BAB 2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Definisi
§ Empiema
adalah terkumpulnya cairan purulen (pus) dalam rongga
pleura
(Somantri, Irman. 2008).
§ Empiema
sebagai cairan plura dengan kultur bakteri posistif atau leukosit > 15.000/mm3 dengan
protein >3gr/dl. Mense (1998) mendefinisikan empiema sebagai cairan pleura
dengan kriteria:
1.
Didapatkan organisme/ kuman pada kutur
cairan pleura pada pewarnaan gram
2.
Cairan berbentuk pus
3.
Analisa cairan pleura didapat Ph <
7,10 dengan LDH > 1000 IU/L atau dengan glukosa < 40,g/dl.
§
Empiema adalah
keadaan terkumpulnya nanah ( pus ) didalam ronggga pleura dapat setempat atau mengisi
seluruh rongga pleura.
( Ngastiyah,1997).
§
Empiema adalah penumpukan cairan terinfeksi atau pus pada kavitas pleura.
( Diane C. Baughman, 2000 ).
§
Empiema adalah
penumpukan materi purulen pada areal pleural.
( Hudak & Gallo, 1997 ).
§
Dapat disimpulkan Empiema adalah suatu efusi pleura eksudat yang
disebabkan oleh infeksi langsung pada rongga pleura yang menyebabkan cairan
pleura menjadi purulen atau keruh
2.2. Etiologi
Empiema dapat terjadi karena infeksi idiopatik atau dapat
berkaitan dengan pneumonitis, karsinoma, perforasi, atau ruptura esofagus. Empiema yang sering terjadi adalah empiema yang disebabkan oleh perluasan
infeksi pada parenkim paru, hasil penetrasi di dinding dada (
dr.R.Darmanto, Djojodibroto. 2009 ).
Adapun
etiologi empiema:
1.
Berasal dari paru
a.
Pneumonia
Infeksi paru seperti pneumonia dapat menyebar secara langsung ke pleura, penyebaran melalui sistem limfatik atau penyebaran secara hematogen. Penyebaran juga bisa terjadi akibat adanya nekrosis jaringan akibat pneumoni.
Infeksi paru seperti pneumonia dapat menyebar secara langsung ke pleura, penyebaran melalui sistem limfatik atau penyebaran secara hematogen. Penyebaran juga bisa terjadi akibat adanya nekrosis jaringan akibat pneumoni.
b.
Abses Paru
Abses akibat aspirasi paling sering
terjadi pada segmen posterior lobus atas dan segmen apikal lobus bawah, dan
sering terjadi pada paru kanan, karena bronkus utama kanan lebih lurus
dibanding kiri.
Abses bisa mengalami ruptur ke dalam bronkus, dengan isinya di ekspektorasikan keluar dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara, kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura sehingga terjadi empiema.
Abses bisa mengalami ruptur ke dalam bronkus, dengan isinya di ekspektorasikan keluar dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara, kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura sehingga terjadi empiema.
c.
Adanya fistel
pada paru
d.
Bronkiektasis
e.
TB
f.
Infeksi fungidal paru
2.
Infeksi Diluar Paru
a.
Trauma dari tumor
b.
Pembedahan
Pembedahan thorak yang tidak steril
dapat mengakibatkan masuknya kuman ke rongga pleura sehingga terjadi peradangan
di rongga pleura yang dapat menimbulkan empiema. Akibat instrument bedah, rupturnya
esophagus, bocornya anatomis esophagus dan fistula bronkopleural yang diikuti
dengan pneumonektomi
c.
Thorakosentesis
d.
Abses hati karena amoeba
3.
Bakteri
a.
Staphylococcus Aereus
Bakteri ini adalah bakteri gram positif
dengan sifatnya yang dapat menghemolisa darah dan mengkoagulasi plasma. Bakteri
ini tumbuh dalam keadaan aerob, bakteri ini dapat memproduksi eksotoksin yang
dapat menghemolisis eritrosit, kemudian leukocidin yang dapat membunuh
leukosit, dan menyebabkan peradangan pada rongga pleura
b.
Streptococcus
Pyogenic
c.
Bakteri gram Negatif
d.
Bakteri anaerob
2.3. Manifestasi
Klinik
1.
Tanda dan gejala empiema secara umum
adalah :
2.
Demam
3.
Berkeringat di malam hari
4.
Nyeri pleura
5.
Batuk
6.
Malaise
7.
Dyspnea
8.
Anorexia
9.
Penurunan berat badan
10.
Inspeksi pada empiema kronik dapat dijumpai clubbing finger
11.
Auskultasi dada terdengar suara nafas akan melemah di
daerah yang mengalami empiema
12. Pada palpasi terdapat penurunan fremitus (fibrasi vokal)
13. Pada perkusi terdapat bunyi redup.(Brunner
& Suddarth, 2001)
Tanda gejala empiema berdasarkan
klasifikasi empiema akut dan empiema kronis:
a.
Empiema akut:
a) Panas tinggi dan
nyeri pleuritik.
b) Adanya tanda-tanda
cairan dalam rongga pleura.
c) Bila dibiarkan sampai
beberapa minggu akan menimbulkan toksemia, anemia, dan clubbing finger .
d)
Nanah yang tidak
segera dikeluarkan akan menimbulkan fistel bronco-pleural.
e) Gejala adanya fistel ditandai dengan batuk produktif
bercampur dengan darah dan nanah banyak sekali.
b.
Empiema kronis:
o Disebut kronis karena lebih dari 3 bulan.
o Badan lemah, kesehatan semakin menurun.
o Pucat, clubbing finger.
o Dada datar karena adanya tanda-tanda cairan pleura.
o Terjadi fibrothorak trakea dan jantung tertarik kearah yang
sakit.
o Pemeriksaan radiologi menunjukkan cairan.
2.4 KLASIFIKASI dan STADIUM
Empiema
dibagi menjadi dua:
1.
Empiema Akut
Empiema
akut disebabkan oleh infeksi akut di paru atau diluar paru. Mungkin pada fase
infeksi, cairan tidak tampak sebagai pus tetapi sebagai cairan jernih kuning
atau kekuning-kuningan. Sering timbul endapan fibrin sehingga sulit
mengeluarkan nanahnya.
Empiema
dapat berasal dari radang paru seperti pneumonia atau abses. Infeksi dari luar
dapat disebabkan oleh trauma. Abses amoeba atau infeksi pleuritis eksudativa
juga dapat mengakibatkan empiema akut, akhirnya harus disebut juga fungus
sebagai penyebab.
2.
Empiema Kronik
Empiema
disebut kronik bila paru sudah tidak bisa mengempis lagi ketika rongga pleura
dibuka atau ketika dibuat hubungan langsung dengan dunia luar, umumnya keadaan
ini disebabkan oleh terbentuknya fibrin yang merupakan pembukus tebal (sampai 1
cm) dan keras yang disebut korteks empiema. Karena adanya korteks ini paru
tidak dapat menguncup bila rongga pleura dibuka. Kadang empiema menembus
dinding dada sampai menyebabkan fistel kulit. Keadaan ini disebut empiema
nesesitasis.
Apabila
pleura parietalis dan viseralis menyatu pada tempat tertentu terjadi yang
disebut lakunasi, sehingga empiema terdapat dibeberapa ruang. Karena kronik ini
dapat terjadi karena penyebab empiema tidak dihilangkan, mungkin juga karena
adanya benda asing.
Ada
tiga stadium empyema yaitu:
1.
Stadium 1 disebut juga stadium eksudatif
atau stadium akut, yang terjadi pada hari-hari pertama saat efusi. Inflamasi
pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan terjadi penimbunan cairan
pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan mengandung elemen seluler
yang kebanyakan terdiri atas neutrofil. Stadium ini terjadi selama 24 – 72 jam
dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura mengalir
bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah dan enzim
laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal,
drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat mempercepat perbaikan.
2.
Stadium 2 disebut juga dengan stadium
fibropurulen atau stadium transisional yang dikarakterisasi dengan inflamasi
pleura yang meluas dan bertambahnya kekentalan dan kekeruhan cairan. Cairan
dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri dan debris seluler.
Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membran fibrin, yang
membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium ini berlanjut,
pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan LDH meningkat. Stadium
ini berakhir setelah 7 – 10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut
seperti torakostomi dan pemasangan tube.
3.
Stadium 3 disebut juga stadium
organisasi (kronik). Terjadi pembentukan kulit fibrinosa pada membran pleura,
membentuk jaringan yang mencegah ekspansi pleura dan membentuk lokulasi intrapleura
yang menghalangi jalannya tuba torakostomi untuk drainase. Kulit pleura yang
kental terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan hasil dari proliferasi
fibroblast. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi pembentukan
fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu setelah gejala
awal.
2.5 Patofisiologi
Mekanisme
penyebaran infeksi sehingga mencapai rongga pleura
1.
Infeksi paru, infeksi paru seperti
pneumonia dapat menyebar secara langsung ke pleura, penyebaran melalui sistem limfatik
atau penyebaran secara hematogen. Penyebaran juga bisa terjadi akibat adanya
nekrosis jaringan akibat pneumonia atau adanya abses yang ruftur ke rongga
pleura.
2.
Mediastinum, kuman - kuman dapat masuk
ke rongga pleura melalui tracheal fistula, esofageal fistula, adanya abses di
kelenjar mediastinum
3.
Subdiafragma, adanya proses di
peritoneal atau di visceral dapat juga menyebar ke rongga pleura
4.
Inokulasi langsung, inokulasi langsung
dapat terjadi akibat trauma, iatrogenik, pasca operasi. Pasca operasi dapat
terjadi infeksi dari hemotorak.
2.6 Pemeriksaan
Diagnostik
1. Rontgen dada
Foto thoraks PA dan lateral didapatkan gambaran opacity yang menunjukkan
adanya cairan dengan atau tanpa kelainan paru. Bila terjadi fibrothoraks,
trakea di mediastinum tertarik ke sisi yang sakit dan juga tampak adanya
penebalan.
2.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
§ Pemeriksaan
dapat menunjukkan adanya septa atau sekat pada suatu empiema yang terlokalisir.
§ Pemeriksaan ini juga dapat membantu untuk menentukan
letak empiema yang perlu dilakukan aspirasi atau pemasangan pipa drain.
3.
Pemeriksaan CT Scan
§ Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan adanya suatu
penebalan dari pleura.
§ Kadang dijumpai limfadenopati inflamatori intratoraks
pada CT scan.
2.7 Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan
empiema adalah :
2.7.1
Pengosongan nanah
Prinsip ini seperti umumnya dilakukan pada abses, untuk mencegah efek
toksisnya
1.
Aspirasi
Sederhana
Dilakukan berulangkali dengan memakai jarum lubang
besar. Cara ini cukup baik untuk mengeluarkan sebagian besar pus dari empiema
akut atau cairan masih encer. Kerugian teknik seperti ini sering menimbulkan
“pocketed” empiema. USG dapat dipakai untuk menentukan lokasi dari pocket
empiema.
2.
Closed drainase/ tube toracostomy water sealed drainage dengan indikasi :
1). Nanah sangat
kental dan sukar diaspirasi
2). Nanah terus
terbentuk setelah 2 minggu
3). Terjadinya
piopneumothoraks
Upaya WSD dapat dibantu dengan pengisapan negativ 10–20 cmH2O
3.
Drainase terbuka (Open drainage)
Open drainage
dikerjakan pada empiema kronis, hal ini terjadi akibat pengobatan yang
terlambat atau tidak adekuat dengan cara reseksi iga untuk
mengangkat pleura yang mengalami penebalan, pus, debris, serta untuk mengangkat
jaringan paru yg sakit dibawahnya.
(Brunner
& Suddarth.2001)
2.7.2
Antibiotik
Antibiotik harus segera diberikan setelah diagnosis di tegakkan dan dosisnya harus tepat. Antibiotik dapat di berikan secara sistemik atau topikal.
Biasanya diberikan penisilin. Pemilihan
antibiotika didasarkan pada hasil pengecatan Gram dari hapusan nanah.
Pengobatan selanjutnya tergantung pada hasil kultur dan sensitivitasnya.
Metronidazole dapat ditambahkan untuk organisme gram negatif anaerob yang
menghasilkan b-laktamase. Sefalosporin
generasi kedua seperti cefoxitin sangat potensial terhadap gram negatif yang
menghasilkan b-laktamase.
2.7.3
Penutupan rongga empiema
1.
Dekortikasi
Merupakan
pembedahan yang bertujuan untuk mengangkat / membebaskan pleura viseralis dari
penumpukan.
Tindakan ini termasuk operasi besar dengan indikasi :
1). Drain tidak berjalan baik karena banyak kantung-kantung
2). Letak empiema sukar dicapai oleh drain
3). Empiema totalis yang mengalami organisasi pada pleura viseralis
2.
Torakoplasti
Jika empiema tidak sembuh karena adanya fistel bronkopleura atau tidak
mungkin dilakukan dekortikasi. Pada pembedahan ini, segmen dari tulang
iga dipotong subperiosteal, dengan demikian dinding toraks jatuh ke dalam
rongga pleura karena tekanan atmosfer.
3.
Pengobatan kausal
Misalnya subfrenik abses dengan drainase subdiagfragmatika, terapi spesifik
pada amoebasis dan sebagainya.
4.
Pengobatan tambahan
Perbaiki keadaan umum lalu fisioterapi untuk membebaskan jalan nafas.
Penanggulangan
empiema tergantung dari fase empiema, yaitu :
1.
Fase I (Fase Eksudat)
Dilakukan drainase
tertutup (WSD) dan dengan WSD dapat dicapai tujuan diagnostik terapi dan
prevensi, diharapkan dengan pengeluaran cairan tersebut dapat dicapai
pengembangan paru yang sempurna.
2. Fase
II (Fase Fibropurulen)
Pada fase ini
penanggulangan harus lebih agresif lagi yaitu dilakukan drainase terbuka (reseksi
iga/ "open window") . Dengan cara ini nanah yang ada dapat dikeluarkan dan
perawatan luka dapat dipertahankan. Drainase terbuka juga bertujuan untuk
menunggu keadaan pasien lebih baik dan proses infeksi lebih tenang sehingga
intervensi bedah yang lebih besar dapat dilakukan. Pada fase II ini VATS
surgery sangat bermanfaat, dengan cara ini dapat dilakukan empiemektomi dan/
atau dekortikasi.
3. Fase
III (Fase Organisasi)
Dilakukan intervensi
bedah berupa dekortikasi agar paru bebas mengembang atau dilakukan obliterasi
rongga empiema dengan cara dinding dada dikolapskan (Torakoplasti) dengan
mengangkat iga-iga sesuai dengan besarnya rongga empiema, dapat juga rongga
empiema disumpel dengan periosteum tulang iga bagian dalam dan otot interkosta (air
plombage), dan disumpel dengan otot atau omentum (muscle plombage atau omental
plombage).
2.8 Komplikasi
a)
Syok
b)
Perdarahan, perluasan hematogen yang mengakibatkan
meningitis
c)
Pneumothoraks
Sebagian komplikasi dapat terjadi
perluasan per-kontinuitatum:
d)
Perikarditis purulenta
e)
Fistel bronkus
f)
Abses paru
g)
Piopneumotoraks
h)
Nanah dapat pula menembus dinding toraks
sehingga timbul empiema nesesitasis
2.9 Prognosis
Prognosis empiema dipengaruhi oleh umur, panyakit dasarnya dari pengobatan
permulaan yang adekuat. Angka kematian meningkat pada usia tua, penyakit dasar
yang berat dan pengobatan yang terlambat.
2.11 Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Data-data yang
dikumpulkan atau dikaji meliputi:
1.
Identitas Pasien
Nama,
umur, jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan, pendidikan, agama, alamat.
2.
Keluhan Utama
Keluhan
yang dirasakan klien saat pengkajian yaitu batuk ada secret, sesak nafas.
3.
Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya
suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing, sesak nafas, batuk ada
sekretnya, nafsu makan menurun.
4.
Riwayat Penyakit Dahulu
Klien
mempunyai riwayat penyakit TB paru, kegagalan jantung kiri, tumor primer
pleura.
5.
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga
mempunyai penyakit yang menurun atau menular.
6.
Psikososial
Klien
biasanya cemas dengan keadaaan sakitnya
2.12 Pemeriksaan Fisik
a.
Pernafasan (B: Breathing)
Inspeksi:
masih didapatkan perubahan kesimetrisan rongga dada, klien sesak nafas,
mengguanakan otot bantu nafas, keringat dingin, nafas cepat dan dangkal.
Palpasi:
taktil premitus menurun/hilang pada daerah yang sakit, ICS melebar pada sisi
yang sakit
Perkusi:
Bunyi redup/pekak pada sisi yang sakit
Auskultasi:
Bunyi nafas hilang/melemah pada sisi yang sakit, biasanya didapatkan suara
ronkhi atau wheezing
b.
Kardiovaskuler (B: Blood)
capillary refill dibawah 1 detik,
sering didapatkan keringat dingin dan pusing,
Leher: biasanya JVP dalam batas normal, Kepala
dan wajah: dilihat adanya sianosis
c.
Persyarafan (B3: Brain )
Kesadaran biasanya compos mentis, pada
kasus lebih parah klien bisa mengeluh pusing dan gelisah
Mata: Sklera biasanya tidak ikterik,
konjungtiva didapatkan anemis pada kasus efusi pleura haemorragis kronis
d.
Perkemihan (B4: Blader )
Produksi urine biasanya dalam batas
normal dan tidak ada keluhan pada system perkemihan
e.
Pencernaan (B5: Bowel )
Klien biasanya mual, nyeri lambung dan
menyebabkan klien tidak nafsu makan. Peristaltik menurun menyebabkan klien
jarang BAB
f.
Tulang, otot dan integumen (B6: Bone )
Karena pengguanaan otot Bantu nafas yang
lama klien terlihat kelelahan, sering didapatkan intoleransi aktifitas.
2.13 Pemeriksaan Penunjang
1.
Laboratorium
a.
Pemeriksaan kultur bakteri positif atau leukosit
>15.000/mm3 dengan protein >3gr/dl
b.
Analisa cairan pleura didapat Ph <
7,10 dengan LDH > 1000 IU/L atau dengan glukosa < 40 g/dl.
2.14 Diagnosa
Keperawatan
1. Ketidakefektifan
pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder
terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi
jalan nafas karena sekret
3. Nyeri dada berhubungan dengan factor-faktor biologis ( trauma jaringan) dan
factor-faktor fisik (pemasangan selang dada)
4. Peningkatan suhu
tubuh berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan.
5. Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, intoleransi
makanan, hilangnya nafsu makan, mual/ muntah.
6. Intoleransi
aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum.
7. Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang
dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernafas).
1.15
Rencana
Asuhan Keperawatan
1.
Ketidakefektifan pola pernapasan yang
berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan
dalam rongga pleura.
Tujuan
: pola nafas kembali efektif dan normal.
Kriteria
Hasil
|
-
Pola nafas kembali normal.
-
Tidak ada tanda hipoxia.
-
Tidak ada gejala sianosis.
-
RR dalam batas normal 16-20x/menit
-
Retraksi(-)
|
|
|
Rencana tindakan
1.
Identifikasi faktor penyebab
R/:
dengan mengidentifikasikan penyebab kita dapat menentukan jenis empiema sehingga
dapat mengambil tindakan yang tepat.
2.
Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman
pernafasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi.
R/:
dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan kita dapat
mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien.
3.
Baringkan pasien dalam posisi yang
nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60-90
derajat.
R/:
penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa
maksimal.
4.
Observasi tanda-tanda vital (RR)
R/:
peningkatan RR dan tachicardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.
5.
Lakukan auskultasi suara nafas
R/:
auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas pada bagian paru.
6.
Bantu dan ajarkan untuk batuk dan nafas
dalam yang efektif.
R/:
menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam penekanan otot-otot
dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif.
7.
Kolaborasi dengan tim medis lain untuk
pemberian O2, obat-obatan serta foto thorak
R/:
pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah terjadinya
sianosis akibat hipoxia dengan foto thorax dapat dimonitor kemajuan dari
berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang paru.
2.
Gangguan pertukaran
gas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas karena sekret
Tujuan : Pertukaran gas
dapat dipertahankan
Kriteria standart :
-Perbaikan sirkulasi dan oksigenasi
-GDA dalam batas normal
-Tanda distress pernafasan tidak ada
Rencana tindakan
1.
Kaji frekuensi dan kedalaman pernafasan,
catat penggunaan otot bantu pernafasan dan ketidakmampuan bicara karena sesak
R/: Evaluasi derajat distress nafas dan kronis atau tidaknya proses penyakit
R/: Evaluasi derajat distress nafas dan kronis atau tidaknya proses penyakit
2.
Bantu klien untuk mencari posisi yang
memudahkan bernafas, dengan kepala lebih tinggi
R/: membantu
mengurangi sesak karena ekspansi paru dapat maksimal
3.
Bantu klien untuk batuk efektif
R/: Batuk
efektif membantu mengeluarkan sputum sebagai sumber utama gangguan pertukaran
gas.
4.
Auskultasi suara nafas
R/: Suara nafas
redup oleh karena adanya penurunan penurunan aliran udara / konsolidasi. Mengi menunjukkan adanya bronkospasme dan kracles menunjukkan
adanya cairan.
3.
Nyeri dada berhubungan dengan factor-faktor biologis (
trauma jaringan) dan factor-faktor fisik (pemasangan selang dada)
Tujuan :
nyeri berkurang dan klien dapat
beradaptasi dengan nyeri yang ada
Kriteria hasil :
§ Mengungkapkan rasa nyeri di dada
kiri berkurang
§ Dapat bernafas tanpa rasa nyeri
§ Tanda vital dalam batas normal
§ Hasil laborat : Leukosit dalam
batas normal
Rencana tindakan
1.
Pantau nadi dan tekanan darah tiap 3 – 4 jam
R/: Identifikasi kemajuan / penyimpangan dari hasil yang
diharapkan
2.
Kaji tingkat nyeri dan kemampuan adaptasi
R/: Memantau tingkat nyeri dan
respon klien terhadap nyeri yang timbul
3.
Berikan tindakan untuk memberikan rasa nyaman / mengurangi nyeri
R/: Berupa relaksasi, distraksi visual, distraksi motorik, pengaturan posisi
4.
Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik
R/: Mengontrol nyeri dan memblok jalan rangsang nyeri
5.
Konsultasi ke dokter bila nyeri bertambah
R/:
Merupakan gejala yang berat yang
mungkin timbul
4.
Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi
saluran pernapasan.
Tujuan : suhu tubuh normal 36oC
– 37oC
Kriteria hasil :
§
Pasien akan termoregulasi, dibuktikan dengan suhu kulit dalam rentang
normal.
§
Nadi dan pernapasan dalam rentang yang diharapkan.
§
Perubahan warna kulit tidak ada.
Rencana tindakan
1. Pantau suhu minimal 2 jam sekali.
R/: Untuk
mengidentifikasi kemajuan-kemajuan atau penyimpangan dari sasaran yg diharapkan.
2. Pantau tekanan darah, nadi, pernapasan.
R/: Perubahan
frekuensi jantung atau TD menunjukkan bahwa pasien mengalami nyeri, khususnya
bila alasan lain untuk perubahan tanda vital telah terlihat.
3. Pantau aktifitas kejang dan warna
kulit
R/: Hal tersebut
merupakan tanda berkembangnya komplikasi.
4. Anjurkan menggunakan pakaian yang
menyerap keringat
R/: mengurangi penguapan yang
berlebih
5. Anjurkan keluarga untuk
mengompres pasien
R/: membantu menurunkan panas
6. Kolaborasi dengan tim medis untuk
pemberian obat antipiretik sesuai dengan anjuran dan evaluasi keefektifannya.
R/: menentukan terapi yang tepat
5.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia, intoleransi makanan, hilangnya nafsu makan,
mual / muntah.
Tujuan : Mempertahankan nutrisi
sesuai kebutuhan
Kriteria hasil :
§ Mempertahankan berat badan
§ Nafsu makan meningkat
§ Tidak mual dan muntah
Rencana tindakan :
a. Kaji kebiasaan diit ,catat derajat kesulitan makan
R/: Pasien distress pernafasan akut sering anoreksia
karena dispneu, produksi sputum.
b. Sajikan makan, sedikit tapi sering
R/ : Untuk memenuhi kebutuhan agar tetap terjaga.
c. Hidangkan makan dengan hangat
R/: menambah nafsu makan
d.
Auskultasi bunyi usus .
R/: Penurunan atau hipoaktif bising usus menunjukkan motilitas gaster dan kostipasi yang berhubungan
dengan pembatasan pemasukan cairan, pilihan makanan buruk, penurunan aktivitas
dan hipoksemia.
e. Hindari makan yang mengandung gas dan minuman karbonat
R/ : Dapat menghasilkan distensi abdomen yang menganggu
nafas abdomen dan gerakan diagframa yang dapat meningkatan dispnea.
f. Hindari makan yang sangat panas dan dingin
R/ : suhu ekstrim dapat mencetuskan / meningkatkan spasme batuk
R/ : suhu ekstrim dapat mencetuskan / meningkatkan spasme batuk
g. Timbang berat badan sesuai indikasi
R/ : Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun
tujuan berat badan dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
h. Kolaborasi dengan ahli gizi / nutrisi.
R/ : Metode makan dan kebutuhan dengan upaya kalori
didasarkan pada kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi maksimal dengan
upaya minimal pasien / penggunaan
energi
6.
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan
kelemahan umum.
Tujuan : kebutuhan aktivitas tidak
terganggu
Kriteria
hasil :
§
Memeragakan metode batuk, bernapas, dan penghematan energi yang efektif.
§
Mengidentifikasi tingkat aktifitas yang dapat di capai atau di pertahankan
secara realistis.
Rencana tindakan
1.
Jelaskan aktifitas dan faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan oksigen
R/: Merokok, suhu
ekstrim dan stres dan menyebabkan fasikonstriksi pembuluh darah dan
meningkatkan beban jantung
2.
Ajarkan program hemat energi
R/: Mencegah
penggunanan energi yang berlebihan
3.
Buat jadwal aktifitas harian, tingkatkan secara bertahap
R/:
Mempertahankan pernapasan lambat dengan tetap memperhatikan latihan fisik yang
memungkinkan peningkatan otot batu pernapasan
4.
Ajarkan teknik nafas efektif
R/ Meningkatkan
oksigenasi tanpa mengorbankan banyak energi
5.
Pertahankan terapi oksigen tambahan
R/: Mempertahankan,
memperbaiki, dan meningkatkan konsentrasi oksigen darah
6.
Kaji respon abnormal setelah aktifitas
R/: Respon abnormal
meliputi nadi, tekanan darah gan pernapasan yang meningkat
7.
Beri waktu istirahat yang cukup
R/: Meningkatkan
daya tahan klien, mencegah kelelahan
7.
Cemas berhubungan
dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernafas)
Tujuan :
tidak ada perasaan cemas
Kriteria
standart :
·
Menungkapkan perasaan ansietas
·
Memperagakan teknik bernapas untuk mengurangi dipsnea
Rencana tindakan
1. Jelaskan tujuan tarapi pada klien
R/: Mengorientasikan
program terapi, membantu menyadarkan klien untuk memperoleh kontrol
2. Ajarkan tindakan untuk membantu
mengontrol dispnea
R/: Pengontrolan
dipsnea melalui diet seimbang, istirahat cukup dan aktifitas yang dapat
ditoleransi
3. Ajarkan klien melakukan latihan
napas
R/: Latihan napas
dengan spirometri insentif , latihan efek paru atau latihan posterior paru atau
latihan area iga lateral bawah
4. Ajarkan dan evaluasi teknik
drainase postural
R/: Memfasilitasi
pengeluaran sekret
5. Jelaskan bahayanya infeksi dan
cara menurunkan resiko
R/: Mencegah
infeksi, baik sekunder maupun primer yang mungkin diakibatkan oleh gangguan
napas
6. Anjurkan klien untuk melaporkan
gejala penting dengan segera
R/: Mencegah
komplikasi yang tidak terpantau atau gejala yang dianggap normal oleh klien
7. Ajarkan atau observasi penggunaan
nebulizer atau inhaler dosis terukur
R/: Mencegah
penggunaan inhaler melebihi dosis
DAFTAR PUSTAKA
Al
sagaff H dan Mukti. A, Dasar – Dasar Ilmu
Penyakit Paru, Airlangga
University Press,
Surabaya ; 1995
Doenges,
Marilynn E, 1999, Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi
3, EGC, Jakarta
Engran
Barbara, 1994, Rencana asuhan keperawatan medikal bedah, Volume 1, EGC,
Jakarta
Gibson, John, MD.1995, Anatomi Dan Fisiologi Modern Untuk Perawat,
Jakarta : EGC
Mansjoer, A. 2001, Kapita Selekta Kedokteran Edisi
ke 3 Jilid I, Jakarta : Media Aesculapius FKUI.
Muttaqin,
Arif, 2008, Asuhan Keperawatan Klien
dengan Gangguan Sistem Pernafasan, Jakarta : Salemba Medika.
NANDA,
2005, Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006, Alih Bahasa : Budi
Santosa, Prima Medika, Jakarta
Noer,
Sjaifoellah. M. H 1996, Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid I, edisi 3,
Balai penerbit buku FKUI, Jakarta
Price, A & Wilson, M, 2005, Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6, Terjemahan, Jakarta : EGC.
Somantri,Irman.2008.Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan, Jakarta : Salemba Medika.
Smeltzer,
S & Bare, B 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta :
EGC.
Wilkinson, J. M., 2006, Buku
Saku Diagnosis Keperawatan, Jakarta : EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar