Rabu, 06 Februari 2013

ASKEP EMPIEMA



BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.   Definisi
§   Empiema adalah terkumpulnya cairan purulen (pus) dalam rongga pleura (Somantri, Irman. 2008).
§   Empiema sebagai cairan plura dengan kultur bakteri posistif atau leukosit         > 15.000/mm3 dengan protein >3gr/dl. Mense (1998) mendefinisikan empiema sebagai cairan pleura dengan kriteria:
1.         Didapatkan organisme/ kuman pada kutur cairan pleura pada pewarnaan gram
2.         Cairan berbentuk pus
3.         Analisa cairan pleura didapat Ph < 7,10 dengan LDH > 1000 IU/L atau dengan glukosa < 40,g/dl.
§   Empiema adalah keadaan terkumpulnya nanah ( pus ) didalam ronggga pleura dapat setempat atau mengisi seluruh rongga pleura.
( Ngastiyah,1997).
§   Empiema adalah penumpukan cairan terinfeksi atau pus pada kavitas pleura.
 ( Diane C. Baughman, 2000 ).
§   Empiema adalah penumpukan materi purulen pada areal pleural.
( Hudak & Gallo, 1997 ).
§   Dapat disimpulkan Empiema adalah suatu efusi pleura eksudat yang disebabkan oleh infeksi langsung pada rongga pleura yang menyebabkan cairan pleura menjadi purulen atau keruh

2.2.   Etiologi
Empiema dapat terjadi karena infeksi idiopatik atau dapat berkaitan dengan pneumonitis, karsinoma, perforasi, atau ruptura esofagus. Empiema yang sering terjadi adalah empiema yang disebabkan oleh perluasan infeksi pada parenkim paru, hasil penetrasi di dinding dada ( dr.R.Darmanto, Djojodibroto. 2009 ).

Adapun etiologi empiema:
1.    Berasal dari paru
a.         Pneumonia
Infeksi paru seperti pneumonia dapat menyebar secara langsung ke pleura, penyebaran melalui sistem limfatik atau penyebaran secara hematogen. Penyebaran juga bisa terjadi akibat adanya nekrosis jaringan akibat pneumoni.
b.        Abses Paru
Abses akibat aspirasi paling sering terjadi pada segmen posterior lobus atas dan segmen apikal lobus bawah, dan sering terjadi pada paru kanan, karena bronkus utama kanan lebih lurus dibanding kiri.
Abses bisa mengalami ruptur ke dalam bronkus, dengan isinya di ekspektorasikan keluar dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara, kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura sehingga terjadi empiema.
c.         Adanya fistel pada paru
d.        Bronkiektasis
e.         TB
f.         Infeksi fungidal paru

2.    Infeksi Diluar Paru
a.         Trauma dari tumor
b.        Pembedahan
Pembedahan thorak yang tidak steril dapat mengakibatkan masuknya kuman ke rongga pleura sehingga terjadi peradangan di rongga pleura yang dapat menimbulkan empiema. Akibat instrument bedah, rupturnya esophagus, bocornya anatomis esophagus dan fistula bronkopleural yang diikuti dengan pneumonektomi
c.         Thorakosentesis
d.        Abses hati karena amoeba

3.     Bakteri
a.        Staphylococcus Aereus
Bakteri ini adalah bakteri gram positif dengan sifatnya yang dapat menghemolisa darah dan mengkoagulasi plasma. Bakteri ini tumbuh dalam keadaan aerob, bakteri ini dapat memproduksi eksotoksin yang dapat menghemolisis eritrosit, kemudian leukocidin yang dapat membunuh leukosit, dan menyebabkan peradangan pada rongga pleura
b.        Streptococcus Pyogenic
c.         Bakteri gram Negatif
d.        Bakteri anaerob

2.3.    Manifestasi Klinik
1.        Tanda dan gejala empiema secara umum adalah :
2.        Demam
3.        Berkeringat di malam hari
4.        Nyeri pleura
5.        Batuk
6.        Malaise
7.        Dyspnea
8.        Anorexia
9.        Penurunan berat badan
10.    Inspeksi pada empiema kronik dapat dijumpai clubbing finger
11.    Auskultasi dada terdengar suara nafas akan melemah di daerah yang mengalami empiema
12.    Pada palpasi terdapat penurunan fremitus (fibrasi vokal)
13.    Pada perkusi terdapat bunyi redup.(Brunner & Suddarth, 2001)

Tanda gejala empiema berdasarkan klasifikasi empiema akut dan empiema kronis:
a.         Empiema akut:
a)    Panas tinggi dan nyeri pleuritik.
b)    Adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura.
c)    Bila dibiarkan sampai beberapa minggu akan menimbulkan toksemia, anemia, dan clubbing finger .
d)   Nanah yang tidak segera dikeluarkan akan menimbulkan fistel bronco-pleural.
e)    Gejala adanya fistel ditandai dengan batuk produktif bercampur dengan darah dan nanah banyak sekali.

b.        Empiema kronis:
o   Disebut kronis karena lebih dari 3 bulan.
o   Badan lemah, kesehatan semakin menurun.
o   Pucat, clubbing finger.
o   Dada datar karena adanya tanda-tanda cairan pleura.
o   Terjadi fibrothorak trakea dan jantung tertarik kearah yang sakit.
o   Pemeriksaan radiologi menunjukkan cairan.

2.4     KLASIFIKASI dan STADIUM
Empiema dibagi menjadi dua:
1.      Empiema Akut
Empiema akut disebabkan oleh infeksi akut di paru atau diluar paru. Mungkin pada fase infeksi, cairan tidak tampak sebagai pus tetapi sebagai cairan jernih kuning atau kekuning-kuningan. Sering timbul endapan fibrin sehingga sulit mengeluarkan nanahnya.
Empiema dapat berasal dari radang paru seperti pneumonia atau abses. Infeksi dari luar dapat disebabkan oleh trauma. Abses amoeba atau infeksi pleuritis eksudativa juga dapat mengakibatkan empiema akut, akhirnya harus disebut juga fungus sebagai penyebab.
2.      Empiema Kronik
Empiema disebut kronik bila paru sudah tidak bisa mengempis lagi ketika rongga pleura dibuka atau ketika dibuat hubungan langsung dengan dunia luar, umumnya keadaan ini disebabkan oleh terbentuknya fibrin yang merupakan pembukus tebal (sampai 1 cm) dan keras yang disebut korteks empiema. Karena adanya korteks ini paru tidak dapat menguncup bila rongga pleura dibuka. Kadang empiema menembus dinding dada sampai menyebabkan fistel kulit. Keadaan ini disebut empiema nesesitasis.
Apabila pleura parietalis dan viseralis menyatu pada tempat tertentu terjadi yang disebut lakunasi, sehingga empiema terdapat dibeberapa ruang. Karena kronik ini dapat terjadi karena penyebab empiema tidak dihilangkan, mungkin juga karena adanya benda asing.

Ada tiga stadium empyema yaitu:
1.        Stadium 1 disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada hari-hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan terjadi penimbunan cairan pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan mengandung elemen seluler yang kebanyakan terdiri atas neutrofil. Stadium ini terjadi selama 24 – 72 jam dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah dan enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal, drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat mempercepat perbaikan.
2.        Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium transisional yang dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya kekentalan dan kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri dan debris seluler. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membran fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium ini berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan LDH meningkat. Stadium ini berakhir setelah 7 – 10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube.
3.        Stadium 3 disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi pembentukan kulit fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi pleura dan membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tuba torakostomi untuk drainase. Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan hasil dari proliferasi fibroblast. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu setelah gejala awal.

2.5     Patofisiologi
          Mekanisme penyebaran infeksi sehingga mencapai rongga pleura
1.      Infeksi paru, infeksi paru seperti pneumonia dapat menyebar secara langsung ke pleura, penyebaran melalui sistem limfatik atau penyebaran secara hematogen. Penyebaran juga bisa terjadi akibat adanya nekrosis jaringan akibat pneumonia atau adanya abses yang ruftur ke rongga pleura.
2.      Mediastinum, kuman - kuman dapat masuk ke rongga pleura melalui tracheal fistula, esofageal fistula, adanya abses di kelenjar mediastinum
3.      Subdiafragma, adanya proses di peritoneal atau di visceral dapat juga menyebar ke rongga pleura
4.      Inokulasi langsung, inokulasi langsung dapat terjadi akibat trauma, iatrogenik, pasca operasi. Pasca operasi dapat terjadi infeksi dari hemotorak.
2.6     Pemeriksaan Diagnostik
1.    Rontgen dada
Foto thoraks PA dan lateral didapatkan gambaran opacity yang menunjukkan adanya cairan dengan atau tanpa kelainan paru. Bila terjadi fibrothoraks, trakea di mediastinum tertarik ke sisi yang sakit dan juga tampak adanya penebalan.
2.      Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
§  Pemeriksaan dapat menunjukkan adanya septa atau sekat pada suatu empiema yang terlokalisir.
§  Pemeriksaan ini juga dapat membantu untuk menentukan letak empiema yang perlu dilakukan aspirasi atau pemasangan pipa drain.
3.      Pemeriksaan CT Scan
§  Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan adanya suatu penebalan dari pleura.
§  Kadang dijumpai limfadenopati inflamatori intratoraks pada CT scan.

2.7     Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan empiema adalah :
2.7.1   Pengosongan nanah
Prinsip ini seperti umumnya dilakukan pada abses, untuk mencegah efek toksisnya
1.      Aspirasi Sederhana
Dilakukan berulangkali dengan memakai jarum lubang besar. Cara ini cukup baik untuk mengeluarkan sebagian besar pus dari empiema akut atau cairan masih encer. Kerugian teknik seperti ini sering menimbulkan “pocketed” empiema. USG dapat dipakai untuk menentukan lokasi dari pocket empiema.
2.      Closed drainase/ tube toracostomy water sealed drainage dengan indikasi :
1). Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi
2). Nanah terus terbentuk setelah 2 minggu
3). Terjadinya piopneumothoraks
Upaya WSD dapat dibantu dengan pengisapan negativ 10–20 cmH2O
3.      Drainase terbuka (Open drainage)
Open drainage dikerjakan pada empiema kronis, hal ini terjadi akibat pengobatan yang terlambat atau tidak adekuat dengan cara reseksi iga untuk mengangkat pleura yang mengalami penebalan, pus, debris, serta untuk mengangkat jaringan paru yg sakit dibawahnya.
(Brunner & Suddarth.2001)

2.7.2        Antibiotik
Antibiotik harus segera diberikan setelah diagnosis di tegakkan dan dosisnya harus tepat. Antibiotik dapat di berikan secara sistemik atau topikal. Biasanya diberikan penisilin. Pemilihan antibiotika didasarkan pada hasil pengecatan Gram dari hapusan nanah. Pengobatan selanjutnya tergantung pada hasil kultur dan sensitivitasnya. Metronidazole dapat ditambahkan untuk organisme gram negatif anaerob yang menghasilkan   b-laktamase. Sefalosporin generasi kedua seperti cefoxitin sangat potensial terhadap gram negatif yang menghasilkan b-laktamase.

2.7.3        Penutupan rongga empiema
1.    Dekortikasi
Merupakan pembedahan yang bertujuan untuk mengangkat / membebaskan pleura viseralis dari penumpukan.
Tindakan ini termasuk operasi besar dengan indikasi :
1). Drain tidak berjalan baik karena banyak kantung-kantung
2). Letak empiema sukar dicapai oleh drain
3). Empiema totalis yang mengalami organisasi pada pleura viseralis
2.    Torakoplasti
Jika empiema tidak sembuh karena adanya fistel bronkopleura atau tidak mungkin dilakukan dekortikasi. Pada pembedahan ini, segmen dari tulang iga dipotong subperiosteal, dengan demikian dinding toraks jatuh ke dalam rongga pleura karena tekanan atmosfer.
3.    Pengobatan kausal
Misalnya subfrenik abses dengan drainase subdiagfragmatika, terapi spesifik pada amoebasis dan sebagainya.
4.    Pengobatan tambahan
Perbaiki keadaan umum lalu fisioterapi untuk membebaskan jalan nafas.

Penanggulangan empiema tergantung dari fase empiema, yaitu :
1.         Fase I (Fase Eksudat)
Dilakukan drainase tertutup (WSD) dan dengan WSD dapat dicapai tujuan diagnostik terapi dan prevensi, diharapkan dengan pengeluaran cairan tersebut dapat dicapai pengembangan paru yang sempurna.
2.     Fase II (Fase Fibropurulen)
Pada fase ini penanggulangan harus lebih agresif lagi yaitu dilakukan drainase terbuka (reseksi iga/ "open window") . Dengan cara ini nanah yang ada dapat dikeluarkan dan perawatan luka dapat dipertahankan. Drainase terbuka juga bertujuan untuk menunggu keadaan pasien lebih baik dan proses infeksi lebih tenang sehingga intervensi bedah yang lebih besar dapat dilakukan. Pada fase II  ini VATS surgery sangat bermanfaat, dengan cara ini dapat dilakukan empiemektomi dan/ atau dekortikasi.
3.     Fase III (Fase Organisasi)
Dilakukan intervensi bedah berupa dekortikasi agar paru bebas mengembang atau dilakukan obliterasi rongga empiema dengan cara dinding dada dikolapskan (Torakoplasti) dengan mengangkat iga-iga sesuai dengan besarnya rongga empiema, dapat juga rongga empiema disumpel dengan periosteum tulang iga bagian dalam dan otot interkosta (air plombage), dan disumpel dengan otot atau omentum (muscle plombage atau omental plombage).


2.8     Komplikasi
a)        Syok
b)        Perdarahan,  perluasan hematogen yang mengakibatkan meningitis
c)        Pneumothoraks
  Sebagian komplikasi dapat terjadi perluasan per-kontinuitatum:
d)       Perikarditis purulenta
e)        Fistel bronkus
f)         Abses paru
g)        Piopneumotoraks
h)        Nanah dapat pula menembus dinding toraks sehingga timbul empiema nesesitasis

2.9       Prognosis
Prognosis empiema dipengaruhi oleh umur, panyakit dasarnya dari pengobatan permulaan yang adekuat. Angka kematian meningkat pada usia tua, penyakit dasar yang berat dan pengobatan yang terlambat.


2.11  Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi:
1.    Identitas Pasien
Nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan, pendidikan, agama, alamat.
2.    Keluhan Utama
Keluhan yang dirasakan klien saat pengkajian yaitu batuk ada secret, sesak nafas.
3.    Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing, sesak nafas, batuk ada sekretnya, nafsu makan menurun.
4.    Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mempunyai riwayat penyakit TB paru, kegagalan jantung kiri, tumor primer pleura.
5.    Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga mempunyai penyakit yang menurun atau menular.
6.    Psikososial
Klien biasanya cemas dengan keadaaan sakitnya

2.12   Pemeriksaan Fisik
a.         Pernafasan (B: Breathing)
       Inspeksi: masih didapatkan perubahan kesimetrisan rongga dada, klien sesak nafas, mengguanakan otot bantu nafas, keringat dingin, nafas cepat dan dangkal.
       Palpasi: taktil premitus menurun/hilang pada daerah yang sakit, ICS melebar pada sisi yang sakit
       Perkusi: Bunyi redup/pekak pada sisi yang sakit
       Auskultasi: Bunyi nafas hilang/melemah pada sisi yang sakit, biasanya didapatkan suara ronkhi atau wheezing

b.         Kardiovaskuler (B: Blood)
       capillary refill dibawah 1 detik, sering didapatkan keringat dingin dan pusing, Leher: biasanya JVP dalam batas normal, Kepala dan wajah: dilihat adanya sianosis

c.         Persyarafan (B3: Brain )
       Kesadaran biasanya compos mentis, pada kasus lebih parah klien bisa mengeluh pusing dan gelisah
       Mata: Sklera biasanya tidak ikterik, konjungtiva didapatkan anemis pada kasus efusi pleura haemorragis kronis
        

d.        Perkemihan (B4: Blader )
       Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada system perkemihan

e.         Pencernaan (B5: Bowel )
       Klien biasanya mual, nyeri lambung dan menyebabkan klien tidak nafsu makan. Peristaltik menurun menyebabkan klien jarang BAB

f.          Tulang, otot dan integumen (B6: Bone )
       Karena pengguanaan otot Bantu nafas yang lama klien terlihat kelelahan, sering didapatkan intoleransi aktifitas.

 2.13 Pemeriksaan Penunjang
1.        Laboratorium
a.    Pemeriksaan kultur bakteri positif atau leukosit >15.000/mm3 dengan protein >3gr/dl
b.    Analisa cairan pleura didapat Ph < 7,10 dengan LDH > 1000 IU/L atau dengan glukosa < 40 g/dl.

2.14   Diagnosa Keperawatan
1.      Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura
2.      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas karena sekret
3.      Nyeri dada berhubungan dengan factor-faktor biologis ( trauma jaringan) dan factor-faktor fisik (pemasangan selang dada)
4.      Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan.
5.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan  anoreksia, intoleransi makanan, hilangnya nafsu makan, mual/ muntah.
6.      Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum.
7.      Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernafas).

1.15          Rencana Asuhan Keperawatan
1.         Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
Tujuan : pola nafas kembali efektif dan normal.
                                    Kriteria Hasil
-            Pola nafas kembali normal.
-            Tidak ada tanda hipoxia.
-            Tidak ada gejala sianosis.
-            RR dalam batas normal 16-20x/menit
-            Retraksi(-)


Rencana tindakan
1.       Identifikasi faktor penyebab
R/: dengan mengidentifikasikan penyebab kita dapat menentukan jenis empiema sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.
2.       Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi.
R/: dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien.
3.       Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60-90 derajat.
R/: penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal.
4.       Observasi tanda-tanda vital (RR)
R/: peningkatan RR dan tachicardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.
5.       Lakukan auskultasi suara nafas
R/: auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas pada bagian paru.
6.       Bantu dan ajarkan untuk batuk dan nafas dalam yang efektif.
R/: menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif.
7.       Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2, obat-obatan serta foto thorak
R/: pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah terjadinya sianosis akibat hipoxia dengan foto thorax dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang paru.


2.        Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas karena sekret
Tujuan                     : Pertukaran gas dapat dipertahankan
Kriteria standart     :
-Perbaikan sirkulasi dan oksigenasi
-GDA dalam batas normal
-Tanda distress pernafasan tidak ada
Rencana tindakan
1.        Kaji frekuensi dan kedalaman pernafasan, catat penggunaan otot bantu pernafasan dan ketidakmampuan bicara karena sesak
R/: Evaluasi derajat distress nafas dan kronis atau tidaknya proses penyakit
2.        Bantu klien untuk mencari posisi yang memudahkan bernafas, dengan kepala lebih tinggi
R/: membantu mengurangi sesak karena ekspansi paru dapat maksimal
3.        Bantu klien untuk batuk efektif
R/: Batuk efektif membantu mengeluarkan sputum sebagai sumber utama gangguan pertukaran gas.
4.        Auskultasi suara nafas
       R/: Suara nafas redup oleh karena adanya penurunan penurunan aliran udara /  konsolidasi. Mengi menunjukkan adanya bronkospasme dan kracles menunjukkan adanya cairan.


3.        Nyeri dada berhubungan dengan factor-faktor biologis ( trauma jaringan) dan factor-faktor fisik (pemasangan selang dada)
Tujuan                     : nyeri berkurang dan klien dapat beradaptasi dengan nyeri yang ada
Kriteria hasil           :
§  Mengungkapkan rasa nyeri di dada kiri berkurang
§  Dapat bernafas tanpa rasa nyeri
§  Tanda vital dalam batas normal
§  Hasil laborat : Leukosit dalam batas normal
Rencana tindakan
1.             Pantau nadi dan tekanan darah tiap 3 – 4 jam
R/: Identifikasi kemajuan / penyimpangan dari hasil yang diharapkan
2.             Kaji tingkat nyeri dan kemampuan adaptasi
R/: Memantau tingkat nyeri dan respon klien terhadap nyeri yang timbul
3.             Berikan tindakan untuk memberikan rasa nyaman / mengurangi nyeri
R/: Berupa relaksasi, distraksi visual, distraksi motorik, pengaturan posisi
4.             Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik
R/: Mengontrol nyeri dan memblok jalan rangsang nyeri
5.             Konsultasi ke dokter bila nyeri bertambah
R/: Merupakan gejala yang berat yang mungkin timbul

4.             Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan.
Tujuan                : suhu tubuh normal 36oC – 37oC
Kriteria hasil      :
§   Pasien akan termoregulasi, dibuktikan dengan suhu kulit dalam rentang normal.
§   Nadi dan pernapasan dalam rentang yang diharapkan.
§   Perubahan warna kulit tidak ada.
Rencana tindakan
1.      Pantau suhu minimal 2 jam sekali.
R/: Untuk mengidentifikasi kemajuan-kemajuan atau penyimpangan dari sasaran yg diharapkan.
2.       Pantau  tekanan darah, nadi, pernapasan.
R/: Perubahan frekuensi jantung atau TD menunjukkan bahwa pasien mengalami nyeri, khususnya bila alasan lain untuk perubahan tanda vital telah terlihat.
3.      Pantau aktifitas kejang dan warna kulit
R/: Hal tersebut merupakan tanda berkembangnya komplikasi.
4.      Anjurkan menggunakan pakaian yang menyerap keringat
R/: mengurangi penguapan yang berlebih
5.      Anjurkan keluarga untuk mengompres pasien
R/: membantu menurunkan  panas
6.      Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian obat antipiretik sesuai dengan anjuran dan evaluasi keefektifannya.
R/: menentukan terapi yang tepat

5.        Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan  anoreksia, intoleransi makanan, hilangnya nafsu makan, mual / muntah.
Tujuan                  : Mempertahankan nutrisi sesuai kebutuhan
Kriteria hasil         :
§  Mempertahankan berat badan
§  Nafsu makan meningkat
§  Tidak mual dan muntah
Rencana tindakan :
a.    Kaji kebiasaan diit ,catat derajat kesulitan makan
R/: Pasien distress pernafasan akut sering anoreksia karena dispneu, produksi sputum.
b.    Sajikan makan, sedikit tapi sering
R/ : Untuk memenuhi kebutuhan agar tetap terjaga.
c.    Hidangkan makan dengan hangat
R/: menambah nafsu makan
d.        Auskultasi bunyi usus .
R/: Penurunan atau hipoaktif  bising usus menunjukkan motilitas gaster dan kostipasi yang berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan, pilihan makanan buruk, penurunan aktivitas dan hipoksemia.
e.       Hindari makan yang mengandung gas dan minuman karbonat
R/ : Dapat menghasilkan distensi abdomen yang menganggu nafas abdomen dan gerakan diagframa yang dapat meningkatan dispnea.
f.  Hindari makan yang sangat panas dan dingin
R
/ : suhu ekstrim dapat mencetuskan / meningkatkan spasme batuk
g. Timbang berat badan sesuai indikasi
R/ : Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan berat badan dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
h.      Kolaborasi dengan ahli gizi / nutrisi.
R/ : Metode makan dan kebutuhan dengan upaya kalori didasarkan pada kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi maksimal dengan upaya minimal pasien / penggunaan energi

6.             Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum.
Tujuan                : kebutuhan aktivitas tidak terganggu
Kriteria hasil      :
§  Memeragakan metode batuk, bernapas, dan penghematan energi yang efektif.
§  Mengidentifikasi tingkat aktifitas yang dapat di capai atau di pertahankan secara realistis.
Rencana tindakan
1.             Jelaskan aktifitas dan faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan oksigen
          R/: Merokok, suhu ekstrim dan stres dan menyebabkan fasikonstriksi pembuluh darah dan meningkatkan beban jantung
2.             Ajarkan program hemat energi
          R/: Mencegah penggunanan energi yang berlebihan
3.             Buat jadwal aktifitas harian, tingkatkan secara bertahap
          R/: Mempertahankan pernapasan lambat dengan tetap memperhatikan latihan fisik yang memungkinkan peningkatan otot batu pernapasan
4.             Ajarkan teknik nafas efektif
          R/ Meningkatkan oksigenasi tanpa mengorbankan banyak energi
5.             Pertahankan terapi oksigen tambahan
          R/: Mempertahankan, memperbaiki, dan meningkatkan konsentrasi oksigen darah
6.             Kaji respon abnormal setelah aktifitas
          R/: Respon abnormal meliputi nadi, tekanan darah gan pernapasan yang meningkat
7.             Beri waktu istirahat yang cukup
          R/: Meningkatkan daya tahan klien, mencegah kelelahan

7.             Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernafas)
            Tujuan                        :            tidak ada perasaan cemas
Kriteria standart          :
·           Menungkapkan perasaan ansietas
·           Memperagakan teknik bernapas untuk mengurangi dipsnea

Rencana tindakan
1.      Jelaskan tujuan tarapi pada klien
R/: Mengorientasikan program terapi, membantu menyadarkan klien untuk memperoleh kontrol
2.      Ajarkan tindakan untuk membantu mengontrol dispnea
R/: Pengontrolan dipsnea melalui diet seimbang, istirahat cukup dan aktifitas yang dapat ditoleransi
3.      Ajarkan klien melakukan latihan napas
R/: Latihan napas dengan spirometri insentif , latihan efek paru atau latihan posterior paru atau latihan area iga lateral bawah
4.      Ajarkan dan evaluasi teknik drainase postural
R/: Memfasilitasi pengeluaran sekret
5.      Jelaskan bahayanya infeksi dan cara menurunkan resiko
R/: Mencegah infeksi, baik sekunder maupun primer yang mungkin diakibatkan oleh gangguan napas
6.      Anjurkan klien untuk melaporkan gejala penting dengan segera
R/: Mencegah komplikasi yang tidak terpantau atau gejala yang dianggap normal oleh klien
7.      Ajarkan atau observasi penggunaan nebulizer atau inhaler dosis terukur
R/: Mencegah penggunaan inhaler melebihi dosis



DAFTAR PUSTAKA



Al sagaff H dan Mukti. A, Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press, Surabaya ; 1995

Doenges, Marilynn E, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, EGC, Jakarta

Engran Barbara, 1994, Rencana asuhan keperawatan medikal bedah, Volume 1, EGC, Jakarta

Gibson, John, MD.1995, Anatomi Dan Fisiologi Modern Untuk Perawat, Jakarta : EGC
Mansjoer, A. 2001, Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke 3 Jilid I, Jakarta : Media Aesculapius FKUI.

Muttaqin, Arif, 2008, Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan, Jakarta : Salemba Medika.


NANDA, 2005, Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006, Alih Bahasa : Budi Santosa, Prima Medika, Jakarta

Noer, Sjaifoellah. M. H 1996, Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid I, edisi 3, Balai penerbit buku FKUI, Jakarta


Price, A & Wilson, M, 2005, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6, Terjemahan, Jakarta : EGC.


Somantri,Irman.2008.Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan, Jakarta : Salemba Medika.

Smeltzer, S & Bare, B 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : EGC.

Wilkinson, J. M., 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Jakarta : EGC.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar