BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Efusi pleura adalah adanya cairan kurang lebih 5 ml di
dalam rongga pleura yang cukup untuk membasahi seluruh permukaan pleura
parietalis dan pleura viseralis. Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura
parietalis karena adanya tekanan hidrostatik, tekanan koloid, dan daya tarik
elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis,
sebagian kecil lainnya
(10 – 20%) mengalir ke dalam pembuluh limfe sehingga pasase disini mencapai
1 liter sehari.
Menurut WHO (2008), efusi pleura merupakan suatu gejala
penyakit yang dapat mengancam jiwa penderitanya. Secara geografis penyakit ini
terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara yang
sedang berkembang termasuk Indonesia. Di negara-negara industri, diperkirakan
terdapat 320 kasus efusi pleura per 100.000 orang. Amerika Serikat melaporkan
1,3 juta orang setiap tahunnya menderita efusi pleura terutama disebabkan oleh
gagal jantung kongestif dan pneumonia bakteri.
Menurut depkes RI (2006), kasus efusi pleura mencapai 2,7
% dari penyakit infeksi saluran napas lainnya. tingginya angka kejadian efusi
pleura disebabkan keterlambatan penderita untuk memeriksakan kesehatan sejak
dini dan angka kematian akibat efusi pleura masih sering ditemukan. Faktor
resiko terjadinya efusi pleurakarena lingkungan yang tidak bersih, sanitasi
yang kurang, lingkungan yang padat penduduk, kondisi sosial ekonomi yang
menurun, serta sarana dan prasarana kesehatan yang kurang dan kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang kesehatan.
Masalah
kesehatan dengan gangguan sistem pernapasan masih menduduki peringkat yang tinggi
sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Efusi pleura adalah salah
satu kelainan yang mengganggu sistem pernapasan Efusi pleura sendiri sebenarnya
bukanlah diagnosa dari suatu penyakit melainkan hanya lebih merupakan symptom
atau komplikasi dari suatu penyakit. Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana
terdapat cairan berlebihan di rongga pleura, dimana kondisi ini jika dibiarkan
akan membahayakan jiwa penderitanya (John Gibson, MD, 1995 dan Waspadji Sarwono 1999)
Penyebab
efusi pleura bisa bermacam-macam seperti gagal jantung, adanya neoplasma
(carcinoma bronchogenic dan akibat metastasis tumor yang berasal dari organ
lain), tuberculosis paru, infark paru, trauma, pneumoni, syndroma nefrotik,
hipoalbumin dan lain sebagainya. (Allsagaaf H, Amin M Saleh, 1998).
Tingkat
kegawatan pada efusi pleura ditentukan oleh jumlah cairan, kecepatan
pembentukan cairan dan tingkat penekanan pada paru. Jika efusi luas, expansi paru akan terganggu
dan pasien akan mengalami sesak, nyeri dada, batuk non produktif bahkan akan
terjadi kolaps paru dan akibatnya akan terjadilah gagal nafas. Kondisi-kondisi
tersebut diatas tidak jarang menyebabkan kematian pada penderita efusi pleura.
Berdasarkan
data dari medical record di UPF ilmu penyakit paru RSUD Dr. Soetomo tahun 1998, didapatkan data bahwa effusi
pleura menduduki peringkat kedua setelah TB paru dengan jumlah kasus yang
datang sebanyak 364 orang dan angka mortalitasnya mencapai 26 orang. Sedangkan
tahun 1999 menduduki peringkat ke lima dengan angka mortalitasnya mencapai 31
orang dan prosentase 8,0% dari 387 kasus efusi pleura yang ada, sementara tahun
2000 mencapai 7,65% dari 366 kasus efusi pleura dan menduduki peringkat kedua
setelah TB paru atau angka mortalitasnya mencapai 38 orang, (medical record
RSUD Dr Soetomo tahun 2000).
Berbagai
permasalahan keperawatan yang timbul baik masalah aktual maupun potensial
akibat adanya efusi pleura antara lain adalah ketidakefektifan pola nafas,
ketidakefektifan bersihan jalan nafas, gangguan rasa nyaman, gangguan pemenuhan
kebutuhan tidur dan istirahat, kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit,
gangguan pemenuha kebutuhan nutrisi yang menyebabkan penurunan berat badan
pasien serta masih banyak lagi permasalahan lain yang mungkin timbul.
1.2
Tujuan
Memperoleh
pemahaman serta mampu melakukan asuhan keperawatan secara komprehensif pada
pasien dengan efusi
pleura.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Efusi Pleura
Efusi
Pleura adalah terkumpulnya cairan abnormal dalam cavum pleura (Kapita Selekta
Kedokteran, 2001).
Efusi Pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya
penumpukan cairan dalam rongga pleura (Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Gangguan Sistem Pernafasan, 2008). dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam
rongga pleura sekitar 10-20 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan
plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu
< 1,5 gr/dl.
Efusi Pleura, pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang
terletak diantara permukaan viseral dan pariental, adalah proses penyakit
primer yang jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap
penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah keecil cairan (5
sampai 15 ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural
bergerak tanpa adanya friksi. (Buku ajar keperawatan medikal bedah edisi 8, Brunner dan Suddarth).
2.2
Etiologi
Kelainan pada pleura hampir selalu merupakan kelainan
sekunder. Kelainan primer pada pleura hanya ada 2 macam yaitu :
1.
Infeksi kuman primer
intrapleura
2.
Tumor primer pleura
2.3
Patofisologis
Efusi
akan terbentuk sebagai respon mekanis fisiologis dari pembentukan atau absorbsi
cairan serosa yang rusak. Tekanan hidrostatik meningkat pada CHF (Congestif
Heart Failure) yang merupakan penyebab tersering dari kasus-kasus efusi.
Hipoproteinemia menurunkan tekanan osmotik koloid. Penurunan protein plasma
sekunder dapat menurunkan sintesis atau meningkatkan kehilangan protein.
Albumin
disintesa di hati, dan merupakan protein yang paling penting untuk
mempertahankan tekanan osmitik koloid. Penyaki-penyakit hati dapat merusak
sintesis albumin, dan yang paling sering berhubungan dengan hipoproteinemia dan
efusi adalah sirosis. Hipoalbuninemia juga menyebabkan peningkatan kehilangan
serum protein seperti yang terjadi pada sindroma nefrotik.
Peningkatan
permeabilitas kapiler terjadi jika permukaan pleura atau peritoneal mengalami
inflamasi, hasil dari kehilangan protein pada rongga vaskuler, dan juga tekanan
fisik yang menunjang keluaranya cairan yang terbentuk. Kondisi-kondisi yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler adalah penyakit-penyakit
inflamasi, infeksi metastasis tumor. Jika limfatik mengalami obstruksi atau
sumbatan, cairan yang kaya dengan protein kan terkumpul. Neoplasma dari
jaringan limfe sering memproduksi efusi.
2.4 Patogenesis
Timbulnya efusi pleura dapat disebabkan
oleh kondisi – kondisi :
1.
Gangguan pada
reabsorbsi cairan pleura (misalnya karena adanya tumor)
2.
Peningkatan
produksi cairan pleura (misalnya akibat infeksi pada pleura)
Secara patologis, efusi pleura
disebabkan oleh keadaan – keadaan :
1.
Meningkatnya
tekanan hidrostatik (misalnya akibat gagal jantung)
2.
Menurunnya tekanan
osmotik koloid plasma ( misalnya hipoproteinemia).
3.
Meningkatnya
permeabilitas kapiler (misalnya infeksi bakteri)
4.
Berkurangnya
absorbsi limfatik
Penyebab Efusi Pleura dilihat dari jenis
cairan yang dihasilkan adalah :
1.
Transudat:
Gagal jantung,
sirosis hepatitis dan ascites, hipoproteinemia pada nefrotik sindrom, obstruksi
vena cava superior, pasca bedah abdomen, dialisis peritoneal, dan atelektasis
akut.
2.
Eksudat
a.
Infeksi (
Pneumonia, TBC, Virus, Jamur, parasit, dan abses).
b.
Neoplasma ( Ca,
Paru – paru, metastasis, limfoma, dan leukemia)
c.
Emboli / infark
paru – paru
d.
Penyakit kolagen (
SLE dan Rhematoid arthritis)
e.
Penyakit
gastrointestinal ( pangkreatitis, ruptur esofagus, dan abses hati)
f.
Trauma ( hemotoraks
dan khilotoraks).
Perbedaan Transudat dan Eksudat
Parameter
|
Transudat
|
Eksudat
|
Penyebab
|
Tekanan hidrostatik
Tekanan onkotik
|
Permeabilitas kapiler
Absorbsi limfatik
|
Makroskopis
·
kejernihan
·
warna
·
BJ
·
beku spontan
|
Jernih
Kuning, jernih
< 1,018 (1,006 – 1,018)
Tidak
|
Keruh
Bervariasi (kuning, abu-abu, merah,
merah muda)
> 1,018 (1,018 – 1,030)
Bervariasi sering ya
|
Mikroskopis
·
jumlah leukosit
·
hitung jenis
|
< 1000 sel/ µl (pleural)
< 3000 sel/ µl (pleural)
Predominan mononuklear
|
Bervariasi, biasanya:
> 1000 sel/ µl (pleural)
> 500 sel/ µl (pleural)
Awal :
predominan PMN
Lanjut :
predominan MN
|
2.5
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari efusi pleura
antara lain:
1.
Batuk
2.
Dispnea bervariasi
3.
Adanya
keluhan nyeri dada (nyeri pleuritik)
4.
Pada
efusi yang berat terjadi penonjolan ruang interkosta.
5.
Pergerakan
dada berkurang dan terhambat pada bagian yang mengalami efusi.
6.
Perkusi
meredup diatas efusi pleura.
7.
Egofoni
diatas paru yang tertekan dekat efusi.
8.
Suara
nafas berkurang diatas efusi pleura.
9.
Fremitus
fokal dan raba berkurang.
10.
Jari
tabuh merupakan tanda fisik yang nyata dari karsinoma bronkogenik, bronkiektasis,
abses dan TB paru.
Kebanyakan efusi pleura
bersifat asimtomatik, timbul gejala sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
Ketika efusi sudah membesar dan menyebar, kemungkinan timbul dipsnea dan batuk.
Efusi pleura yang besar akan mengakibatkan panas pendek. Tanda fisik meliputi
deviasi trachea menjauhi sisi yang sakit, dullness pada perkusi dan penurunan
bunyi pernafasan pada sisi yang terkena.
2.6 Penatalaksanaan
Pada efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa intubasi
melalui selang iga sekitar 500 – 1000cc. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit dikeluarkan atau bila empiemanya multiokuler, perlu tindakan
operatif. Mungkin sebelumnya dapat dibantu dengan irigasi cairan garam
fisiologis atau larutan antiseptik. Pengobatan secara sistemik hendaknya segera
dilakukan, tetapi terapi ini tidak berarti bila tidak diiringi pengeluaran
cairan yang adequate.
Untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi dapat
dilakukan pleurodesis yakni melengketkan pleura viseralis dan pleura
parietalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetrasiklin, Bleomicin, Corynecbaterium
parvum dll.
1.
Pengeluaran efusi yang
terinfeksi memakai pipa intubasi melalui sela iga.
2.
Irigasi cairan garam
fisiologis atau larutan antiseptik (Betadine).
3.
Pleurodesis (penyatuan
parietalis dan viseralis): untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah
aspirasi.
4.
Torakosentesis: untuk
membuang cairan, mendapatkan spesimen (analisis), menghilangkan dispnea.
Indikasinya:
·
Mehilangkan sesak yang
ditimbulkan
·
Bila terapi spesifik
pada primernya tidak efektif
·
Bila terjadi
reakumulasi cairan
5.
Water seal drainage
(WSD)
Drainase cairan (Water
Seal Drainage) jika efusi menimbulkan gejala subyektif seperti nyeri, dispnea,
dll. Cairan efusi sebanyak 1-1,2 liter perlu dikeluarkan segera untuk mencegah
meningkatnya edema paru, jika jumlah cairan efusi lebih banyak maka pengeluaran
cairan berikutya baru dapat dilakukan 1 jam kemudian.
6.
Antibiotika jika
terdapat empiema.
7.
Operatif.
2.7
Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan dari efusi
pleura antara lain:
1.
Pneumotoraks (karena
udara masuk melalui jarum).
2.
Hemotoraks (Trauma pada
pembuluh darah intercostalis).
3.
Emboli udara (Laserasi
yang cukup dalam menyebabkan udara dari alveoli masuk ke vena pulmonalis).
4.
Atalektasis (Ekspansi
paru menurun, terjadi akumulasi cairan).
5.
Fibrosis Paru.
6.
Kolaps Paru.
2.9 Pemeriksaan
Penunjang
1.
Rontgen dada
Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang
dilakukan untuk mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan adanya
cairan. Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan
membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi
dari pada permukaan medial. Bila permukaannya horisontal dari lateral ke medial
pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang bisa berasal dari luar atau
dalam paru – paru itu sendiri.
Hal lain yang dapat terlihat dalam foto dada, efusi
pleura adalah tergolongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan cairan.
Akan tetapi, bila terdapat atelektasis pada sisi yang bersamaan dengan cairan,
mediastinum akan tetap pada tempatnya.
2.
CT scan dada
CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan
cairan dan bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau
tumor
3.
USG dada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan
cairan yang jumlahnya
sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan.
4.
Torakosentesis.
Aspirasi caiaran pleura
berguna sebagai sarana untuk diagnostik maupun terapiutik, torakosintesis
sebaiknya dilakukan pada posisi duduk. Lokasi aspirasi adalah pada bagian bawah
paru, disela iga ke 9 garis aksila posterior dengan memakai jarum no. 14 atau
16. Pengeluaran cairan sebaiknya tidak lebih dari 1000 – 1500 cc pada setiap
kali aspirasi, jika aspirasi dilakukan sekaligus dalam jumlah banyak, maka akan
menimbulkan syok pleura ( hipotensi) atau edema paru. Edema paru terjadi karena
paru – paru terlalu cepat berkembang.
5.
Biopsi.
Pemeriksaan histologis 1 atau
beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50 – 75 % diagnosis kasus
pleuritis, tubercolosis, dan tumor paru. Bila hasil pemeriksaan pertama tidak
memuaskan dapat dilakukan pemeriksaans ulang. Komplikasin biopsi adalah
pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi pada dinding dada.
6.
Analisa cairan pleura.
Efusi pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik, dan di konfirmasi dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks
posisi lateral decubitus dapat diketahui adanya cairan dalam rongga pleura
sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan dengan posisi AP atau PA paling tidak
cairan dalam rongga pleura sebanyak 300 ml. Pada foto thoraks posisi AP atau PA
ditemukan adanya sudut costophreicus yang tidak tajam.
7.
Bronkoskopi.
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu
menemukan sumber cairan
yang terkumpul.
2.10 Asuhan
Keperawatan
2.10.1 Pengkajian
a. Biodata
Sesuai
dengan etiologi penyebabnya, efusi pleura dapat timbul pada seluruh usia.
Status ekonomi ( tempat tinggal ) sangat berperan timbulnya penyakit ini terutama
Tubercolosis paru. Klien den yang didahului oleh Tubercolusis paru sering
ditemukan didaerah padat penduduk dengan sanitasi kurang.
b. Riwayat Kesehatan
·
Keluhan Utama
Kebanyakan
Efusi Pleura bersifat Asimtomatik, gejala yang timbul sesuai dengan penyakit
yang mendasarinya. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritik, ketika efusi sudah membesar dan melebar, kemungkinan timbul dispnea
dan batuk. Efusi pleura yang besar akan menyebabkan nafas pendek.Tanda Fisik
meliputi defiasi Trakhea menjauhi sisi yang terkena, dullnes pada perkusi
penurunan bunyi pernafasan pada sisi trakhea.
·
Riwayat Kesehatan
Dahulu
Klien dengan
Efusi Pleura terutama akibat adanya infeksi nonpleura bisanya mempunyai riwayat
penyakit Tubercolosis Paru.
·
Riwayat Kesehatan
Keluarga
Tidak ditemukan data penyakit yang sama ataupun diturunkan
dari anggota kekeluarganya yang lain, terutama penularan infeksi Tubercolusis
yang menjadis faktor penyebab timbulnya efusi Pleura.
3.
Pemeriksaan Fisik
·
Pada klien dengan Efusi
Pleura membentuk Hemitoraks yang sakit mencembung, kosta mendatar, ruang
interkosta melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum
kearah hemitoraks kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan iktus
cordis. RR cenderung meningkat dan klien biasanya dispnea.
·
Vokal Fermitus
menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah cairannya < 250 cc.
Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang
tertinggal pada dada yang sakit.
·
Suara Perkusi redup
sampai pekak tergantung pada jumlah cairannya. Bila cairannya tidak mengisi
penuh oleh rongga pleura maka pada pemeriksaan ekskursi diagfragma akan
didapatkan penurunan pengembangan diagfragma.
·
Auskultasi suara
napas menurun sampai menghilang, Egofoni.
2.10.2 Pemeriksaan
Penunjang
a.
Kultur sputum: dapat
ditemukan positif Mycobacterium tuberculosis
b.
Apusan darah asam
Zehl-Neelsen: positif basil tahan asam
c.
Skin test: positif
bereaksi (area indurasi 10 mm, lebih besar, terjadi selama 48-72 jam setelah
injeksi.
d.
Foto thorax: pada
tuberkulosis ditemukan infiltrasi lesi pada lapang atas paru, deposit kalsium
pada lesi primer, dan adanya batas sinus frenikus kostalis yang menghilang,
serta gambaran batas cairan yang melengkung.
e.
Biakan kultur: positif
Mycobacterium tuberculosis
f.
Biopsi paru: adanya
giant cells berindikasi nekrosi (tuberkulosis)
g.
Elektrolit: tergantung
lokasi dan derajat penyakit, hyponatremia disebabkan oleh retensi air yang
abnormal pada tuberkulosis lanjut yang kronis
h.
BGA: Abnormal
tergantung lokasi dan kerusakan residu paru-paru
i.
Fungsi paru: Penurunan
vital capacity, paningkatan dead space, peningkatan rasio residual udara ke
total lung capacity, dan penyakit pleural pada tuberkulosis kronik tahap lanjut.
2.10.3 Diagnosa
Keperawatan
1. Hipoksia berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
Tujuan : pola nafas
kembali efektif dan normal.
KH
|
:
|
- Pola
nafas kembali normal.
- Tidak
ada tanda hipoxia.
- Tidak
ada gejala sianosis.
- RR
dalam batas normal 16-20x/menit
- Retraksi(-)
|
Rencana Tindakan
1.
Identitas faktor penyebab
R/: dengan mengidentifikasikan penyebab kita dapat
menentukan jenis efusi pleura sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.
2.
Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman
pernafasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi.
R/: dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan
kedalaman pernagasan kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi
pasien.
3.
Baringkan pasien dalam posisi yang
nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60-90
derajat.
R/: penurunan diafragma memperluas daerah dada
sehingga ekspansi paru bisa maksimal.
4.
Observasi tanda-tanda vital (RR)
R/: peningkatan RR dan tachicardi merupakan indikasi
adanya penurunan fungsi paru.
5.
Lakukan auskultasi suara nafas
R/: auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas
pada bagian paru.
6.
Bantu dan ajarkan untuk batuk dan nafas
dalam yang efektif.
R/: menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau
nafas dalam penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif.
7.
Kolaborasi dengan tim medis lain untuk
pemberian O2, obat-obatan serta foto thorak
R/: pemberian oksigen dapat menurunkan beban
pernafasan dan mencegah terjadinya sianosis akibat hipoxia dengan foto thorax
dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang
paru.
2.
Bersihan jalan nafas
tidak efektif b/d peningkatan jumlah/viskositas secret paru
Tujuan:
Penurunan kemampuan batuk sekunder akibat nyeri
pleuritik/ nyeri karena pemasangan WSD
KH :
-
Mempertahankan jalan
nafas paten dengan bunyi nafas bersih
-
Mengeluarkan sekret
tanpa kesulitan.
-
Menunjukkan perilaku
untuk memperbaiki/mempertahankan bersiahn jalan nafas.
Intervensi:
1.
Catat perubahan upaya
dan pola bernafas.
R/: Penggunaan otot
interkostal/abdominal dan pelebaran nasal menunjukkan peningkatan upaya
bernafas.
Ajarkan batuk efektif
2.
Observasi penurunan
ekspensi dinding dada dan adanya.
R/:
Ekspansi dad terbatas
atau tidak sama sehubungan dengan akumulasi cairan, edema, dan sekret dalam
seksi lobus.
3.
Catat karakteristik
batuk (misalnya, menetap, efektif, tak efektif), juga produksi dan
karakteristik sputum.
R/:
Karakteristik batuk dapat berubah tergantung pada penyebab/etiologi gagal
perbafasan. Sputum bila ada mungkin banyak, kental dan berdarah.
4.
Ajarkan pasien batuk
efektif
R/:
Meningkatkan keefektifan upaya batuk dan pembersihan sekret
5.
Pertahankan posisi
tubuh/kepala tepat dan gunakan alat jalan nafas sesuai kebutuhan.
R/:
Memudahkan memelihara jalan nafas atas paten bila jalan nafas pasein dipengaruhi.
3.
Gangguan pemenuhan
kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia.
Tujuan : kebutuhan
nutrisi terpenuhi
KH:
-
BB naik
-
Hb > 12 gr/dl
-
Alb 3,5 gr/dl
-
Menunjukkan perbaikan
nafsu makan/ makan habis 1 porsi
Rencana tindakan
1.
Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi
R/: Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh
kesukaannya, kebiasaannya, ekonomi dan pengetahuannya tentang pentingnya
nutrisi bagi tubuh.
2.
Kontrol BB
R/:
Untuk mengevaluasi keefektifan terapi
3.
Lakukan oral hygiene setiap hari
R/:
Bau mulut yang kurang sedah dapat mengurangi nafsu makan.
4.
Sajikan makanan semenarik mungkin
R/:
Penyajian makanan yang menarik dapat
meningkatkan nafsu makan
5.
Beri makanan dalam porsi kecil tapi
sering
R/ : Makanan dalam porsi tersebut memaksimalkan
masukan nutrsi tanpa kelemahan yang tak perlu / kebutuhan energi dari
makan-makanan banyak dan menurunkan iritasi gaster.
6.
Kolaborasi dengan tim gizi dalam
pemberian diit TKTP
R/
: Diit TKTP sangat baik untuk kebutuhan metabolisme.
7.
Awasi pemeriksaan lab contoh : BUN,
prot, serum, albumin
R/ : Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan
menunjukkan kebutuhan intervensi / perubahan program terapi.
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Efusi pleura merupakan
suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di
dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan
dan pengeluaran cairan pleura. Efusi pleura disebabkan oleh factor infeksi dan
non infeksi.
Efusi pleru menjadi
penyakit system pernafasan yang menyebabkan kematian kematian di Indonesia. Hal
ini disebabkan karena keterlambatan dalam penanganan pasien tersebut.
Kebanyakan pasien efusi pleura kronis tidak memeriksakan kondisi kesehatannya
karena keterbatasan dana yang dimiliki untuk perawatan penyakit yang
dideritanya.
3.2.1
Saran
Ada beberapa saran yang sebaiknya
diperhatikan setelah uraian dari makalah ditas, yaitu:
1.
Bagi pasien efusi
pleura yang akut alangkah
baiknya memeriksakan diri ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan setempat
untuk mendapat perawatan.
2.
Menghindari
faktor-faktor yang dapat memperparah penyakit tersebut, baik dari faktor
infeksi maupun non infeksi.
DAFTAR
PUSTAKA
Al
sagaff H dan Mukti. A, Dasar – Dasar Ilmu
Penyakit Paru, Airlangga University Press, Surabaya ; 1995
http://medicastore.com/penyakit/147/Efusi_Pleura.html
diakses tanggal 15 September 2011 jam 12.40 WIB
Bunner
& Sudart, 2008. Buku Ajar Perawatan
Medika Bedah. EGC. Jakarta
Doenges,
Marilynn E, 1999, Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi
3, EGC, Jakarta
Engran
Barbara, 1994, Rencana asuhan keperawatan medikal bedah, Volume 1, EGC,
Jakarta
Mansyur,
Arief dkk, 2000, Kapita selekta kedokteran, Jilid I, Edisi 3,Media
Aesculapius, Balai penerbit buku FKUI, Jakarta
NANDA,
2005, Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006, Alih Bahasa : Budi
Santosa, Prima Medika, Jakarta
Noer,
Sjaifoellah. M. H 1996, Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid I, edisi 3,
Balai penerbit buku FKUI, Jakarta
Price, A & Wilson, M, 2005, Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6, Terjemahan, EGC, Jakarta
Somantri
Irman, 2009. Asuhan Keperawatan Pada
Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan Edisi 2. Salemba Medika. Jakarta
Smeltzer,
S & Bare, B 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta :
EGC.
Wilkinson,
J. M., 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Jakarta : EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar