus memasuki duodenum.
Kandung
empedu (vesika felea), yang merupakan organ berbentuk sebuah pear, berongga dan menyerupai kantong
dengan panjang 7,5 hingga 10 cm, terletak dalam suatu cekungan yang dangkal
pada permukaan inferior hati dimana organ tersebut terikat pada hati oleh
jaringan ikat yang longgar. Kapasitas kandung empedu 30-50ml empedu. Dindingnya
terutama tersusun dari otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan duktus
koledokus lewat duktus sistikus.
a) Kandung
Empedu
Kandung empedu adalah sebuah kantung
berbentuk seperti buah pear, memiliki panjang 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml namun saat terdistensi
dapat mencapai 300 ml. Kandung empedu berlokasi di sebuah lekukan pada
permukaaan bawah hepar yang secara anatomi membagi hepar menjadi lobus kanan
dan lobus kiri. Kandung empedu dibagi menjadi 4 area secara anatomi yaitu
fundus, leher, corpus, dan infundibulum. Fundus berbentuk bulat dan ujungnya
1-2 cm melebihi batas hepar, strukturnya kebanyakan berupa otot polos, kontras dengan
korpus yang kebanyakan terdiri dari jaringan elastis. Leher biasanya membentuk
sebuah lengkungan, yang mencembung dan membesar membentuk Hartmann’s pouch.
Kandung empedu terdiri
dari epitel silindris yang mengandung kolesterol dan tetesan lemak. Mukus
disekresi ke dalam kandung empedu dalam kelenjar tubuloalveolar yang ditemukan
dalam mukosa infundibulum dan leher kandung empedu, tetapi tidak pada fundus
dan korpus. Epitel yang berada sepanjang kandung empedu ditunjang oleh lamina
propria. Lapisan ototnya adalah serat longitudinal sirkuler dan oblik, tetapi
tanpa lapisan yang berkembang sempurna. Perimuskular subserosa mengandung
jaringan penyambung, saraf, pembuluh darah, limfe dan adiposa. Kandung empedu
ditutupi oleh lapisan serosa kecuali bagian kandung empedu yang menempel pada
hepar. Kandung empedu dibedakan secara histologis dari organ-organ
gastrointestinal lainnya dari lapisan muskularis mukosa dan submukosa yang
sedikit.
Arteri sistika yang mensuplai kandung empedu biasanya
berasal dari cabang arteri hepatika kanan. Lokasi Arteri sistika dapat bervariasi namun hampir selalu di
temukan di segitiga hepatosistica, yaitu area yang dibatasi oleh Ductus
sistikus, Ductus hepaticus komunis dan batas hepar (segitiga Calot). Ketika
arteri sistika mencapai bagian leher dari kandung empedu, akan terbagi menjadi
anterior dan posterior. Aliran vena akan melalui vena kecil dan akan langsung
memasuki hepar, atau lebih jarang akan menuju vena besar sistika menuju vena
porta. Aliran limfe kandung empedu akan menuju kelenjar limfe pada bagian
leher.
Persarafan kandung empedu berasal dari
nervus vagus dan dari cabang simpatis melewati pleksus celiaca. Tingkat
preganglionik simpatisnya adalah T8 dan T9. Rangsang dari hepar, kandung
empedu, dan duktus biliaris akan menuju serat aferen simpatis melewati nervus
splanchnic memediasi nyeri kolik bilier. Cabang hepatik dari nervus vagus
memberikan serat kolinergik pada kandung empedu, duktus biliaris dan hepar.
b) Pembentukan
empedu
Empedu dibentuk secara
terus menerus oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam kanalikulus serta saluran
empedu. Empedu terutama tersusun dari air dan elektrolit, seperti natrium,
kalium, kalsium, klorida serta bikarbonat, dan juga mengandung dalam jumlah
yang berati beberapa substansi seperti lesitin, kolesterol, billirubin serta
garam-garam empedu. Empedu dikumpulkan dan disimpan dalam kandung empedu untuk
kemudian dialirkan ke dalam intestinum bila diperlukan bagi pencernaan. Fungsi
empedu adalah ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu
proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-garam empedu.
Garam-garam empedu
disintesis oleh hepatosit dari kolesterol. Setelah terjadi konjugasi atau
pengikatan dengan asam-asam amino (taurin dan glisin), garam empedu
diekskresikan ke dalam empedu. Bersama dengan kolesterol dan lesitin, garam
empedu diperlukan untuk emulsifikasi lemak dalam intestinum. Proses ini sangat
penting untuk proses pencernaan dan penyerapan yang efisien. Kemudian garam
empedu akan diserap kembali, terutama dalam ileum distal, ke dalam darah portal
untuk kembali ke hati dan sekali lagi diekskresikan ke dalam empedu. Lintasan
hepatosit empedu intestinum dan kembali lagi kepada hepatosit dinamakan
sirkulasi enterohepatik. Akibat adanya sirkulasi enterohepatik, maka dari
seluruh garam empedu yang masuk ke dalam intestinum, hanya sebagian kecil yang
akan diekskresikan ke dalam feses. Keadaan ini menurunkan kebutuhan terhadap
sintesis aktif garam empedu oleh sel-sel hati.
c) Ekskresi
Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen
yang berasal dari pemecahan hemoglobin
oleh
sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup se-sel Kupffer dari hati.
Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi kimia
mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukoronat yang membuat bilirubin
lebih dapat larut di dalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi
diekskresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu di dekatnya dan
akhirnya dibawa dalm empedu ke duodenum.
Dalam usus halus,
bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen yang sebagian akan diekskresikan
ke dalam feses dan sebagian lagi diabsorbsi lewat mukosa intestinal ke dalam daerah portal. Sebagian besar dari
urobilinogen yang diserap kembali ini dikeluarkan oleh hepatosit dan
diekskresikan sekali lagi ke dalam empedu (sirkulasi enterehepatik). Sebagian
urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan diekskresikan oleh ginjal ke dalam
urin. Eliminasi bilirubin dalam empedu menggambarkan jalur utama ekskresi bagi
senyawa ini.
Konsentrasi bilirubin
dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hati, bila aliran empedu
terhalang (yaitu, oleh batu empedu dalam saluran empedu) atau bila terjadi
penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan. Pada obstruksi saluran
empedu, bilirubin tidak memasuki intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen
tidak terdapat dalam urin.
d) Fungsi
Kandung Empedu
Kandung empedu
berfungsi sebagai depot penyimpanan bagi empedu. Di antara saat-saat makan,
ketika sfingter Oddi tertutup, empedu yang diproduksi oleh hepatosit akan
memasuki kandung empedu. Selama penyimpanan, sebagian besar air dalam empedu
diserap melalui dinding kandung empedu sehingga empedu dalam kandung empedu
lebih pekat lima hingga sepuluh kali dari konsentrasi saat diekskresikan
pertama kalinya oleh hati. Ketika makanan masuk ke dalam duodenum akan terjadi
kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi yang memungkinkan empedu
mengalir masuk ke dalam intestinum. Respon ini diantarai oleh sekresi hormon
kolesitokinin-pankreozimin (CCK-PZ) dari dinding usus.
b.
Sistem
Bilier terbagi atas :
1)
Intrahepatik
Sistem
biliaris Intrahepatik terdiri atas kanalikuli biliaris dan duktuli biliaris
intralobular. Duktus biliaris intrahepatik terdiri atas sel kuboid atau sel
epitel kolumnar. Bersama dengan bertambahnya jaringan konektif fibroelastis di
sekitar epitel, maka duktus semakin besar. Duktus yang terbesar mempunyai otot
polos pada dindingnya. Kanalikuli biliaris sebenarnya bukan merupakan suatu
duktus melainkan suatu dilatasi ruang interseluler antara hepatosit yang
berdekatan. Diameter lumen kanalikuli ini rata-rata 0,7 mm.
2)
Ekstrahepatik
Sistem
biliaris ekstrahepatik merupakan suatu saluran yang berada di dalam ligamentum
hepatoduodenale dan secara histologis terdiri atas sel epitel kolumnar tinggi
yang mensekresi mukus, selain itu juga terdapat jaringan konektif di bawah
epitel yang terdiri atas sejumlah serabut elastis, kelenjar mukus, pembuluh
darah dan saraf. Sistem biliaris extrahepatik terdiri
dari Ductus hepaticus kanan dan kiri, Ductus hepaticus komunis, Ductus systicus
dan Ductus koledokus, Ampula vateri dan Sfingter Oddi.
a) Duktus Hepatikus Kiri dan Kanan
Duktus hepatikus kiri dan kanan muncul
pada porta hepatika dari kanan dan kiri lobus hepar dan berbentuk huruf V.
Panjang dari duktus hepatis kiri dan kanan bervariasi antara 0,5-2,5 cm.
Biasanya duktus hepatis kiri lebih panjang dari kanan dan lebih mudah dilatasi
bila terjadi obstruksi di bagian distal.
b) Duktus Hepatikus Komunis
Duktus
Hepatikus komunis merupakan gabungan antara duktus hepatikus kiri dan kanan
dengan panjang sekitar 4 cm. Pada 95 % kasus, gabungan ini berada di luar
hepar, tepat di bawah dari porta hepatis. Pada 5% kasus, bergabung di dalam
hepar.
c) Duktus sistikus
Duktus
sistikus timbul di bagian leher vesika fellea dan bergabung dengan duktus
hepatika komunis. Panjang duktus sistikus bervariasi antara 0,5-0,8 cm dengan
diameter rata-rata 1-3 mm. Dalam duktus sistikus, mukosa membentuk 5-10 lipatan
seperti bulan sabit yang dikenal sebagai spiral valves of Heister.
Valvula ini berfungsi untuk menahan distensi yang berlebihan atau kolaps dari
vesika fellea dengan mengubah tekanan dalam duktus sistikus dan berfungsi dalam
menghambat masuknya batu empedu ke dalam duktus koledokus.
d) Duktus Koledokus
Duktus
koledokus terbentuk dari gabungan duktus sistikus dengan duktus hepatikus
komunis. Panjang duktus ini sekitar 7,5 cm, namun juga dapat bervariasi tergantung
dari panjang duktus sistikus dan duktus hepatikus komunis dengan diameter
sekitar 6 mm. Duktus koledokus dibagi dalam 4 segmen : supraduodenal,
retroduodenal, pankreatika dan intraduodenal. Segmen supraduodenal mempunyai
panjang 2,5 cm dan berada di batas kanan dari ligamentum hepatoduodenal, yaitu
pada bagian anterior dari vena porta dan sebelah kanan dari arteri hepatika
komunis ascendens. Segmen retroduodenal berada di posterior dari bagian pertama
duodenum dengan panjang sekitar 2,5 - 4 cm. Segmen ini berjalan sepanjang
permukaan inferior duodenum, kemudian berpindah dari kanan ke kiri dan berada
tepat di kanan dari arteri gastroduodenal. Segmen pankreatika dari duktus
koledokus memanjang dari batas bawah dari bagian awal duodenum ke dinding posteromedial
dari bagian kedua duodenum, dimana duktus masuk ke dalam dinding duodenum.
Segmen intraduodenal mempunyai panjang 2 cm dan berjalan miring sepanjang
dinding duodenum bersama dengan duktus pankreatikus.
e) Ampula vateri
Ampula
vateri terbentuk dari pertemuan antara duktus koledokus dengan duktus
pankreatikus. Panjang ampula ini bervariasi, ditemukan panjangnya lebih dari 2
mm pada 46 % kasus, sedangkan kurang dari 2 mm pada 32 % kasus dan tidak ada
pertemuan antara duktus pankreatika dengan duktus koledokus pada 29 % kasus.
f) Sphingter Oddi
Pada
segmen intraduodenal dari duktus koledokus dan ampula dikelilingi oleh lapisan
serabut otot polos yang dikenal sebagai Sphingter of Oddi. Sfingter
ini merupakan kelompok serabut otot yang berada pada dinding duktus koledokus.
Pengaturan dari aliran empedu utamanya dikontrol oleh sfingter ini dan terjadi
relaksasi sfingter akibat stimulasi kolesistokinin dan parasimpatis.
c. Sistem Vaskularisasi
Duktus
biliaris ekstrahepatik mendapat vaskularisasi dari beberapa tempat,
diantaranya; Duktus hepatis dan segmen supraduodenal dari duktus koledokus
mendapat aliran darah dari cabang kecil arteri sistikus. Bagian retroduodenal
dari duktus koledokus disuplai oleh cabang retroduodenal dan posterosuperior
dari arteri pankreatikoduodenal. Segmen pankreatika dan intraduodenal
divaskularisasi oleh arteri pankreatikoduodenal bagian anterior dan
posterosuperior.
2.3
Etiologi
·
Belum
diketahui secara pasti
·
Kemungkinan
infeksi virus dalam intrauterine (Rubela, Torch)
2.4
Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia bilier tidak diketahui
sekalipun mekanisme imun atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif
yang menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa
atresia bilier tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir (Halamek dan
Stefien Soen, 1997). Keadaan ini menunjukan bahwa atresia bilier terjadi pada
akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu
beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif dengan
menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik atau
ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik
menyebabkan obstruksi aliran normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus
akhirnya akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati
menjadi fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus
biliaris yang menimbulkan ikterus dan duktus didalam lobus hati yang
meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi
bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi bilier menyebabkan akumulasi garam empedu di
dalam darah sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak
adanya empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi
sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh pada anak
(Parakrama, 2005).
2.5 Klasifikasi Atresia Billier
Menurut
anatomis atresia billier ada 3 tipe:
§ Tipe I Atresia sebagian atau
totalis yang disebut duktus hepatikus komunis, segmen proksimal paten
§ Tipe IIa Obliterasi duktus
hepatikus komunis (duktus billiaris komunis, duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya)
§ Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus
hepatikus komunis, duktus sistikus, kandung empedu normal
§ Tipe III Obliterasi pada semua
system duktus billier ekstrahepatik sampai ke hilus
Tipe
I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable) sedangkan
tipe III adalah bentuk atresia yang tidak dapat di operasi (non correctable),
bila telah terjadi sirosis maka dilakukan transpalantasi hati.
Gambar Klasifikasi Atresia Bilier
2.6
Manifestasi
Klinis
1. Warna
tinja pucat, terhambatnya aliran empedu untuk mengakut garam empedu yang
diperlukan untuk mencerna lemak dalam usus halus dimana fungsi empedu adalah
mengekresikan bilirubin dan membantu proses pencernaan melalui emulsifikasi
lemak oleh garam empedu
2. Asites
3. Spenomegali
4. Distensi
abdomen
5. Hepatomegali
6. Pruritus,
akibatnya adanya obstruksi pada saluran empedu maka terjadi resistensi garam
empedu
7. Jaundice
dalam 2 minggu sampai 2 bulan
(kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat > 5 mg/dl dalam 24 jam, kadar
bilirubin serum > 12 mg/dl pada bayi cukup bulan serta > 15 mg/dl pada
bayi premature pada minggu pertama kehidupan), karena
obtruksi pengaliran getah empedu dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang
khas yaitu getah empedu tidak dibawa ke duodenum tapi di serap oleh darah dan
penyerapan empedu ini akan menyebabkan kulit dan membrane mukosa berwarna
kuning
8. Letargi
9. Urine
berwarna gelap, sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan di
ekresikan ginjal ke dalam urine pada obstruksi saluran empedu bilirubin tidak
memasuki intestinum sehingga urobilinogen tidak terdapat dalam urine
10. Bayi
tidak mau minum dan lemah
11. Mual
muntah
2.7
Penatalaksanaan
1. Medik
a) Terapi
medikamentosa yang bertujuan untuk:
·
Memperbaiki aliran bahan-bahan yang
dihasilkan oleh hati terutama asam empedu dengan memberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2
dosis peroral misal : luminal
·
Melindungi hati dari zat dari zat toksik
dengan memberikan asam
ursodeoksikolat 310 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis peroral misal : urdafalk
b) Terapi
nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin yaitu:
·
Pemberian makanan yang mengandung middle chain triglycerides(MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak. Contoh : susu pregestinil dan pepti yunior
·
Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.
·
Dan pembedahan itu untuk menghasilkan
drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3
bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
c) Terapi
Bedah
Setelah diagnosis
atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan intervensi bedah
Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable yaitu tipe I dan II. Pada
atresia bilier yang Non Correktable terlebih dahulu dilakukan laparatomi
eksplorasi untuk menentukan potensi duktus bilier yang ada di daerah hilus hati
dengan bantuan Frozen section. Bila
masih ada duktus bilier yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus
bilier yang paten tetap dikerjakan operasi kasai dengan tujuan untuk
menyelamatkan penderita (tujuan jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan
transplantasi
hati (tujuan jangka panjang). Pembedahan
itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan
dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif
dapat dikurangi.
d) Pemeriksaan
diagnostik
·
Darah lengkap dan fungsi hati
Pada pemeriksaan
laboratorium ini menunjukkan adanya hiperbilirubinemia direk, serta peningkatan kadar serum
transaminase, fosfatase
alkali, dan gamma glutamil transpeptidase
yang dapat membantu diagnosis atresia bilier pada tahap awal.
·
Pemeriksaan urine
Pemeriksaan
urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus, tetapi urobilin dalam urine
negative, hal
ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
·
Pemeriksaan feces
Warna tinja pucat
karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin dalam tinja berkurang karena
adanya sumbatan.
·
Biopsi hati
Untuk mengetahui
seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan dengan pengambilan jaringan
hati.
·
USG abdomen
Menunjukkan kandung
empedu yang kecil atau tidak sama sekali,
adanya
tanda Triangular cord sangat sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.
2. Keperawatan
Terdapat
beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia
bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar
pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota
keluarga pasien. Segera pembedahan portoenterestomi asuhan keperawatannya
serupa dengan yang dilakukan pada setiap pembedahan abdomen yang berat.
Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat dan terapi gizi yang benar
termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin serta mineral, terapi
nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus menjadi persoalan signifikan namun
dapat dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi rendam dan memotong
kuku jari tangan.
Anak-anak dan
keluarga memerlukan dukungan psikososial khusus. Prognosis yang tidak pasti,
gangguan rasa nyaman, dan penantian untuk tranpalantasi dapat menimbulkan
stress yang cukup besar. Perawatan yang lama di rumah sakit, terapi
farmakologis dan nutrisi dapat membawa beban financial yang besar pada
keluarga.
2.8 Komplikasi
·
Cirosis
Terjadi akibat obstuksi
beliar yang kronis dan infeksi ( konlongitis ) dan berakibat terjadinya
jaringan parut disekitar
hati dan empedu
·
Gagal Hati
Gangguan fungsi hati
yang tampak adalah terjadinya pruritus akibat retensi garam- garam empedu
·
Gagal tumbuh
Penurunan imunitas
serta penyerapan nutrisi
penting serta tingginya motebolisme pada atresia mengakibatkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan anak
·
Hipertensi Portal
Aliran darah yang
melewati hati terganggu ( rusak ) meningkatkan tekanan darah yang melewati vena
vortal , diikuti oleh penumpukan cairan dirongga abdomen mengakibatkan volume
intravena menurun dan ginjal melepas renin yang meningkatkan skeresi hormon
aldesteron oleh kelenjar adrenal yang selanjutnya membuat ginjal menahan
natriun dan air dalam upaya unruk menggembalikan volume intravaskuler dalam
keadaan normal.
·
Varisis Esofagus
Berkaitan dengan peningkatan vena portal darah dari
taraktus intestinal dan limpa akan mencari jalan keluar melalui sirkulasi
kolateral (lintasan baru untuk kembali keatrium kanan) akibat peningkatan
tekanan khususnya dalam pembuluh darah pada lapisan sub mukosa esophagus bagian
bawah dan lambung bagian atas, pembuluh pembuluh kolateral ini tidak begitu
elastic 9 rapuh dan mudah
mengalami perdarahan.
2.9 Prognosis
Artesia
biliear yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan sisrosis progresif
dan kematian pada sebagian besar anak usia dua tahun. Prosedur kasai
benar-benar dapat memperbaiki prognosis namun bukan tindakaan yang
menyembuhkan. Kerap kali drainase getah empedu dapat dicapai jika pembedahan
dilakukaan sebelum saluran empedu intrahepatik mengalami kerusakan yang
biasanya terjadi pada usia 8 tahun.
Bila oprasi
dilakukan pada usia kurang dari 8 minggu maka angka keberhasilannya 71-86%,
sedangkan bila operasi dilakukan pada usia lebih dari 8 minggu maka angka
keberhasilanya hanya 34-43,6 %.
Bila operasi
kasai dilakukan pada usia 1-60 hari, 61-70 hari, 71-90 hari, dan lebih dari 90
hari maka masing-masing akan emberikan keberhasilan hidup sebesar 73%, 35%,23%,
dan 11%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan maka angka keberhasilan hidup 3
tahun hanya 10 %, dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Jadi
factor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan
operasi lebih dari 60 hari. ( Wong, Donna L.2008)
BAB
III
ASUHAN KEPERAWATAN
1.1
PENGKAJIAN
a. Biodata : Usia bayi, jenis kelamin
b. Keluhan
utama : jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan
c. Riwayat
penyakit dahulu : apakah ibu pernah terinfeksi virus seperti rubella
d. Riwayat
penyakit sekarang : jaundice, tinja warna pucat, distensi abdomen,
hepatomegali, lemah, pruritus, bayi tidak mau minum, letargi
e. Pemeriksaan
Fisik
1. BI
: sesak nafas, RR meningkat
2. B2:
takikardi, berkeringat, kecenderungan perdarahan (kekurangan vitamin K)
3. B3:
gelisah atau rewel
4. B4:
urine warna gelap dan pekat
5. B5:
distensi abdomen, kaku pada kuadran kanan, asites, feses warna pucat,
anoreksia, mual, muntah, regurgitasi berulang, berat badan menurun, lingkar perut 52 cm
6. B6:
ikterik pada sclera kulit dan membrane mukosa, kulit berkeringat dan
gatal(pruritus), oedem perifer, kerusakan kulit, otot lemah
f. Pemeriksaan
Penunjang
1. Laboratorium
§ Bilirubin
direk dalam serum meninggi
§ nilai
normal bilirubin total < 12 mg/dl
§ Bilirubin
indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu
yang luas
§ Tidak
ada urobilinogen dalam urine
§ Pada
bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-20
kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid
trigiliserol)
2. Pemeriksaan
diagnostik
§ USG
yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra hepatic
(dapat berupa dilatasi kristik saluran empedu)
§ Memasukkan
pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di aspirasi. Jika
tidak ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
§ Sintigrafi
radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi empedu dan
mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak
ditemukan empedu di duodenum, maka dapat
berarti terjadi katresia intra hepatik
§ Biopsy
hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung
empedu mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas
1.2
Diagnosa
Keperawatan
1. Kekurangan
volume cairan berhubungan dengan absorbsi nutrient yang buruk, mual muntah
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia, mual muntah
3. Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan
dtandai dengan adanya pruritus
4. Risiko
perubahan pertumbuhan dan perkembangan (gagal tumbuh) berhubungan dengan
penyakit kronis
5. Risiko
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen
1.3
Intervensi Keperawatan
DX
|
Tujuan
|
Tindakan
|
Rasional
|
I
|
Bayi akan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit yang
ditandai dengan pengisian kembali dengan kapiler kurang dari 3 detik, turgor
kulit baik, produksi urine 1-2ml/kgBB/jam
|
ü
Memantau asupan dan cairan bayi perjam(cairan infuse, susu per NGT,
atau jumlah ASI yang diberikan, (timbang popok)
ü
Periksa feses tiap hari
ü
Memantau lingkar perut bayi setiap hari
ü
Observasi tanda-tanda dehidrasi (oliguria, kuilt kering, turgor kulit
buruk, ubun-ubun dan mata cekung
ü
Kolaborasi untuk pemeriksaan elektrolit, kadar protein total, albumin,
nitrogen urea darah dan kreatinin serta darah lengkap
|
ü
Memungkinan evaluasi keseimbangan cairan bayi dan tindakan lebih
lanjut
ü
Mengetahui kadar PH feces untuk menentukan absorbsi lemak dan
karbohidrat bayi. (PH normal 7-7,5)
ü
Untuk mendeteksi asites
ü
Tanda dehidrasi mengindikasikan intervensi segera dalam mengatasai
kekurangan cairan pada bayi
ü
Mengevaluasi keseimbangan dan elektrolit
|
II
III
|
Bayi akan menunjukkan peningkatan berat badan progresif mencapai
tujuan dengan nilai laboratorium normal
Bayi akan mempertahankan kelembapan kulit yang ditandai dengan kulit
tidak kering, tidak ada pruritus, jaringan kulit utuh dan bebas lecet
|
ü
Ukur masukan diet harian (MCT)
ü
Timbang sesuai indikasi. Bandingkan perubahan status cairan, riwatyat
berat badan
ü
Berikan perawatan mulut sering
ü
Mandikan dengan air hangat sehari dua kali dan di olesi baby cream
ü
Pertahankan sprei kering dan bersih
ü
Rubah posisi tidur sesuai jadwal
ü
Gunting kuku jari hingga pendek, berikan sarung tangan bila
memungkinkan
ü
Berikan obat sesuai indikasi (antihistamin)
|
ü
Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan/defisiensi
ü
Mungkin sulit untuk menggunakan berat badan sebagai indicator langsung
status nutrisi karena ada gambaran edema/asites
ü
Pasien cenderung mengalami luka/perdarahan gusi dan rasa tak enak pada
mulut dimana menambah anoreksia
ü
Mencegah kulit kering berlebihan dan memberikan penghilang rasa gatal
ü
Kelembapan meningkatkan pruritus dan resiko kerusakan kulit
ü
Pengubahan posisi menurunkan tekanan pada jaringan dan untuk
memperbaiki sirkulasi
ü
Mencegah dari cidera tambahan pada kulit khususnya bila tidur
ü
Antihistamin dapat mengurangi rasa gatal
|
IV
|
Bayi akan bertumbuh dan berkembang secara normal yang ditandai dengan
mencapai tahap pertumbuhan dan perkembangan yang sesuai
|
ü
Berikan stimulus pada bayi yang menekankan pencapaian keterampilan
motorik kasar
ü
Jelaskan pada orangtua bahwa bayi mereka dapat saja tidak mencapai tahap-tahap penting
perkembangan dengan kecepatan yang sama seperti pada bayi sehat
ü
Sedapat mungkin lakukan intervensi secara berkelompok
|
ü
Stimulasi bayi yang terencana membantu tahap-tahap penting dalam
perkembangan dan membantu orangtua memiliki ikatan dengan bayi
ü
Dapat menghilangkan stress pada orangtua yang menghadapi masalah dan
memberikan informasi penting tentang cara-cara menstimulasi perkembangan
ü
Mengelompokkan intervensi memungkinkan bayi beristirahat tanpa
gangguan, istirahat diperlukan untuk tahap tumbuh kembang bayi
|
V
|
Bayi akan mempertahankan pola nafas efektif, bebas dispneu dan
sianosis, dengan nilai GDA dan kapasitas vital dalam rentang normal
|
ü
Awasi frekuensi, kedalaman, dan upaya pernafasan
ü
Auskultasi bunyi nafas krekles, mengi dan ronchi
ü
Observasi perubahan tingkat kesadaran
ü
Berikan posisi kepala bayi lebih tinggi
ü
Berikan tambahan O2 sesuai indikasi
ü
Kolaborasi untuk pemeriksaan GDA
|
ü
Pernafasan dangkal, cepat/dispneu mungkin ada hubungan hipoksia atau
akumulasi cairan dalam abdomen
ü
Menunjukan terjadinya komplikasi (contoh adanya bunyi tambahan
menunjukan akumulasi cairan/sekresi) meningkatkan resiko infeksi
ü
Perubahan mental dapat menunjukkan hipoksia dan gagal nafas
ü
Memudahkan pernafasan dengan menurunkan tekanan pada diagfragma
ü
Untuk mencegah hipoksia
ü
Mengetahui perubahan status pernafasan dan terjadinya komplikasi paru
|
BAB
IV
PENUTUP
5.1
KESIMPULAN
Atresia
billier merupakan obliterasi atau hipoflasi satu komponen atau lebih dari
duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus
persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari
stasis empedu sampai sirosis billliaris dengan spenomegali bila berlanjut menjadi
hipertensi porta.
Tujuan
dari pengobatan atresia billier adalah untuk membuat suatu lintasan bagi empedu
bila tidak dilakukan penatalaksanaan secara memadai maka prognosis akan buruk
dan kematian akan terjadi dalam 2 tahun kehidupan.
Perawatan
pra bedah dan pasca bedah dilakukan sesuai dengan jenis pada umumnya. Hal
penting lain adalah dukungan bagi orangtua. Orangtua harus mendapat penjelasan
secara detail dengan bahasa yang mudah dipahami oleh mereka, serta diberikan
dorongan unutk menangani dan merawat anak karena prognosis sering kali buruk
maka mereka juga memerlukan dukungan emosional yang besar.
5.2
SARAN
Kita sebagai
perawat sebaiknya dapat memahami dan mengaplikasikan segala sesuatu yang
terjadi tentang penyakit Atresia Bilier yang telah dibahas pada makalah ini
agar dapat tercipta perawat yang profesional dalam menerapkan asuhan
keperawatan secara komprehensif.
DAFTAR
PUSTAKA
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien
Edisi 3, Jakarta : EGC
DSA
Gulton, Eric. 1994. Ikhtisar Penyakit Anak jilid I. Jakarta : Binarupa Aksara
Ringoringo, Parlin. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: RS Dr. Cipto
Mangunkusumo
R. Taylor, Clive dan Candrasuma
Parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi Edisi 2. Jakarta : EGC
Suddarth dan Brunner. 2001. Buku Ajar
keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : EGC
Suriadi dan Yulianni Rita.
2006.
Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta : Penebar Swadaya
Sodikin. 2007. Asuhan Keperawatan
Gangguan Sistim Gastrointestinal Dan Hepatobilier. Salemba Medika
-----,
2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Edisi 6 Volume 2, Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan
medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Tjokronegoro dan
Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994).
Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
Soeparman. 1987.
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar