Senin, 04 Februari 2013

ASKEP ATRESIA BILIER



BAB I
PENDAHULUAN

1.1        LATAR BELAKANG
Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008). Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Tindakan operatif atau bedah dapat dilakukan untuk penatalaksanaannya. Pada lebih kurang 80% - 90% bayi dengan atresia biliaris ekstrahepatik yang menjalani pembedahan ketika usianya kurang dari 10 minggu dapat dicapai drainase getah empedu (Halamek dan Stevenson, 1997). Meski demikian, sirosis yang progresif tetap terjadi pada anak, dan sampai 80% - 90% kasus pada akhirnya akan memerlukan transplantasi hati (Andres, 1996).
Atresia bilier ditemukan pada 1 dalam 10.000 kelahiran hidup dan 1 dalam 25.000 kelahiran hidup. Tampaknya tidak terdapat predileksi rasial atau genetik kendati ditemukan predominasi wanita sebesar 1,4:1 (McEvoy dan Suchy, 1996; Whitington, 1996). Di Belanda, dilaporkan kasus atresia bilier sebanyak 5 dari 100.000 kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari 100.000 kelahiran hidup, di Inggris dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran hidup. Di Texas tercatat 6.5 dari 100.000 kelahiran hidup, 7 dari 100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4 dari 100.000 kelahiran hidup di USA dan dilaporkan terdapat 10,6 dari 100.000 kelahiran hidup di Jepang menderita atresia bilier. Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier di dapatkan pada ras Kaukasia  (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian amerika (1,5%). Walau jarang namun jumlah penderita atresia bilier yang ditangani RS. Cipto Mangun Kusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003 tercatat mencapai 37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan di RSU Dr. Soetomo Surabaya antara tahun 1999-2004 ditemukan dari 19.270 penderita rawat inap di Instalansi Rawat Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati didapatkan 9 (9,4%) menderita atresia bilier ( Widodo J, 2010).

Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun di luar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Jika aluran empedu buntu, maka empedu akan menumpuk di hati. Selain itu akan terjadi ikterus atau kuning di kulit dan mata akibat tingginya kadar bilirubin dalam darah. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal atau sampai terjadi kematian.
Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-pontoeterostomi (operasi Kasai) akan menurun bila dilakukan setelah umur 2 bulan. Bagi penderita atresia bilier prosedur yang baik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke usus. Selain itu, terdapat beberapa intervensi  keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera sesudah pembedahan portoenterostomi, asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada setiap pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat dan terapi gizi yang benar, termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus mungkin menjadi persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi rendam atau memotong kuku jari-jari tangan (Donna L. Wong, 2008).

1.2        TUJUAN
1.1.1        Tujuan Umum
Dapat menganalisa asuhan keperawatan pada klien dengan Atresia bilier
1.1.2        Tujuan Khusus
1.      Menjelaskan definisi dari Atresia bilier
2.      Menjelaskan anatomi fisiologi dari Atresia bilier
3.      Menjelaskan etiologi dari Atresia bilier
4.      Menjelaskan klasifikasi dari Atresia bilier
5.      Menjelaskan patofisiologi dari Atresia bilier
6.      Menjelaskan manifestasi klinis dari Atresia bilier
7.      Menjelaskan komplikasi dari Atresia bilier
8.      Menjelaskan penatalaksanaan medis dari Atresia bilier
9.      Menjelaskan pengkajian pada asuhan keperawatan klien Atresia bilier
10.  Menjelaskan diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan klien Atresia bilier
11.  Menjelaskan rencana tindakan/intervensi pada asuhan keperawatan Atresia bilier
12.  Menjelaskan kriteria hasil pada setiap diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan klien Atresia bilier

1.3        MANFAAT
1.3.1        Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan Atresia bilier.
1.3.2        Bagi Perawat
Perawat atau tenaga kesehatan memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang Atresia bilier sehingga dapat melakukan asuhan keperawatan secara profesional.  


BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1  Definisi
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland, 2006)
Atresia Bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/ saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi kongenital, yang berarti terjadi saat kelahiran. (http://pilihsehat.tk/.2010)
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau sebagian. ( Chandrasoma & Taylor,2005)

2.2  Anatomi Fisiologi
Gambar : System Hepatic dan Bilier

a.      Anatomi Sistem Biliary
Hati terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga abdomen daerah kanan atas. Hati memiliki berat sekitar 1500 gr, dan di bagi menjadi empat lobus. Setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang membentang ke dalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati menjadi unit-unit yang lebih kecil, yang disebut lobulus.
      Sirkulasi darah ke dalam dan ke luar hati sangat penting dalam penyelenggaran fungsi hati.
Saluran empedu terkecil yang disebut kanalikulus terletak di antara lobulus hati. Kanalikulus menerima hasil sekresi dari hepatosit yang membawanya ke saluran empedu yang lebih besar yang akhirnya akan membentuk duktus hepatikus. Duktus hepatikus dari hati dan duktus sistikus dari kandung empedu bergabung untuk membentuk duktus koledokus (commom bile duct) yang akan mengosongkan isinya ke dalam intestinum. Aliran empedu ke dalam intestinum di kendalikan oleh sfingter Oddi yang terletak pada tempat sambungan (junction) di mana duktus koledokus memasuki duodenum.
Kandung empedu (vesika felea), yang merupakan organ berbentuk sebuah pear, berongga dan menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga 10 cm, terletak dalam suatu cekungan yang dangkal pada permukaan inferior hati dimana organ tersebut terikat pada hati oleh jaringan ikat yang longgar. Kapasitas kandung empedu 30-50ml empedu. Dindingnya terutama tersusun dari otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan duktus koledokus lewat duktus sistikus.
a)      Kandung Empedu
Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pear, memiliki panjang 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml namun saat terdistensi dapat mencapai 300 ml. Kandung empedu berlokasi di sebuah lekukan pada permukaaan bawah hepar yang secara anatomi membagi hepar menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Kandung empedu dibagi menjadi 4 area secara anatomi yaitu fundus, leher, corpus, dan infundibulum. Fundus berbentuk bulat dan ujungnya 1-2 cm melebihi batas hepar, strukturnya kebanyakan berupa otot polos, kontras dengan korpus yang kebanyakan terdiri dari jaringan elastis. Leher biasanya membentuk sebuah lengkungan, yang mencembung dan membesar membentuk Hartmann’s pouch.
Kandung empedu terdiri dari epitel silindris yang mengandung kolesterol dan tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung empedu dalam kelenjar tubuloalveolar yang ditemukan dalam mukosa infundibulum dan leher kandung empedu, tetapi tidak pada fundus dan korpus. Epitel yang berada sepanjang kandung empedu ditunjang oleh lamina propria. Lapisan ototnya adalah serat longitudinal sirkuler dan oblik, tetapi tanpa lapisan yang berkembang sempurna. Perimuskular subserosa mengandung jaringan penyambung, saraf, pembuluh darah, limfe dan adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa kecuali bagian kandung empedu yang menempel pada hepar. Kandung empedu dibedakan secara histologis dari organ-organ gastrointestinal lainnya dari lapisan muskularis mukosa dan submukosa yang sedikit.
Arteri sistika yang mensuplai kandung empedu biasanya berasal dari cabang arteri hepatika kanan. Lokasi Arteri sistika dapat bervariasi namun hampir selalu di temukan di segitiga hepatosistica, yaitu area yang dibatasi oleh Ductus sistikus, Ductus hepaticus komunis dan batas hepar (segitiga Calot). Ketika arteri sistika mencapai bagian leher dari kandung empedu, akan terbagi menjadi anterior dan posterior. Aliran vena akan melalui vena kecil dan akan langsung memasuki hepar, atau lebih jarang akan menuju vena besar sistika menuju vena porta. Aliran limfe kandung empedu akan menuju kelenjar limfe pada bagian leher.
Persarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang simpatis melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya adalah T8 dan T9. Rangsang dari hepar, kandung empedu, dan duktus biliaris akan menuju serat aferen simpatis melewati nervus splanchnic memediasi nyeri kolik bilier. Cabang hepatik dari nervus vagus memberikan serat kolinergik pada kandung empedu, duktus biliaris dan hepar.
b)      Pembentukan empedu
Empedu dibentuk secara terus menerus oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam kanalikulus serta saluran empedu. Empedu terutama tersusun dari air dan elektrolit, seperti natrium, kalium, kalsium, klorida serta bikarbonat, dan juga mengandung dalam jumlah yang berati beberapa substansi seperti lesitin, kolesterol, billirubin serta garam-garam empedu. Empedu dikumpulkan dan disimpan dalam kandung empedu untuk kemudian dialirkan ke dalam intestinum bila diperlukan bagi pencernaan. Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-garam empedu.
Garam-garam empedu disintesis oleh hepatosit dari kolesterol. Setelah terjadi konjugasi atau pengikatan dengan asam-asam amino (taurin dan glisin), garam empedu diekskresikan ke dalam empedu. Bersama dengan kolesterol dan lesitin, garam empedu diperlukan untuk emulsifikasi lemak dalam intestinum. Proses ini sangat penting untuk proses pencernaan dan penyerapan yang efisien. Kemudian garam empedu akan diserap kembali, terutama dalam ileum distal, ke dalam darah portal untuk kembali ke hati dan sekali lagi diekskresikan ke dalam empedu. Lintasan hepatosit empedu intestinum dan kembali lagi kepada hepatosit dinamakan sirkulasi enterohepatik. Akibat adanya sirkulasi enterohepatik, maka dari seluruh garam empedu yang masuk ke dalam intestinum, hanya sebagian kecil yang akan diekskresikan ke dalam feses. Keadaan ini menurunkan kebutuhan terhadap sintesis aktif garam empedu oleh sel-sel hati.
c)      Ekskresi Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup se-sel Kupffer dari hati. Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi kimia mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukoronat yang membuat bilirubin lebih dapat larut di dalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi diekskresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu di dekatnya dan akhirnya dibawa dalm empedu ke duodenum.
Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen yang sebagian akan diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi diabsorbsi lewat mukosa intestinal ke dalam daerah portal. Sebagian besar dari urobilinogen yang diserap kembali ini dikeluarkan oleh hepatosit dan diekskresikan sekali lagi ke dalam empedu (sirkulasi enterehepatik). Sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin. Eliminasi bilirubin dalam empedu menggambarkan jalur utama ekskresi bagi senyawa ini.
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hati, bila aliran empedu terhalang (yaitu, oleh batu empedu dalam saluran empedu) atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan. Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin.
d)     Fungsi Kandung Empedu
Kandung empedu berfungsi sebagai depot penyimpanan bagi empedu. Di antara saat-saat makan, ketika sfingter Oddi tertutup, empedu yang diproduksi oleh hepatosit akan memasuki kandung empedu. Selama penyimpanan, sebagian besar air dalam empedu diserap melalui dinding kandung empedu sehingga empedu dalam kandung empedu lebih pekat lima hingga sepuluh kali dari konsentrasi saat diekskresikan pertama kalinya oleh hati. Ketika makanan masuk ke dalam duodenum akan terjadi kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi yang memungkinkan empedu mengalir masuk ke dalam intestinum. Respon ini diantarai oleh sekresi hormon kolesitokinin-pankreozimin (CCK-PZ) dari dinding usus.

b.      Sistem Bilier terbagi atas :
1)      Intrahepatik
Sistem biliaris Intrahepatik terdiri atas kanalikuli biliaris dan duktuli biliaris intralobular. Duktus biliaris intrahepatik terdiri atas sel kuboid atau sel epitel kolumnar. Bersama dengan bertambahnya jaringan konektif fibroelastis di sekitar epitel, maka duktus semakin besar. Duktus yang terbesar mempunyai otot polos pada dindingnya. Kanalikuli biliaris sebenarnya bukan merupakan suatu duktus melainkan suatu dilatasi ruang interseluler antara hepatosit yang berdekatan. Diameter lumen kanalikuli ini rata-rata 0,7 mm.
2)      Ekstrahepatik
Sistem biliaris ekstrahepatik merupakan suatu saluran yang berada di dalam ligamentum hepatoduodenale dan secara histologis terdiri atas sel epitel kolumnar tinggi yang mensekresi mukus, selain itu juga terdapat jaringan konektif di bawah epitel yang terdiri atas sejumlah serabut elastis, kelenjar mukus, pembuluh darah dan saraf. Sistem biliaris extrahepatik terdiri dari Ductus hepaticus kanan dan kiri, Ductus hepaticus komunis, Ductus systicus dan Ductus koledokus, Ampula vateri dan Sfingter Oddi.


a)    Duktus Hepatikus Kiri dan Kanan
Duktus            hepatikus kiri dan kanan muncul pada porta hepatika dari kanan dan kiri lobus hepar dan berbentuk huruf V. Panjang dari duktus hepatis kiri dan kanan bervariasi antara 0,5-2,5 cm. Biasanya duktus hepatis kiri lebih panjang dari kanan dan lebih mudah dilatasi bila terjadi obstruksi di bagian distal.
b)    Duktus Hepatikus Komunis
Duktus Hepatikus komunis merupakan gabungan antara duktus hepatikus kiri dan kanan dengan panjang sekitar 4 cm. Pada 95 % kasus, gabungan ini berada di luar hepar, tepat di bawah dari porta hepatis. Pada 5% kasus, bergabung di dalam hepar.
c)    Duktus sistikus
Duktus sistikus timbul di bagian leher vesika fellea dan bergabung dengan duktus hepatika komunis. Panjang duktus sistikus bervariasi antara 0,5-0,8 cm dengan diameter rata-rata 1-3 mm. Dalam duktus sistikus, mukosa membentuk 5-10 lipatan seperti bulan sabit yang dikenal sebagai spiral valves of Heister. Valvula ini berfungsi untuk menahan distensi yang berlebihan atau kolaps dari vesika fellea dengan mengubah tekanan dalam duktus sistikus dan berfungsi dalam menghambat masuknya batu empedu ke dalam duktus koledokus.
d)    Duktus Koledokus
Duktus koledokus terbentuk dari gabungan duktus sistikus dengan duktus hepatikus komunis. Panjang duktus ini sekitar 7,5 cm, namun juga dapat bervariasi tergantung dari panjang duktus sistikus dan duktus hepatikus komunis dengan diameter sekitar 6 mm. Duktus koledokus dibagi dalam 4 segmen : supraduodenal, retroduodenal, pankreatika dan intraduodenal. Segmen supraduodenal mempunyai panjang 2,5 cm dan berada di batas kanan dari ligamentum hepatoduodenal, yaitu pada bagian anterior dari vena porta dan sebelah kanan dari arteri hepatika komunis ascendens. Segmen retroduodenal berada di posterior dari bagian pertama duodenum dengan panjang sekitar 2,5 - 4 cm. Segmen ini berjalan sepanjang permukaan inferior duodenum, kemudian berpindah dari kanan ke kiri dan berada tepat di kanan dari arteri gastroduodenal.  Segmen pankreatika dari duktus koledokus memanjang dari batas bawah dari bagian awal duodenum ke dinding posteromedial dari bagian kedua duodenum, dimana duktus masuk ke dalam dinding duodenum. Segmen intraduodenal mempunyai panjang 2 cm dan berjalan miring sepanjang dinding duodenum bersama dengan duktus pankreatikus.
e)    Ampula vateri
Ampula vateri terbentuk dari pertemuan antara duktus koledokus dengan duktus pankreatikus. Panjang ampula ini bervariasi, ditemukan panjangnya lebih dari 2 mm pada 46 % kasus, sedangkan kurang dari 2 mm pada 32 % kasus dan tidak ada pertemuan antara duktus pankreatika dengan duktus koledokus pada 29 % kasus.
f)     Sphingter Oddi
Pada segmen intraduodenal dari duktus koledokus dan ampula dikelilingi oleh lapisan serabut otot polos yang dikenal sebagai Sphingter of Oddi. Sfingter ini merupakan kelompok serabut otot yang berada pada dinding duktus koledokus. Pengaturan dari aliran empedu utamanya dikontrol oleh sfingter ini dan terjadi relaksasi sfingter akibat stimulasi kolesistokinin dan  parasimpatis.

c.       Sistem Vaskularisasi
Duktus biliaris ekstrahepatik mendapat vaskularisasi dari beberapa tempat, diantaranya; Duktus hepatis dan segmen supraduodenal dari duktus koledokus mendapat aliran darah dari cabang kecil arteri sistikus. Bagian retroduodenal dari duktus koledokus disuplai oleh cabang retroduodenal dan posterosuperior dari arteri pankreatikoduodenal. Segmen pankreatika dan intraduodenal divaskularisasi oleh arteri pankreatikoduodenal bagian anterior dan posterosuperior.

2.3     Etiologi
·         Belum diketahui secara pasti
·         Kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine (Rubela, Torch)

2.4     Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia bilier tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia bilier tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir (Halamek dan Stefien Soen, 1997). Keadaan ini menunjukan bahwa atresia bilier terjadi pada akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan ikterus dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi bilier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh pada anak (Parakrama, 2005).

2.5  Klasifikasi Atresia Billier
Menurut anatomis atresia billier ada 3 tipe:
§  Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus komunis, segmen proksimal paten
§  Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris komunis, duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya)
§  Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus, kandung empedu normal
§  Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik sampai ke hilus


Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable) sedangkan tipe III adalah bentuk atresia yang tidak dapat di operasi (non correctable), bila telah terjadi sirosis maka dilakukan transpalantasi hati.



                           Gambar Klasifikasi Atresia Bilier

2.6        Manifestasi Klinis
1.      Warna tinja pucat, terhambatnya aliran empedu untuk mengakut garam empedu yang diperlukan untuk mencerna lemak dalam usus halus dimana fungsi empedu adalah mengekresikan bilirubin dan membantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam empedu
2.      Asites
3.      Spenomegali
4.      Distensi abdomen
5.      Hepatomegali
6.      Pruritus, akibatnya adanya obstruksi pada saluran empedu maka terjadi resistensi garam empedu
7.      Jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan (kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat > 5 mg/dl dalam 24 jam, kadar bilirubin serum > 12 mg/dl pada bayi cukup bulan serta > 15 mg/dl pada bayi premature pada minggu pertama kehidupan), karena obtruksi pengaliran getah empedu dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang khas yaitu getah empedu tidak dibawa ke duodenum tapi di serap oleh darah dan penyerapan empedu ini akan menyebabkan kulit dan membrane mukosa berwarna kuning
8.      Letargi
9.      Urine berwarna gelap, sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan di ekresikan ginjal ke dalam urine pada obstruksi saluran empedu bilirubin tidak memasuki intestinum sehingga urobilinogen tidak terdapat dalam urine
10.  Bayi tidak mau minum dan lemah
11.  Mual muntah
Gambar : Pasien dengan Artesia Bilier (www.semuaadadisini.com)

2.7     Penatalaksanaan
1.   Medik
a)      Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk:
·         Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu dengan memberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis peroral misal : luminal
·         Melindungi hati dari zat dari zat toksik dengan memberikan asam ursodeoksikolat 310 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis peroral misal : urdafalk
b)      Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan berkembang seoptimal mungkin yaitu:
·         Pemberian makanan yang mengandung middle chain triglycerides(MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak. Contoh : susu pregestinil dan pepti yunior
·         Penatalaksanaan defisiensi  vitamin yang larut dalam lemak.
·         Dan pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
c)      Terapi Bedah
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan intervensi bedah Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable yaitu tipe I dan II. Pada atresia bilier yang Non Correktable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan potensi duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih ada duktus bilier yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang paten tetap dikerjakan operasi kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang). Pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
d)     Pemeriksaan diagnostik
·         Darah lengkap dan fungsi hati
Pada pemeriksaan laboratorium ini menunjukkan adanya hiperbilirubinemia direk, serta peningkatan kadar serum transaminase, fosfatase alkali, dan gamma glutamil transpeptidase yang dapat membantu diagnosis atresia bilier pada tahap awal.
·         Pemeriksaan urine
Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus, tetapi urobilin dalam urine negative, hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
·         Pemeriksaan feces
Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
·         Biopsi hati
Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan dengan pengambilan jaringan hati.
·         USG abdomen
Menunjukkan kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda Triangular cord sangat sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.

2.      Keperawatan
Terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera pembedahan portoenterestomi asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada setiap pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat dan terapi gizi yang benar termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus menjadi persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi rendam dan memotong kuku jari tangan.
Anak-anak dan keluarga memerlukan dukungan psikososial khusus. Prognosis yang tidak pasti, gangguan rasa nyaman, dan penantian untuk tranpalantasi dapat menimbulkan stress yang cukup besar. Perawatan yang lama di rumah sakit, terapi farmakologis dan nutrisi dapat membawa beban financial yang besar pada keluarga.

2.8  Komplikasi
·         Cirosis
Terjadi akibat obstuksi beliar yang kronis dan infeksi ( konlongitis ) dan berakibat terjadinya jaringan parut disekitar hati dan empedu
·         Gagal Hati
Gangguan fungsi hati yang tampak adalah terjadinya pruritus akibat retensi garam- garam empedu
·         Gagal tumbuh
Penurunan imunitas serta penyerapan nutrisi penting serta tingginya motebolisme pada atresia mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak
·         Hipertensi Portal
Aliran darah yang melewati hati terganggu ( rusak ) meningkatkan tekanan darah yang melewati vena vortal , diikuti oleh penumpukan cairan dirongga abdomen mengakibatkan volume intravena menurun dan ginjal melepas renin yang meningkatkan skeresi hormon aldesteron oleh kelenjar adrenal yang selanjutnya membuat ginjal menahan natriun dan air dalam upaya unruk menggembalikan volume intravaskuler dalam keadaan normal.
·         Varisis Esofagus
Berkaitan dengan peningkatan vena portal darah dari taraktus intestinal dan limpa akan mencari jalan keluar melalui sirkulasi kolateral (lintasan baru untuk kembali keatrium kanan) akibat peningkatan tekanan khususnya dalam pembuluh darah pada lapisan sub mukosa esophagus bagian bawah dan lambung bagian atas, pembuluh pembuluh kolateral ini tidak begitu elastic 9 rapuh dan mudah mengalami perdarahan.

2.9  Prognosis
Artesia biliear yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan sisrosis progresif dan kematian pada sebagian besar anak usia dua tahun. Prosedur kasai benar-benar dapat memperbaiki prognosis namun bukan tindakaan yang menyembuhkan. Kerap kali drainase getah empedu dapat dicapai jika pembedahan dilakukaan sebelum saluran empedu intrahepatik mengalami kerusakan yang biasanya terjadi pada usia 8 tahun.
Bila oprasi dilakukan pada usia kurang dari 8 minggu maka angka keberhasilannya 71-86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia lebih dari 8 minggu maka angka keberhasilanya hanya 34-43,6 %.
Bila operasi kasai dilakukan pada usia 1-60 hari, 61-70 hari, 71-90 hari, dan lebih dari 90 hari maka masing-masing akan emberikan keberhasilan hidup sebesar 73%, 35%,23%, dan 11%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10 %, dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Jadi factor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi lebih dari 60 hari. ( Wong, Donna L.2008)
 
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1.1        PENGKAJIAN
a.       Biodata : Usia bayi, jenis kelamin
b.      Keluhan utama : jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan
c.       Riwayat penyakit dahulu : apakah ibu pernah terinfeksi virus seperti rubella
d.      Riwayat penyakit sekarang : jaundice, tinja warna pucat, distensi abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus, bayi tidak mau minum, letargi
e.       Pemeriksaan Fisik
1.      BI : sesak nafas, RR meningkat
2.      B2: takikardi, berkeringat, kecenderungan perdarahan (kekurangan vitamin K)
3.      B3: gelisah atau rewel
4.      B4: urine warna gelap dan pekat
5.      B5: distensi abdomen, kaku pada kuadran kanan, asites, feses warna pucat, anoreksia, mual, muntah, regurgitasi berulang, berat badan menurun, lingkar perut 52 cm
6.      B6: ikterik pada sclera kulit dan membrane mukosa, kulit berkeringat dan gatal(pruritus), oedem perifer, kerusakan kulit, otot lemah
f.       Pemeriksaan Penunjang
1.      Laboratorium
§  Bilirubin direk dalam serum meninggi
§  nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl
§  Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu yang luas
§  Tidak ada urobilinogen dalam urine
§  Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)
2.      Pemeriksaan diagnostik
§  USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa dilatasi kristik saluran empedu)
§  Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
§  Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi empedu dan mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatik
§  Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung empedu mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas

1.2        Diagnosa Keperawatan
1.      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan absorbsi nutrient yang buruk, mual muntah
2.      Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah
3.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam jaringan dtandai dengan adanya pruritus
4.      Risiko perubahan pertumbuhan dan perkembangan (gagal tumbuh) berhubungan dengan penyakit kronis
5.      Risiko ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen

1.3        Intervensi Keperawatan
DX
Tujuan
Tindakan
Rasional
I
Bayi akan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit yang ditandai dengan pengisian kembali dengan kapiler kurang dari 3 detik, turgor kulit baik, produksi urine 1-2ml/kgBB/jam
ü  Memantau asupan dan cairan bayi perjam(cairan infuse, susu per NGT, atau jumlah ASI yang diberikan, (timbang popok)

ü  Periksa feses tiap hari







ü  Memantau lingkar perut bayi setiap hari

ü  Observasi tanda-tanda dehidrasi (oliguria, kuilt kering, turgor kulit buruk, ubun-ubun dan mata cekung

ü  Kolaborasi untuk pemeriksaan elektrolit, kadar protein total, albumin, nitrogen urea darah dan kreatinin serta darah lengkap
ü  Memungkinan evaluasi keseimbangan cairan bayi dan tindakan lebih lanjut


ü  Mengetahui kadar PH feces untuk menentukan absorbsi lemak dan karbohidrat bayi. (PH normal 7-7,5)

ü  Untuk mendeteksi asites


ü  Tanda dehidrasi mengindikasikan intervensi segera dalam mengatasai kekurangan cairan pada bayi

ü  Mengevaluasi keseimbangan dan elektrolit





II
























III
Bayi akan menunjukkan peningkatan berat badan progresif mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal






















Bayi akan mempertahankan kelembapan kulit yang ditandai dengan kulit tidak kering, tidak ada pruritus, jaringan kulit utuh dan bebas lecet
ü  Ukur masukan diet harian (MCT)




ü  Timbang sesuai indikasi. Bandingkan perubahan status cairan, riwatyat berat badan




ü  Berikan perawatan mulut sering







ü  Mandikan dengan air hangat sehari dua kali dan di olesi baby cream


ü  Pertahankan sprei kering dan bersih



ü  Rubah posisi tidur sesuai jadwal







ü  Gunting kuku jari hingga pendek, berikan sarung tangan bila memungkinkan

ü  Berikan obat sesuai indikasi (antihistamin)
ü  Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan/defisiensi

ü  Mungkin sulit untuk menggunakan berat badan sebagai indicator langsung status nutrisi karena ada gambaran edema/asites

ü  Pasien cenderung mengalami luka/perdarahan gusi dan rasa tak enak pada mulut dimana menambah anoreksia

ü  Mencegah kulit kering berlebihan dan memberikan penghilang rasa gatal

ü  Kelembapan meningkatkan pruritus dan resiko kerusakan kulit

ü  Pengubahan posisi menurunkan tekanan pada jaringan dan untuk memperbaiki sirkulasi

ü  Mencegah dari cidera tambahan pada kulit khususnya bila tidur

ü  Antihistamin dapat mengurangi rasa gatal
IV
Bayi akan bertumbuh dan berkembang secara normal yang ditandai dengan mencapai tahap pertumbuhan dan perkembangan yang sesuai
ü  Berikan stimulus pada bayi yang menekankan pencapaian keterampilan motorik kasar





ü  Jelaskan pada orangtua bahwa bayi mereka dapat saja  tidak mencapai tahap-tahap penting perkembangan dengan kecepatan yang sama seperti pada bayi sehat


ü  Sedapat mungkin lakukan intervensi secara berkelompok
ü  Stimulasi bayi yang terencana membantu tahap-tahap penting dalam perkembangan dan membantu orangtua memiliki ikatan dengan bayi

ü  Dapat menghilangkan stress pada orangtua yang menghadapi masalah dan memberikan informasi penting tentang cara-cara menstimulasi perkembangan

ü  Mengelompokkan intervensi memungkinkan bayi beristirahat tanpa gangguan, istirahat diperlukan untuk tahap tumbuh kembang bayi
V
Bayi akan mempertahankan pola nafas efektif, bebas dispneu dan sianosis, dengan nilai GDA dan kapasitas vital dalam rentang normal
ü  Awasi frekuensi, kedalaman, dan upaya pernafasan






ü  Auskultasi bunyi nafas krekles, mengi dan ronchi







ü  Observasi perubahan tingkat kesadaran


ü  Berikan posisi kepala bayi lebih tinggi



ü  Berikan tambahan O2 sesuai indikasi

ü  Kolaborasi untuk pemeriksaan GDA

ü Pernafasan dangkal, cepat/dispneu mungkin ada hubungan hipoksia atau akumulasi cairan dalam abdomen

ü Menunjukan terjadinya komplikasi (contoh adanya bunyi tambahan menunjukan akumulasi cairan/sekresi) meningkatkan resiko infeksi
ü Perubahan mental dapat menunjukkan hipoksia dan gagal nafas

ü Memudahkan pernafasan dengan menurunkan tekanan pada diagfragma

ü Untuk mencegah hipoksia

ü  Mengetahui perubahan status pernafasan dan terjadinya komplikasi paru

 
BAB IV
PENUTUP

5.1        KESIMPULAN

Atresia billier merupakan obliterasi atau hipoflasi satu komponen atau lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari stasis empedu sampai sirosis billliaris dengan spenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta.
Tujuan dari pengobatan atresia billier adalah untuk membuat suatu lintasan bagi empedu bila tidak dilakukan penatalaksanaan secara memadai maka prognosis akan buruk dan kematian akan terjadi dalam 2 tahun kehidupan.
Perawatan pra bedah dan pasca bedah dilakukan sesuai dengan jenis pada umumnya. Hal penting lain adalah dukungan bagi orangtua. Orangtua harus mendapat penjelasan secara detail dengan bahasa yang mudah dipahami oleh mereka, serta diberikan dorongan unutk menangani dan merawat anak karena prognosis sering kali buruk maka mereka juga memerlukan dukungan emosional yang besar.

5.2        SARAN

Kita sebagai perawat sebaiknya dapat memahami dan mengaplikasikan segala sesuatu yang terjadi tentang penyakit Atresia Bilier yang telah dibahas pada makalah ini agar dapat tercipta perawat yang profesional dalam menerapkan asuhan keperawatan secara komprehensif.





DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Jakarta : EGC
DSA Gulton, Eric. 1994. Ikhtisar Penyakit Anak jilid I. Jakarta : Binarupa Aksara
Ringoringo, Parlin. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: RS Dr. Cipto Mangunkusumo
R. Taylor, Clive dan Candrasuma Parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi Edisi 2. Jakarta : EGC
Suddarth dan Brunner. 2001. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : EGC
Suriadi dan Yulianni Rita. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta : Penebar Swadaya
Sodikin. 2007. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistim Gastrointestinal Dan Hepatobilier. Salemba Medika
-----, 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Edisi 6 Volume 2, Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.

Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.

Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar