BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Anatomi
Nasofaring
Nasofaring adalah
bagian posterior rongga nasal yang membuka ke arah rongga nasal melalui dua
naris internal (koana).
- Dua tuba eustachius (auditorik) menghubungkan nasofaring dengan telinga tengah. Tuba ini berfungsi untuk menyetarakan tekanan udara pada kedua sisi gendang telinga.
- Amandel (adenoid) faring adalah penumpukan jaringan limfatik yang terletak di dekat naris internal. Pembesaran adenoid dapat menghambat aliran udara (Sloane, 2003).
Nasofaring merupakan
rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral. Ke depan berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana sehingga sumbatan hidung meruapakan gangguan
yang sering timbul. Demikian juga penyebaran tumor ke lateral akan menyumbat
muara tuba eustachius dan akan mengganggu pendengaran serta menimbulkan cairan
di telinga tengah. Ke arah belakang dinding
melengkung ke atas dan ke depan
dan terletak di bawah korpus os sphenoid dan bagian basilar dari os oksipital.
Nekrosis akibat penekanan mungkin timbul di tempat-tempat tersebut. Di belakang
atas torus tubarius terdapat resesus faring atau fosa rosenmuleri dan tepat di
ujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Tumor dapat menjalar kearah
intracranial dalam dua arah, masing-masing menimbulkan gejala-gejala neurologic
yang khas. Perluasan langsung melalui foramen laserum ke sinus kavernosus dan
fosa kranii media menyebabkan gangguan saraf otak III, IV, VI dan kadang-kadang
II. Sebaliknya, penyebaran ke kelanjar faring lateral dan sekitar selubung karotis/ jugularis pada
ruang retreparotis akan menyebabakn kerusakan saraf otak ke IX, X, XI dan XII.
Saraf otak ke VII dan VIII biasanya jarang terkena.
Jaringan limfe di
nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral
bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar rouviere). Terdapat hubungan
bebas melintasi garis tengah dan hubungan langsung dengan mediastinum melalui
rongga ruang retrofaring. Metastasis jauh sering terjadi.
Pembagian daerah nasofaring
- Dinding posterosuperior: daerah setinggi batas palatum durum dan mole sampai dasar tengkorak.
- Dinding lateral: termasuk fosa resenmuleri.
- Dinding inferior: terdiri atas permukaan superior palatum mole.
Gambar 1. Anatomi hidung, dimana
terdapat nasofaring
Pengertian
Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring
adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fosa
Rossenmuller dan atap nasofaring. Keganasan ini termasuk 5 besar bersama kanker
mulut rahim, payudara, kulit dan getah bening sedangkan pada laki-laki merupak
tumor yang paling banyak ditemukan (Roezin, 2003).
Karsinoma nasofaring merupakan
keganasan yang mempunyai predisposisi rasial yang sangat mencolok. Insidennya
paling tinggi pada ras Mongoloid terutama pada penduduk di daerah Cina bagian
selatan, Hongkong, Singapura, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia penyakit ini
ditemukan pertamakali oleh Banker pada tahun 1926, kemudian laporan kasus dalam
jumlah cukup banyak baru setelah tahun 1953. Keganasan ini ditemukan lebih
banyak pada laki-laki dari perempuan dalam perbandingan 2,5:1.
Nasofaring sendiri
merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai struktur berbentuk kuboid.
Banyak terdapat struktur anatomis penting di sekitarnya. Banyak syaraf kranial
yang berada di dekatnya, dan juga pada nasofaring banyak terdapat limfatik dan
suplai darah. Struktur anatomis ini mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi
dari kanker tersebut.
Etiologi dan
Faktor Predisposisi
Ada
3 faktor penyebab terjadinya kanker nasofaring, yaitu adanya infeksi Virus
Epstein Barr (EBV), faktor genetik, dan faktor lingkungan yang memungkinkan
terjadinya insidens yang tinggi pada kanker nasofaring di Cina.
a. Virus Epstein
Barr (EBV)
Pada
hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya kanker
nasofaring dengan keberadaan virus ini. Virus ini merupakan virus DNA yang
diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini
sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu, mononucleosis infeksiosa,
penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan kanker nasofaring.
Virus
ini seringkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya tetapi juga
dapat dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit.
Virus tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan
suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini
dibutuhkan suatu mediator. Jadi, adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain
tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.
b. Faktor Genetik
Telah
banyak ditemukan kasus herediter dari pasien karsinoma nasofaring. Penelitian
pertama menemukan adanya perubahan genetik pada ras Cina yang dihubungkan
dengan karsinoma nasofaring adalah penelitian tentang Human Leucocyte
Antigen (HLA). Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker
secara tidak terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat
mutasi, putusnya kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik.
Teori tersebut didukung dengan adanya
studi epidemiologik mengenai angka kejadian dari kanker nasofaring. Kanker
nasofaring banyak ditemukan pada masyarakat keturunan Tionghoa.
c. Faktor Lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu
faktor etiologi terjadinya kanker nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden
kanker nasofaring yang tinggi pada nelayan tradisionil di Hongkong yang
mengkonsumsi ikan kanton yang diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang
mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar.
Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya
kanker nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap
dupa, serbuk kayu industri, dan obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang
jelas antara zat-zat tersebut dengan kanker nasofaring belum dapat dijelaskan.
Belakangan ini
penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (chinese herbal medicine atau
CHB) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara terjadinya kanker
nasofaring, infeksi Virus Epstein Barr (EBV), dan penggunaan CHB. Kebiasaan
merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko yang tinggi menderita
kanker nasofaring.
Klasifikasi
Klasifikasi kanker nasofaring menurut
WHO tahun 1978, ada 3 jenis bentuk histology (Saputra, 2006):
- Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi, terdapat jembatan interseluler dan keratin, dapat dilihat dengan mikroskop cahaya.
- Karsinoma nonkeratinisasi, pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya terdapat tanda diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi skuamosa.
- Karsinoma tidak berdiferensiasi, sel mempunyai inti vesikuler, nucleolus yang menonjol dan dinding sel tidak tegas, tumor tampak lebih berbentuk sinsitium daripada bentuk susunan batubata.
Patofisiologi
Sudah hampir dipastikan ca.nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal
ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita
ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protin tertentu
yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus
didalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda adanya EBV,
seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang
berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan
konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen yang
menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga
terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal inilah yang
memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada
fossa Rossenmuller.
Gejala
Klinis
Gejala kanker
nasofaring dikelompokkkan dari gejala telinga, gejala hidung, gejala neurologik
dan pembesaran getah bening leher.
- Gejala telinga berupa tinitus, rasa penuh sampai tuli konduktif akibat otitis media serosa atau otitis media serosa kronis, seharusnya merupakan gejala dini. Akan tetapi sering penderita datang ke dokter yang pertama memeriksa mengabaikan keluhan ini sehingga baru disadari setelah timbul stadium yang lanjut berupa adanya pembesaran getah bening leher.
- Gejala hidung dapat berupa sumbatan, epistaksis ringan dan pilek. Pada keadaan lanjut kanker masuk ke hidung dan sinus paranasal dengan meninmbulkan gejala sumbatan yang lebih berat.
- Gejala neurologik terjadi karena infiltrasi tumor ke rongga tengkorak. Gejala neurologik yang pertama timbul karena infiltrasi tumor ke intrakranial melalui foramen laserum mengenai saraf otak Ke III, IV, V dan VI yang mempersyarafi otot-otot mata sehingga terjadi diplopia dan rasa baal di daerah pipi.
- Pada keadaan lanjut tumor akan masuk ke foramen jugulare, mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII dengan gejala paresis atau paralisis arkus faring (kranial IX) , kelumpuhan otot bahu (paralisis kranial XI), sering tersedak (paralisis kranial XII). Metastase jauh yang sering terjadi adalah ke tulang, paru dan hati dengan gejala khas nyeri pada daerah tulang yang terkena, batuk-batuk atau gejala gangguan fungsi hati.
Diagnosis
Pemeriksaan penunjang
dasar dan lanjutan
- Pemeriksaan radiollogik konvensional
Pada
pemeriksaan radiologik konvensional foto tengkorak potongan antero-posterior,
lateral dan posisi Waters tampak massa jaringan lunak di daerah nasofaring.
Pada foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang di daerah fosa
serebri media.
- Pemeriksaan tomografi komputer
Pemeriksaan
yang paling dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan perluasan tumor. Pada
stadium dini terlihat adanya asimetri dari resesus lateralis, torus tubarius
dan dinding posterior nasofaring.
- Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal dll. Dapat mendeteksi kemungkinan adanya metastase jauh. Pemeriksaan serum darah untuk mengukur kadar Ig A anti VCA, anti EA dan lain-lain terhadap virus Epstein-Barr dapat dilakukab untuk memamstikan adanya tumor, mendeteksi kekambuhan atau mendeteksi secara dini (Roezin, 2003).
Diagnosis pasti
ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan 2
cara (Roezin, 2004):
- Mengambil biopsi daru hidung yaitu mengambil jaringan tumor tanpa melihat dengan jelas tumornya. Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyelususri konka inferior terus ke belakang dan diarahkan ke lateral.
- Mengambil biopsi dari rongga mulut. Cara ini dilakukan dengan bantuan 2 buah kateter nelaton yang masing-masing dimasukkan melalui hidung, lalu dikeluarkan melalui mulut sehingga dapat menarik palatum mole ke depan. Kemudian dengan kaca tenggorok dilihat daerah nasofaring. Setelah terlihat massa tumor dengan jelas dilakukan biopsi yang terarah.
Bagian THT FKUI-RSCM dipakai stadium
tumor (1992):
T = Menggambarkan kedaan tumor primer
T 1= Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
T 2= Tumor meluas lebih dari 1 lokasi,
tetapi masih di dalam rongga nasofaring.
T 3 = Tumor meluas ke rongga hidung atau
orofaring
T 4 = Tumor meluas ke tengkorak tanpa
atau sudah mengenai saraf-saraf otak.
N = Menggambarkan keadaan kelenjar limfe
regional.
N0 = Tidak ada pembesaran kelenjar
N 1 = Terdapat pembesaran sebuah
kelenjar homolateral yang masih digerakkan dengan diameter ≤ 3cm
N 2 = Terdapat pembesaran sebuah
kelenjar kontralateral/bilateral danmasih dapat digerakkan, diameter antara 3-6
cm.
M = Metastasis jauh
M 0 = Tidak ada metastasis jauh
M 1 = Terdapat metastasis jauh.
Stadium I:
T1 N0 N0
Stadium II:
T2 N0 M0
Stadium III:
T1/T2/T3 N1 M0
Atau T3 N0 M0
Stadium IV:
T4 N0/N1 M0
Atau T1/T2/T3/T4 N2/N3 M0
Atau T1/T2/T3/T4 N0/N1/N2/N3 M1
2.1.6
Terapi
Radioterapi
Radioterapi masih tetap
merupakan modalitas terapi primer untuk kanker nasofaring regional yang
membesar. Ini disebabkan lokasi nasofaring berdekatan dengan struktur yang
penting, serta sifat infiltrasi kanker nasofaring, sehingga pembedahan sulit
dilakukan. Selain itu kanker nasofaring memiliki sensitivitas tinggi terhadap
radiasi maupun kemoterapi dibandingkan kanker kepala dan leher lainnya.
Pada pasien kanker
nasofaring stadium dini (stadium I dan II) terapi pilihan adalah radioterapi
definitif. Pada kanker nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) pemberian
kemoterapi dikombinasikan dengan radioterapi.
Dosis radiasi untuk tumor
primer diberikan 65-75 Gy dan pada kelenjar leher 65-70 Gy. Dosis untuk terapi
profilaksis pada leher dengan kelenjar negatif adalah 50-60 Gy. Dosis radiasi
perfraksi yang diberikan adalah 200 cGy DT (dosis tumor) diberikan 5 kali
seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah itu radiasi dilanjutkan
untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-7000cGy.
Dengan pemberian radioterapi
saja telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90& kasus dan tumor
T3 dan T4 pada 50-75% kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai 90% pada kasus N0
dan N1, tapi tingkat kontrol berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3.
Ada 2 cara utama
pemberian radioterapi, yaitu
1. Radiasi
eksterna / teleterapi
Sumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang
ditempatkan di luar tubuh. Sinar diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi.
Radiasi ini ditujukan pada kanker primer di daerah nasofaring dan ruang
parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas dan bawah serta
klavikula.
2. Radiasi
interna / brakiterapi
Sumber radiasi dimasukkan ke dalam rongga nasofaring pada
tempat tumor berada atau berdekatan dengan tumor guna memberikan dosis maksimal
pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cedera yang serius pada jaringan
sehat di sekitarnya. Terapi ini diberikan pada kasus yang telah memperoleh
dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau
pada kasus kambuh lokal.
Setelah
diberikan terapi radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap
radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan
pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan
kriteria WHO, yaitu :1
- Complete
Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar
- Partial
Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih
- No Change :
ukuran kelenjar getah bening yang menetap
- Progressive
disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih
Radioterapi
memegang peranan penting pada perawatan kanker nasofaring. Daerah yang diradiasi melibatkan keseluruhan
nasofaring dan kelenjar getah bening pada leher. Tidak dapat dihindari, daerah
yang diradiasi juga melibatkan rongga mulut, maksila, mandibula, dan kelenjar
saliva. Bagaimanapun, radioterapi ini memberikan manfaat pada jaringan, tetapi
juga memiliki efek samping yang tidak dapat dihindarkan.
Rongga
mulut mempunyai resiko yang tinggi terhadap perawatan radioterapi, sebab
radioterapi yang digunakan untuk merusak sel kanker juga dapat merusak sel
normal rongga mulut dengan menghentikan pertumbuhan sel-sel secara cepat dan
mencegah reproduksi sel-sel di dalam mulut, sehingga akan sulit bagi jaringan
mulut untuk mengadakan perbaikan. Sebagai hasilnya, komplikasi oral dapat
terjadi seperti mukositis, kandidiasis, xerostomia, dysgeusia, karies gigi,
osteoradionekrosis, dan nekrose pada jaringan lunak.
Komplikasi
akut yang dapat terjadi adalah mukositis, kandidiasis, dysgeusia dan xerostomia
(mulut kering), sedangkan yang bersifat kronis adalah karies gigi,
osteoradionekrosis, dan nekrose pada jaringan lunak. Reaksi akut terjadi selama
terapi dan biasanya bersifat reversibel, sedangkan reaksi yang bersifat kronis
biasanya terjadi menahun dan bersifat irreversibel.
Kemoterapi
Pemberian kemoterapi pada
kanker nasofaring diindikasikan pada kasus penyebaran ke kelenjar getah bening
leher, metastasis jauh dan kasus-kasus residif. Kemoterapi dapat diberikan
sebelum (neoadjuvan), selama (concurrent) atau setelah (adjuvan) pemberian
kemoterapi. Regimen keomterapi aktif antara lain: cisplatin, 5-fluorouracil
(5-FU), doxorubicin, epirubicin, bleomycin, mitoxantron, methotrexate dan
alkaloid vinca.
Dasar pemberian kemoterapi
neoadjuvan/ induksi kemoterapi dengan radioterapi ada 2. Pertama: reduksi
sitotoksik tumor primer dan kelenjar dapat meningkatkan kontrol lokoregional.
Kedua: eradikasi mirometastase sistemik pada stadium dini dapat mengurangi relaps
metastasis jauh. Pemberian kemoterapi saat siklus radioterapi (concominant)
menawarkan potensi sensitivitas tumor terhadap radiasi dan juga kemungkinan
eradikasi mikrometastase. Akan tetapi juga menawarkan peningkatan resiko
toksisitas. Tujuan kemoterapi adjuvan yang diberikan setelah radioterapi adalah
untuk mengurangi tingginya tingkat kegagalan terhadap metastase jauh.
Sampai sekarang regimen
dengan dasar platinum merupakan standart kemoterapi pada pasien kanker
nasofaring dengan metastase, terapi lini pertama yang paling banyak digunakan
adalah kombinasi cisplatin dan 5-FU, yang mencapai rasio respon 66%-76%.
Kombinasi platinum dengan bahan baru seperti gemcitabine atau paclitaxel telah
menunjuukan respon yang baik.
Pembedahan
Pembedahan hanya sedikit
berperan dalam penatalaksanaan kanker nasofaring. Terbatas diseksi leher
radikal untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten dan metastase leher
setelah radioterapi, pada pasien tertentu pembedahan penyelamatan (salvage
treatment) dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher
tanpa metastase jauh. Populasi yang rentan sebelum infeksi virus Epstein Barr
untuk mencegah terjadinya kanker nasofaring. Pembedahan diseksi leher radikal
dilakukan jika masih ada sisa kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan
kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan hilang yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologik, serta tidak
ditemukannya metastasis jauh.
Prognosis
Dari
laporan terbaru Dickson menemukan rasio karsinoma nasofaring selama 5 tahun
dari 1969 sampai 1973, Dickson membuat pengamatan sebagai berikut (Saputra,
2006):
- Karsinoma sel skuamosa tanpa pertandukan mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan dengan karsinoma sel skuamosa dengan pertandukan.
- Angka bertahan hidup jika tumor terbatas pada nasofaring dengan atau tanpa kelenjar, angka bertahan hidup meningkat sampai 45%.
- Pasien-pasien yang disinar dengan 6000 rads atau lebih dapat bertahan hidup 5 tahun tanpa melihat stadium.
- Biopsi eksisional kelenjar praradiasi secara pasti memberikan angka bertahan hidup yang lebih buruk.
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
Pengkajian
Identitas
Kanker nasofaring meliputi sekitar 20%
atau lebih dari seluruh keganasan kepala dan leher. Pada anak-anak dan orang
dewasa kurang dari 30 tahun, lebih sering ditemukan daripada tumor ganas lain
pada saluran napas bagian atas. Karsinoma nasofaring didapatkan banyak di cina
selatan dan asia tenggara termasuk Indonesia. Insiden yang tinggi ini
dihubungkan dengan kebiasaan makan, lingkungan dan virus epstein-barr.
Keluhan
Utama
Adanya rasa penuh pada telinga sampai
tuli konduksi dan pembesaran kelenjar getah bening pada leher.
Riwayat Penyakit Sekarang
Adanya rasa penuh pada telinga sampai
tuli konduksi, pembesaran kelenjar getah bening pada leher, sumbatan pada
hidung, pilek, eistaksis, diplopia, paresis, enoftalmus dan ptosis.
Riwayat Penyakit Dahulu
Otitis media serosa, mengkonsumsi ikan
asin, asap rokok, kekurangan vitamin C dan vitamin A.
Pemeriksaan
fisik.
a.
B1
RR meningkat, sesak napas, produksi sekret kental
meningkat, epistaksis.
b. B2
Takikardia, Hipertensi (nyeri hebat)
c. B3
Pusing, nyeri
Telinga: rasa penuh pada telinga sampai tuli konduksi,
nyeri telinga, tinitus.
Hidung: sumbatan hidung, produksi sekret meningkat,
epistaksis
Mata: miosis, enoftalmus, ptosis, juling dan diplopia.
d. B4
Normal
e. B5
Disfagia, Nafsu makan turun, BB turun.
f. B6
Normal
Diagnosa
Keperawatan
Diagnosa keperawatan
yang muncul pada pasien kanker nasofaring antara lain :
- Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan jumlah produksi sekret.
- Nyeri akut berhubungan dengan proses pembedahan.
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesukaran menelan.
- Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan fungsi pendengaran.
- Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan.
- Ansietas berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan.
Inetrvensi
Keperawatan
- Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan jumlah produksi sekret.
Tujuan
: jalan napas bersih
Kriteria
Hasil:
-
Jalan napas paten
-
Produksi sekret berkurang
Intervensi:
1. Catat
perubahan upaya dan pola bernapas.
R/
penggunaan otot interkostal/ abdominal dan pelebaran nasal menunjukkan upaya
bernapas.
2. Catat
karakteristik produksi sekret (jumlah, warna dan bau).
R/
Jumlah sekret yang banyak dan kental memerlukan intervensi lanjut.
3. Berikan
pasien posisi semi atau fowler. Bantu pasien untuk napas dalam.
R/
posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernapasan.
4. Bersihkan
sekret dari hidung dengan penghisapan sesuai dengan keperluan.
R/
mencegah aspirasi. Penghisapan dapat diperlukan bila pasien tidak mampu
mengeluarkan sekret.
5. Kolaborasi
dengan dokter dalam obat-obat:
·
Agen mukolitik : agen mukolitik menurunkan kekentalan dan memudahkan pembersihan.
·
Kortikosteroid :menurunkan inflamasi yang mengancam hidup.
- Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).
Tujuan : Rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil :
·
Mendemonstrasikan
penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri
·
Melaporkan
penghilangan nyeri maksimal/kontrol.
Intervensi:
- Tentukan riwayat nyeri, lokasi nyeri, frekuensi, durasi dan intensitas.
R/ untuk mengevaluasi kebutuhan
intervensi.
- Berikan tindakan kenyamanan (misal: gosok punggung) dan kativitas hiburan (misal: musik, televisi).
R/ meningkatkan relaksasi dan
membantu menfokuskan kembali perhatian.
- Dorong penggunaan keterampilan manajemen nyeri (misal: teknik relaksasi, visualisasi).
R/ memungkinkan pasien untuk
berpartisipasi secara aktif dan meningkatkan rasa kontrol.
- Kolaborasi dengan dokter dalam terapi analgesik (morfin, metadon).
R/ nyeri adalah komplikasi sering
dari kanker, meskipun respon individu berbeda.
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesukaran menelan.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat
terpenuhi
Kriteria hasil :
1. Berat badan dan tinggi badan.
2. Pasien mematuhi dietnya.
4. Kadar gula darah dalam batas normal.
5. Tidak ada tanda-tanda
hiperglikemia/hipoglikemia
Intervensi:
- Pantau masukan makanan setiap hari.
R/ mengidentifikasi defisiensi
nutrisi.
- Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.
R/ Kepatuhan terhadap diet dapat
mencegah komplikasi terjadinya hipoglikemia/hiperglikemia.
- Timbang berat badan setiap seminggu sekali.
R/ Mengetahui perkembangan berat
badan pasien (berat badan merupakan salah satu indikasi untuk menentukan diet).
- Identifikasi perubahan pola makan.
R/ Mengetahui apakah pasien telah
melaksanakan program diet yang ditetapkan.
4 .Perubahan persepsi sensori
berhubungan dengan penurunan fungsi pendengaran.
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori
pesepsi.
Kriteria Hasil: mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap
perubahan.
Intervensi:
- Tentukan ketajaman pendengaran, apakah satu atau dua telinga terlibat .
R/ Mengetahui perubahan dari hal-hal
yang merupakan kebiasaan pasien .
- Orientasikan pasien terhadap lingkungan.
R/ Lingkungan yang nyaman dapat
membantu meningkatkan proses penyembuhan.
- Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi.
R/ Mengetahui faktor penyebab
gangguan persepsi sensori yang lain dialami dan dirasakan pasien.
5 Risiko
cedera berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan.
Tujuan: Risiko cedera tidak terjadi
Kriteria Hasil:
- Menyatakan pemahaman faktor yang terlibat dalam kemungkinan cedera.
- Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor risiko dan untuk melindungi diri dari cedera.
Intervensi:
1. Diskusikan tentang pembatasan
aktivitas.
R/
membantu mengurangi rasa takut dan meningkatkan kerja sama dalam pembatasan
yang diperlukan.
2. Batasi aktivitas seperti
menggerakkan kepala tiba-tiba.
R/ menurunkan
stres.
3. Kaji ketajaman mata klien
R/ :
mengidentifikasi kemampuan visual klien
4.
Sesuaikan
ligkungan untuk optimalisasi penglihatan
R/ :
meningkatkan kemampuan persepsi sensori
5.
Orientasikan pasien terhadap lingkungan.
R/ Lingkungan yang nyaman dapat mengurangi
cedera.
6.
Ansietas
yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prognosis.
Tujuan : tidak terjadi
kecemasan
Kriteria
hasil :
-
Klien
mengungkapkan kecemasan berkurang
-
Klien
berpartisipasi dalam kegiatan pengobatan
Intervensi :
1.
Kaji
derajat kecemasan, faktor yang mnyebabkan kecemasan, tingkat pengetahuan, dan
ketakutan klien akan penyakit
R/
: umumnya faktor yang menyebabkan kecemasan adalah kurangnya pengetahuan.
2.
Orientasikan
tentang penyakit yang dialami klien
R/
: meningkatkan pemahaman klien tentang penyakit
3.
Berikan
kesempatan pada klien untuk bertanya tentang penyakitnya
R/
: menimbulkan rasa aman dan perhatian bagi klien
4.
Beri
dukungan psikologis
R/
: dapat berupa penguatan tentang kondisi klien, peran serta aktif klien dalam
perawatan
5.
Terangkan
setiap prosedur yang dilakukan dan jelaskan tahap perawatan yang akan dijalani
R/
: mengurangi rasa ketidaktahuan dan kecemasan yang terjadi
6.
Beri
informasi tentang penyakit yang dialami
R/
: mengorientasikan pada penyakit dan kemungkinan realistik sebagai konsekuensi
penyakit dan menunjukkan realitas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar